Sekitar seminggu yang lalu, tepatnya pada hari Selasa 25 Januari 2022, putri dari artis Nurul Arifin, Maura Magnalia Madyaratri meninggal dunia karena henti jantung mendadak. Sebelum meninggal Maura Magnalia memang sangat sibuk dan kurang tidur sehingga kondisinya drop dan kelelahan.
Saat itu Maura Magnalia baru menyelesaikan S2 dari Sidney University dan sedang mempersiapkan wisudanya bulan depan (Februari). Selain sibuk mempersiapkan wisuda dia juga baru menyelesaikan bukunya yang masih dalam proses mencari penerbit.
Kesibukan yang demikian padat dengan tenggat waktu yang sempit ditambah dengan waktu tidur yang kurang karena dipakai untuk menyelesaiakan tugas-tugas menyebabkan tingkat stres naik dan berbahaya bagi kesehatan jiwa kita.
Beberapa tahun yang lalu, kita juga dikejutkan dengan berita meninggalnya Mita Diran, seorang copywriter (penulis naskah) yang bekerja di agensi iklan Young & Rubicam. Mita meninggal setelah bekerja nonstop selama 30 jam yang merupakan puncak dari kerja lemburnya selama 3 hari berturut-turut.
Dalam sebuah hasil penelitian ilmiah yang diterbitkan 17 Mei 2021, peneliti dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), menyatakan bahwa setiap tahun tiga perempat juta orang meninggal karena penyakit jantung iskemik (jantung koroner) dan stroke yang disebabkan karena bekerja terus menerus dalam waktu yang lama.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang bekerja lebih dari 54 jam dalam satu pekan mempunyai risiko lebih besar meninggal karena penyakit kardiovaskular dan stroke.
Ada dua penyebab utama yang membuat terlalu banyak bekerja dapat menyebabkan orang meninggal dunia yang dipicu oleh penyakit jantung atau penyempitan pembuluh darah arteri.
Pertama karena kondisi tubuh yang drop yang dipicu oleh stres kronis. Di sisi lain peningkatan hormon stres akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan kolesterol.
Kedua karena terjadinya perubahan perilaku. Mereka yang bekerja berjam-jam mungkin kurang tidur, jarang berolahraga, makan makanan yang tidak sehat, dan merokok serta minum kopi berlebihan.
Ada beberapa penyebab mengapa orang bersedia bekerja keras dan mengorbankan waktu tidur mereka bahkan terkadang mengorbankan kesehatan mereka, yaitu:
1. Hustle culture atau kondisi yang terjadi karena seseorang memiliki motivasi untuk bekerja melebihi batas waktu demi meraih kesuksesan.
Bagi generasi muda seperti Maura dan Mita atau bagi para fresh graduate, mereka seolah ingin bekerja keras lebih banyak daripada waktu normal.
Faktor yang mendorong gaya hidup gila kerja atau hustle culture ini salah satunya adalah mereka ingin menunjukkan kalau mereka mampu melakukannya.
Tidak jarang tuntutan dari orang-orang terdekat atau keinginan diakui sama hebatnya dan sama suksesnya seperti orangtua mereka, saudara-saudara atau teman-teman membuat mereka bekerja gila-gilaan dan mengabaikan kesehatan mereka sendiri.
Selain itu tuntutan kebutuhan hidup yang banyak mengharuskan mereka bekerja lebih keras supaya mendapatkan penghasilan besar terutama bagi mereka yang masih muda namun harus menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Gaya hidup hustle culture pada akhirnya dapat merusak keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (worklife-balance) seseorang serta berdampak buruk terhadap kesehatan mental dan emosional.
2. Rasa takut kehilangan pekerjaan atau dipecat bila mereka tidak menunjukkan loyalitas total kepada perusahaan
Menurut Jeff Kingston, seorang profesor di Tokyo Temple University, di beberapa perusahaan Jepang ada budaya kerja di mana karyawan diharapkan untuk benar-benar berdedikasi dan bersedia mengorbankan waktu dan kesehatannya bagi perusahaan mereka.
Sebagian orang rela bekerja lebih giat -dan lebih lama- untuk menunjukkan etos kerja kepada perusahaan. Rasa takut dipecat, tidak mendapat promosi, atau ingin tampil lebih baik dari rekan kerja juga jadi alasan banyak orang melakukan hal ini.
Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan penurunan ekonomi yang sangat signifikan dan mengakibatkan banyak orang-orang yang kehilangan pekerjaan sehingga persaingan untuk tetap bertahan di tempat kerja semakin keras.
Persaingan ini mengharuskan masing-masing karyawan menampilkan performa dan loyalitas terbaik mereka, salah satunya dengan bekerja lebih lama dibanding yang lain.
Di negara Jepang yang memang terkenal dengan jam kerja yang panjang dan karyawan yang gila kerja (workalkoholic) dikenal istilah Karoshi atau bekerja sampai mati.
Karoshi yang artinya kematian akibat terlalu banyak bekerja bukanlah cerita baru bagi masyarakat Jepang.
Kasus Karoshi pertama kali terjadi pada tahun 1969, ketika seorang pria berusia 29 tahun meninggal karena stroke dan serangan jantung akibat bekerja secara berlebihan.
Bukan tanpa alasan mengapa orang Jepang bekerja begitu keras. Mereka takut bila tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga berdampak pada pemecatan. Mereka akan sangat malu bila mengalaminya.
Namun, kerja keras yang dilakukan membuat mereka melupakan kondisi tubuh dan kesehatan mereka. Bahkan, meskipun lembur dan bekerja dengan baik di depan atasan, terkadang perusahaan tidak memberikan apa-apa kepada mereka.
Hampir seperempat perusahaan Jepang memiliki karyawan yang bekerja lembur lebih dari 80 jam per bulan dan seringkali tidak dibayar. Kemudian 12 persen perusahaan memiliki karyawan dengan jam lembur 100 jam per bulan.
Terkait dengan hal ini, Jepang sedang berupaya untuk menghentikan kasus karoshi melalui berbagai kebijakan agar para karyawan tidak bekerja secara berlebihan.
Bekerja terus-menerus dalam durasi waktu yang lama dapat mengaburkan keseimbangan kehidupan (worklife balance) seseorang, yang menyebabkan pola tidur dan olahraga terganggu dan pada gilirannya akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan stroke.
Penelitian untuk mengetahui efek terlalu banyak bekerja pada timbulnya penyakit menyimpulkan bahwa pada umumnya kematian karena terlalu banyak pekerjaan "tidak terjadi dalam semalam".
Penelitian tadi juga menemukan bahwa orang-orang di Asia Tenggara bekerja dalam durasi yang paling lama. Orang-orang di Eropa termasuk yang memiliki durasi kerja terpendek.
Orang-orang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tercatat yang bekerja dalam durasi terpanjang di dunia. Di sisi lain, banyak orang Eropa menikmati budaya kerja yang merayakan liburan panjang dan waktu istirahat yang cukup.
Hal ini bisa dipahami mengingat pada umumnya negara-negara Asia jumlah penduduknya sangat besar sementara jumlah lowongan pekerjaan terbatas sehingga persaingan untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan jauh lebih keras dibanding di negara-negara Eropa.
Sikap masyarakat Eropa yang lebih mementingkan worklife-balance ini dituangkan dalam undang-undang. Aturan Waktu Kerja yang dibuat Uni Eropa, misalnya, melarang pegawai bekerja lebih dari 48 jam seminggu.
Belajar dari kasus kematian mendadak yang dialami oleh generasi muda atau para fresh graduate, sebagai orangtua kita perlu mengingatkan kepada mereka bahwa setiap orang mempunyai batasan masing-masing yang tidak boleh dilewati.
Konsep keseimbangan hidup atau worklife-balance sangat penting untuk menjaga agar mereka tidak kebablasan bekerja atau belajar terus menerus dan mengabaikan "alarm" tubuh karena mereka merasa masih muda dan kuat padahal kekuatan tubuh kita ada batasnya.
Selain itu mereka juga tidak perlu meniru orang lain yang telah sukses, entah itu orangtua sendiri, saudara ataupun teman-teman mereka.
Untuk itu sebagai orangtua kita jangan menuntut mereka dengan standar yang kita punyai dan jangan pernah membandingkan mereka dengan orang lain karena setiap orang unik dan tidak sama.
Jangan sampai gara-gara ingin sama dengan orang lain mereka mengorbankan hidup mereka. Sebagai orangtua kita harus menghargai setiap usaha yang mereka lakukan dengan sungguh-sungguh terlepas dari apapun hasilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H