Bila kita tengok harga gas alam dunia, saat ini hanya berkisar 3 dolar AS per mmbtu, sementara harga LNG sekitar 8 dolar AS per mmbtu, selisih harga ini karena perlu biaya untuk mengubah dari bentuk gas ke cair.
Jadi sebenarnya sudah jelas, solusinya adalah stop pakai elpiji dan diganti dengan gas alam dari PGN. Dengan beralih dari elpiji ke gas alam maka pengeluaran masyarakat untuk membeli gas untuk rumah tangga akan turun sekitar 70% atau tinggal sepertiga dari saat ini.
Selain itu pemerintah juga dapat menghemat devisa karena tidak perlu impor elpiji lagi dan tidak perlu memberikan subsidi terus menerus.
Lha kalau sudah tau solusinya segampang itu, kenapa tidak dilakukan dari dulu? apa pemerintah tidak tahu hitung-hitungan seperti ini?
Yang pasti pemerintah mengetahui hitung-hitungan seperti ini sejak lama, setidaknya pemerintah tersadar ketika  pada pada tahun 2004-2006, terjadi "heboh" karena gas alam di ladang Tangguh Papua yang dijual ke Fujian, Cina dengan harga kontrak tahun 2004 "hanya" sebesar 2.4 dolar per mmbtu padahal pada saat itu harga gas alam dunia rata-rata di 11 dolar AS !!!
Setelah terjadi negosiasi pada tahun 2006 harga gas tangguh naik menjadi 3.3 dolar AS, namun ini pun masih dibawah harga gas alam dunia. Dan baru tahun 2014 bisa dinegosiasi lagi sehingga formulasinya juga dipengaruhi oleh harga energi dunia pada saat itu.
Jadi ironis sekali, Indonesia yang kaya dengan gas alam, menjual gasnya keluar negeri dengan harga jauh di bawah harga yang layak, sementara itu kita mengimpor minyak dan elpiji untuk kebutuhan domestik.
Pada titik balik ini, pemerintah sadar bahwa masyarakat harus mulai berubah untuk menggunakan gas alam sebagai bahan bakar untuk kebutuhan rumah tangga. Namun pada saat itu masyarakat masih terbiasa menggunakan minyak tanah sehingga dibutuhkan masa transisi untuk beralih ke gas.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menggunakan elpiji daripada minyak tanah, karena impor minyak mentah dan produk turunannya juga sudah sangat tinggi saat itu.