Sesuai dengan perhitungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harga keekonomian atau batas atas bahan bakar minyak (BBM) RON 92 jenis Pertamax mencapai Rp 16.000 per liter pada April 2022.
Apa yang akan terjadi seandainya Pertamax benar-benar naik harganya menjadi Rp 16.000 per liter?
Pertama, kemungkinan harga Pertamax akan naik sampai Rp 16.000 per liter sangat kecil. Hal ini dikarenakan Pertamina bukan satu-satunya penjual BBM di Indonesia masih ada Shell, Total, Exxon dan AKR yang dapat menjadi perbandingan.
Bila harga BBM nonsubsidi Pertamina lebih mahal dari kompetitornya hal ini akan menunjukkan ketidakefisienan dan tidak profesionalnya kinerja Pertamina. Masyarakat, terutama netizen akan beramai-ramai menghujat Pertamina.
Dalam sebuah pernyataannya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) menjamin harga BBM nonsubsidi Pertamina tidak akan lebih mahal dari SPBU milik swasta.
Bahkan hari ini, Kamis 31 Maret 2022, Ahok telah memberikan bocoran harga Pertamax berkisar Rp 12.000 per liter, lebih rendah dari BBM sejenis (RON 92) yang dijual Shell seharga Rp 12.990 per liter.
Kedua, seandainya Pertamax naik menjadi Rp 16.000 per liter atau hampir dua kali lipat dari harga saat ini ada beberapa opsi yang akan dilakukan oleh kebanyakan orang, yaitu:
1. Mereka akan beralih ke moda transportasi yang lebih sederhana
Sebagai contoh bila mereka biasanya menggunakan mobil untuk mobilitas sehari-hari mereka akan beralih menggunakan sepeda motor. Dan bila sebelumnya mereka menggunakan sepeda motor bila memungkinkan mereka akan beralih menggunakan sepeda biasa.
2. Mereka akan mengurangi atau membatasi mobilitas
Mereka akan lebih efisien dalam merencanakan kegiatan di luar rumah, kalau bisa sekali keluar rumah beberapa kegiatan bisa dilakukan. Â Selain itu keluar rumah hanya untuk kegiatan yang benar-benar tidak bisa diwakilkan atau kondisi mendesak.
3. Mereka akan beralih dari Pertamax ke Pertalite
Mobil-mobil keluaran terbaru khususnya mobil sejuta umat seperti MPV dan SUV low level masih aman bila mengkonsumsi bahan bakar ber-oktan 90 seperti Pertalite ini. Dengan demikian konsumsi Pertalite akan naik melebihi kuota yang sudah ditetapkan pemerintah.
Di samping beberapa opsi di atas, masyarkat juga akan mempertimbangkan untuk menjual mobil mereka dan digantikan dengan sepeda motor. Punya mobil namun sangat jarang digunakan merupakan pemborosan besar. Selain biaya maintenance, pajak dan asuransi yang tetap harus dikeluarkan, harga mobil juga akan terus turun dari waktu ke waktu.
Menggunakan transportasi massal?
Sepertinya bukan opsi yang akan dipilih karena transportasi massal jumlahnya terbatas dan masih lebih berat di ongkos dibanding naik sepeda motor. Selain itu waktu yang dibutuhkan juga jauh lebih lama dan tidak fleksibel dibanding menggunakan sepeda motor.
Ketiga, dengan harga Pertamax Rp 16.000 per liter akan memicu kenaikan harga barang-barang lainnya sehingga inflasi akan naik. Dengan naiknya inflasi maka daya beli masyarakat akan turun dan kehidupan rakyat kecil akan semakin sulit.
Kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit akan membuat rakyat semakin frustasi dan sangat mudah untuk diprovokasi untuk melakukan tindakan anarkis atau demo yang berujung anarkis seperti perusakan fasiltas umum atau penjarahan pusat-pusat ekonomi.
Bila demo ini meluas secara Nasional dan ditunggangi oleh berbagai kepentingan kelompok atau golongan tertentu maka bukan tidak mungkin akan melahirkan situasi chaos seperti yang terjadi pada saat krismon tahun 1998.
Bila kondisi ini yang terjadi maka harga yang harus dibayar oleh pemerintah untuk memulihkan kondisi sosial ekonomi dan keamanan yang telah rusak akan jauh lebih mahal dibanding dengan tambahan anggaran untuk mensubsidi harga Pertamax.
Keempat, perbedaan harga yang signifikan antara Pertalite dan Pertamax akan rawan menimbulkan penyelewengan baik selama proses pengalokasian dan pendistribusian sampai dengan pembeli akhir.
Sebagai contoh wilayah atau area tertentu yang ingin mendapatkan jatah Pertalite lebih banyak akan berusaha mempengaruhi atau bahkan menyuap orang dalam Pertamina yang berkuasa untuk mengatur distribusi BBM bersubsidi untuk mendapatkan kuota lebih.
Selain itu kemungkinan juga ada oknum yang mengambil keutungan dari situasi ini dengan membeli Pertalite dari SPBU Pertamina dalam jumlah banyak untuk kemudian dijual secara eceran dengan harga tinggi bila kuota Pertalite di SPBU terdekat sudah habis.
Kelima, bisnis zat aditif yang dapat meningkatkan nilai oktan bahan bakar akan meningkat. Masyarakat yang sebelumnya mengkonsumsi Pertamax dan beralih ke Pertalite banyak yang khawatir dengan penurunan performa mesin kendaraan mereka. Jadi mereka membutuhkan zat aditif ini.
Zat aditif bensin seperti Tetraethyl lead (TEL) dan Methil Tertier Buthyl Eter (MTBE) dapat menaikkan angka oktan yang cukup tinggi. Harga Pertalite ditambah dengan zat aditif ini masih lebih murah dibanding harga Pertamax.
Demikian bila kita berandai-andai harga Pertamax naik menjadi Rp 16.000 per liter. Namun seberapa besar peluang terjadinya andai-andai di atas?
Secara nasional proporsi konsumsi BBM jenis bensin (gasoline) adalah Pertalite 45 persen, Pertamax 12,4 persen, dan Pertamax Turbo 0,9 persen. Untuk jenis diesel (gasoil) secara nasional adalah 1,3 persen Dexlite dan Pertamina Dex 0,5 persen sisanya adalah Solar biasa.
Jadi pengguna Pertamax hanya sekitar 12,4 persen atau seperdelapan dari total pengguna BBM secara nasional. Jumlah ini tentu saja tidak terlalu signifikan untuk mewakili seluruh pengguna BBM di tanah air.
Perlu diketahui pengguna Pertamax adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas atau orang mampu yang tidak perlu disubsidi oleh pemerintah untuk membeli BBM.
Apakah mereka mau turun ke jalan hanya untuk "memaksa" pemerintah untuk tidak menaikkan harga Pertamax atau dengan kata lain mereka merasa berhak menerima subsidi pemerintah?
Selain itu Pertamax hanya digunakan untuk mobil pribadi bukan mobil niaga sehingga kenaikan harganya tidak akan berpengaruh pada kenaikan biaya distribusi barang atau biaya logistik. Dengan demikian tidak berkorelasi dengan kenaikan harga-harga barang atau inflasi tinggi.
Jadi, kemungkinan-kemungkinan di atas peluangnya kecil untuk terjadi.
Namun, meskipun peluangnya kecil, kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja terjadi sebagai dampak dari kenaikan harga BBM secara umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H