Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Selamatkan Anak-anak dan Remaja dari Gangguan Kecanduan Gadget, Bukan Sekadar Melarang dan Membatasi

11 Desember 2021   15:32 Diperbarui: 12 Desember 2021   08:39 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak kecanduan gadget (Sumber: Shutterstock via Kompas.com)

Bagi orang tua yang punya anak yang menginjak remaja dan sudah punya smartphone sendiri, sebagian besar mungkin menghadapi masalah yang sama yaitu bagaimana mengatasi kecanduan gadget pada anak-anak dan remaja.

Persoalan ini semakin meningkat intensitasnya sejak masa pandemi di mana hampir semua anak-anak dan remaja mengikuti kegiatan pembelajaran dari rumah dengan menggunakan gadget.

Sejak beberapa tahun yang lalu, terutama semenjak anak saya memiliki smartphone sendiri saya selalu mengingatkan agar membatasi diri menggunakan handphone, misalnya tidak boleh memakai smartphone pada saat makan, pada saat jam tidur, maksimum sehari 3 jam dan seterusnya.

Namun dengan berjalannya waktu, aturan tersebut seringkali dilanggar dengan berbagai alasan sehingga menimbulkan perdebatan bahkan tidak jarang "perlawanan" atau pembenaran atas pelanggaran yang telah dia dilakukan.

Dan puncaknya pada saat pandemi, di mana semua kegiatan pembelajaran dilakukan secara online, praktis sepanjang hari smartphone hampir tidak pernah lepas dari tangan, kecuali sedang tidur.

Berbagai upaya saya lakukan untuk mengurangi ketergantungan anak saya terhadap gadget, termasuk mengikuti petunjuk atau tips yang ada di google dan belajar dari pengalaman orang lain.

Contohnya dengan memberikan pemahaman mengenai sisi buruk menggunakan gadget terus menerus, menegakkan aturan waktu penggunaan gadget yang telah disepakati dan mengajak beraktivitas secara fisik seperti olahraga, camping dan sebagainya.

Namun itu semua tidak sepenuhnya berhasil dan hanya bertahan sebentar, tidak bisa konsisten untuk jangka waktu yang lama. Seperti ada kekuatan atau dorongan yang lebih besar untuk kembali ke kecenderungan semula, pegang gadget lagi.

Awalnya saya kira hanya anak saya yang berperilaku demikian, namun setelah berbincang-bincang dengan banyak orang ternyata mereka juga menghadapi masalah yang sama.

Beberapa kasus kecanduan gadget pada anak juga dilaporkan terjadi di beberapa wilayah. Di Jawa Barat, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua melaporkan sepanjang 2020 hingga Februari 2021 sudah ada 112 anak yang dirawat karena mengalami kecanduan gadget.

"Mereka murni gangguan adiksi gawai, jadi yang dominan itu kecanduan internet di antaranya adiksi games," ungkap Direktur Utama RSJ Cisarua Elly Marliyani (detikcom, 16/3/2021).

Ilustrasi Kecanduan Gadget | Sumber: thinkstock via detik.com
Ilustrasi Kecanduan Gadget | Sumber: thinkstock via detik.com

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah memperingatkan risiko terjadinya kecanduan. WHO menyebut kecanduan game yang berkaitan dengan penggunaan gawai termasuk salah satu gangguan mental.

Generasi muda sekarang kelihatannya tidak peduli dengan sebutan generasi rebahan, mager (malas gerak) dan stigma lain yang intinya kurang peduli dengan lingkungan sekitar, kurang suka kegiatan fisik seperti olah raga atau melakukan tugas rumah tangga sehari-hari.

Sebenarnya kecanduan gadget yang dialami oleh anak-anak dan remaja saat ini bukan kesalahan mereka semata. 

Ada ribuan orang di sisi lain layar yang menghabiskan seluruh jam kerja mereka mencoba mencari cara untuk membuat anak-anak dan remaja kecanduan.

Jadi tidak adil untuk menyalahkan anak-anak dan remaja atas kegagalan mereka untuk melepaskan diri dari kecanduan gadget. ini pertarungan yang tidak seimbang.

Dan bila kita mau sedikit realistis tentang kelemahan psikologis manusia, kita akan memahami betapa mudahnya media dan teknologi memanipulasi pikiran dan perilaku kita dan anak-anak kita.

Faktanya saat ini ada tiga hal yang dieksploitasi secara besar-besaran untuk menciptakan kecanduan gadget. Dan ketiganya saling bersinergi untuk menarik seluruh perhatian kita agar selalu tertuju pada gadget, yaitu:

  • Model bisnis di internet (iklan) yang berusaha menarik perhatian pengguna dengan cara apa pun.
  • Kecerdasan buatan yang dimanfaatkan untuk memanipulasi kelemahan psikologi manusia
  • Pikiran manusia yang rapuh, mudah terganggu dan bingung.

Dan seiring dengan berjalannya waktu, ketiga faktor tadi semakin kuat. Persaingan iklan di internet yang berusaha menarik pengguna semakin ketat. 

Kemajuan kecerdasasan buatan yang semakin pesat sehingga mampu mengeksploitasi setiap kelemahan psikologi manusia. Dan Pikiran manusia juga semakin terdistraksi sehingga semakin rapuh.

1. Model bisnis di Internet

Perusahaan seperti Google dan Meta (Facebook) adalah perusahaan yang didirikan untuk mendapatkan laba atau keuntungan sehingga mereka akan selalu melakukan apa saja untuk melipatgandakan keuntungan mereka.

Perusahan-perusahaan ini tidak dibangun di atas prinsip-prinsip etis melainkan prinsip ekonomi. Mereka adalah mesin di balik industri periklanan online yang merupakan pasar berkecepatan tinggi dan tanpa henti yang tidak punya waktu untuk merenungkan perilakunya.

Iklan online terus berkembang, misalnya video dan audio dapat menggantikan teks, dan iklan yang agresif dapat diganti dengan iklan yang tidak kentara tetapi semuanya akan menjadi perlombaan untuk mendapatkan perhatian.

Mereka hanya dapat menghasilkan uang secara online dengan menarik perhatian pengguna. Dan dengan perhatian, mereka dapat mengiklankan produk mereka sendiri atau produk orang lain.

2. Kecerdasan buatan untuk memanipulasi psikologis manusia

Kecepatan kemajuan teknologi informasi terutama kecerdasan buatan sangat luar biasa dibanding periode sebelumnya.

Sayangnya teknologi ini juga digunakan oleh perusahaan-perusahan di atas untuk mengeksploitasi cara kerja otak kita sedemikian rupa sehingga kita menjadi target iklan yang empuk bagi mereka.

Orang yang mengerti teknologi adalah orang yang tahu betapa berbahayanya itu. Sebagai contoh, Steve Jobs membatasi jumlah waktu yang dia izinkan untuk anak-anaknya menggunakan produk yang dia ciptakan untuk seluruh dunia.

Ada begitu banyak kemarahan dan kecaman publik terhadap perusahaan yang menghasilkan uang dengan memangsa psikologi orang. Namun demikian perusahaan tetap eksis dan bisnis berjalan seperti biasa.

Inilah cara kerja sistem ekonomi, mereka menjual produk yang sangat diminati oleh konsumen, apapun itu termasuk produk yang membuat kecanduan.

3. Pikiran yang rapuh dan mudah terganggu

Generasi saat ini adalah generasi yang tidak mengenal kata bosan. Betapa tidak, kemajuan teknologi informasi dan digital sekarang ini telah membuat generasi saat ini tidak mungkin bosan. Baik itu menonton, mendengarkan, bermain, mengobrol, memposting, atau berselancar di dunia maya.

Hidup tanpa kebosanan membuat pikiran kita selalu sibuk sehingga tidak ada waktu untuk berpikir, merenung dan berkreasi sendiri.

Padahal melalui kebosanan kita bisa keluar dari rutinitas kita, memperbaiki kesalahan kita, dan mengarahkan kembali hidup kita. 

Jeda atau waktu teduh di antara berbagai kesibukan sehari-hari sangat penting untuk mengembalikan hidup kita ke jalan yang benar.

Inilah yang sekarang dilakukan oleh industri periklanan online, mereka akan selalu berusaha membuat orang tetap terhubung dan "terhubung". Mereka akan melakukan segala daya untuk mencegah orang berpikir dalam diam.

Setelah mengetahui fakta bagaimana sebenarnya industri periklanan online bekerja. Apakah kita masih akan sekadar melarang dan membatasi anak-anak kita agar tidak mengalami kecanduan gadget?

Faktanya memang tidak cukup hanya sekadar melarang atau membatasi pengunaan smartphone pada anak-anak dan remaja.

Pun tidak cukup dengan memberikan penjelasan mengani dampak negatif dari penggunaan smartphone yang terus menerus.

Semua kiat atau tips tentang bagaimana cara mengatasi penggunaan smartphone yang berlebihan atau untuk mencegah kecanduan smartphone banyak kita temukan di Google. Namun hampir semuanya isinya sama: larangan, aturan dan sejenisnya.

Apakah selama ini kita sudah menyadari kalau tindakan ini tidak adil dan tidak efektif untuk jangka panjang?

Semestinya kita prihatin dan kasihan kalau melihat anak-anak dan remaja berjuang sendiri mengatasi kecanduan gadget karena yang mereka hadapi sebenarnya adalah industri periklanan online yang memperkerjakan ribuan orang penuh waktu dan didukung oleh kemajuan teknologi digital, kecerdasan buatan dan memanfaatkan psikologis anak-anak dan remaja yang masih labil.

Jadi apa yang mesti kita lakukan untuk menyelamatkan anak-sanak dan remaja dari gangguan kecanduan gadget?

Pertama

Melarang sama sekali menggunakan ponsel cerdas bukanlah ide yang baik, karena di sisi lain mereka memang membutuhkannya untuk mempermudah hidup mereka. Tetapi membiarkan anak-anak dan remaja dikendalikan oleh teknologi melalui ponsel cerdas mereka juga sangat berbahaya.

Ponsel atau teknologi pintar punya dua sisi yang berlawanan. Inilah yang dinamakan Paradoks Teknologi informasi. 

Di satu sisi teknologi ini seringkali menjadi satu-satunya cara kita dapat bekerja, terhubung dengan teman, dan membaca berita. Namun di sisi lain membuat kita kecanduan.

Jadi solusinya adalah tetap memperbolehkan anak-anak menggunakan ponsel cerdas dengan memberikan pengertian kepada mereka tentang bahaya dan manfaat dalam mempergunakan smartphone.

Kedua

Kita harus menyadarkan anak-anak dan remaja mengenai siapa sebenarnya musuh yang mereka hadapi di balik layar gadget. 

Memang tidak mudah menjelaskan hal ini pada anak-anak dan remaja, namun umumnya mereka sudah mempunyai konsep mengenai "musuh" dari game, sesuatu yang harus mereka lawan dan hancurkan dengan segala kemampuan mereka.

Dengan kesadaran seperti ini akan lebih mudah bagi kita untuk membimbing dan mendampingi mereka dalam "melawan" gangguan kecanduan gadget. 

Mereka harus tahu meskipun musuh yang dihadapi berat namun mereka tidak berjuang sendiri, kita sebagai orang tua selalu siap sedia mendampingi mereka "mengalahkan musuh".

Ketiga

Menanamkan sebuah bentuk disiplin diri, di mana sisi buruk teknologi itu sendiri diperlakukan seperti "musuh"-sesuatu yang berbahaya dan selalu mengancam hidup mereka.

Bentuk disiplin diri yang yang dimaksud disini bukan displin diri ala militer yang hanya sesuai untuk sebagian kecil individu idealis yang memiliki kemauan keras yang luar biasa.

Namun sebuah bentuk disiplin diri untuk senantiasa waspada menghadapi musuh yang selalu mengancam dan merampas kehidupan mereka. Sehingga anak-anak dan remaja merasa selalu tertantang untuk mengalahkan "musuh" mereka, setiap hari dan sepanjang waktu.

Demikian hal-hal penting yang perlu kita ketahui untuk menyelamatkan anak-anak dan remaja dari gangguan kecanduan gadget bukan hanya dengan sekadar melarang dan membatasi.

Saatnya kita merubah pendekatan displin diri dengan memahami psikologis mereka, mendampingi mereka melawan para predator, pemangsa psikologis orang yang berusaha menarik perhatian mereka untuk dijadikan "target iklan" berikutnya tanpa peduli dengan kerusakan psikologis korbannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun