Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Belajar dari "Sumpit", Kearifan Hidup di Tengah Kemajuan Teknologi di Era Industri 4.0

3 November 2021   18:58 Diperbarui: 4 November 2021   15:50 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penggunaan Sumpit, Sumber: instructable.com

"Sumpit itu peralatan makan yang paling primitif", demikian celetuk kolega saya seorang ekspatriat Jepang pada saat kami makan malam di sebuah resto Jepang. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Jepang, tepatnya di kota metropolitan Tokyo, kolega ini adalah seorang "city boy" yang seleranya cukup tinggi dan secara terus terang lebih menyukai produk-produk Amerika dibanding produk buatan Jepang.

Namun demikian, saat kami makan bersama dia tetap menggunakan sumpit karena memang dia mahir menggunakan sumpit, mungkin sudah terbiasa dari kecil. Sedangkan saya menggunakan sumpit karena terpaksa, dan hanya itu yang tersedia.

Memang benar, sumpit itu peralatan makan yang sangat sederhana, simple kalau tidak dikatakan primitif. Sumpit biasanya berupa bilah kayu atau bambu yang dihaluskan permukaannya. Dibanding dengan sendok, garpu dan pisau yang merupakan peralatan makan modern, sumpit memang alat bantu makan yang primitif.

Namun demikian sumpit tetap digunakan di restoran-restoran Cina dan Jepang, meskipun mereka juga menyediakan sendok garpu bila diminta. Namun bila kita minta sendok garpu sepertinya kita jadi malu sendiri karena tidak mahir menggunakan sumpit, masa pakai alat yang primitif saja tidak bisa.

Sumpit menjadi contoh bahwa di tengah tengah kemajuan teknologi saat ini, kita juga harus bisa melakukan hal-hal yang mendasar dan manual bila teknologi yang kita andalkan ternyata tidak tersedia atau macet, rusak dan tidak bisa berfungsi.

Ilustrasi penggunaan Sumpit, Sumber: instructable.com
Ilustrasi penggunaan Sumpit, Sumber: instructable.com

Prinsip ini juga diterapkan oleh Korps Marinir Amerika Serikat (United States Marine Corps, USMC). Pasukan USMC ini merupakan ujung tombak militer Amerika Serikat yang diterjunkan dalam medan perang yang ekstrem di seluruh dunia seperti di padang pasir Iraq ataupun di pegunungan bersalju di Afghanistan.

Meski Korps Marinir, USMC, punya peralatan tempur lengkap seperti pesawat terbang, tank dan kendaraan tempur lainnya namun prajurit marinir harus mampu bergerak dengan cara kuno, berlari sambil menyandang perlengkapan tempur lengkap melalui berbagai jenis medan.

Walaupun dilengkapi dengan teknologi komunikasi medan tempur yang canggih, mereka harus mampu menggunakan bahasa isyarat dengan lengan dan tangan. Meskipun marinir dipersenjatai dengan senjata perorangan yang canggih namun mereka juga dilatih seni bela diri tangan kosong atau menggunakan pisau.

Hal ini perlu dilakukan karena para marinir ini harus terbiasa menghadapi segala situasi yang tidak terduga manakala teknologi gagal berfungsi. Adakalanya komputer error, transmisi satelit kacau, komunikasi dengan pasukan induk terputus dan lainnya. Pada situasi seperti ini marinir harus tetap mampu menjalankan misinya. Mereka boleh kehilangan perlengkapan satelitnya, komputernya atau persenjataan canggih lainnya namun mereka tetap mampu memenangkan pertempuran.

Demikian juga dengan kita semua yang hidup di jaman digital di era industri 4.0 saat ini. Kita yang sudah terbiasa dimanjakan dengan kemajuan teknologi mulai dari gadget, mesin cuci, mobil matic dan masih banyak lagi. Apakah kita masih bisa menjalani hidup seperti biasa tanpa teknologi tersebut ?

Kita yang terbiasa bernavigasi menggunakan GPS via gadget kita, bila hp error, baterai habis atau bahkan hilang apakah kita masih bisa bernavigasi secara manual ? Kita yang terbiasa mengendarai motor atau mobil matic apakah juga terampil mengendarai yang manual ? Kita yang terbiasa menggunakan mesin cuci apakah dapat mencuci secara manual dengan cepat dan bersih?

Ketrampilan dasar seperti di atas merupakan sebagian dari ketrampilan untuk bertahan hidup. Saat ini kita memang hidup di jaman kemajuan teknologi dimana kemungkinan kita menghadapi situasi emergensi seperti di atas sangat lah kecil.

Namun demikian, memiliki ketrampilan dasar untuk bertahan hidup sangat penting ketika kita benar-benar menghadapi situasi yang tidak terduga. Peluang kita untuk melewati masa sulit akan jauh lebih besar dibanding mereka yang tidak punya ketrampilan tersebut.

Bahkan di negara maju seperti di Jepang, warganya juga dilatih cara bertahan hidup menghadapi situasi yang tidak terduga seperti gempa bumi, tsunami dan bencana alam lainnya.

Berbicara mengenai ketrampilan dasar hidup, kita bisa mengacu kepada prinsip-prinsip dasar survival yang biasanya dipelajari oleh para pencinta alam atau pendaki gunung. Ketrampilan tersebut sesuai dengan ketersediaan unsur-unsur survival yaitu Air, Api, Makanan dan Tempat perlindungan.

Dengan demikian ketrampilan dasar yang wajib kita miliki adalah membuat atau mendapatkan air minum, membuat api, mencari dan mengolah makanan serta membuat tempat perlindungan (shelter, camp, tenda).

Namun karena kita hidup di jaman digital atau era industri 4.0 maka ketrampilan dasar yang wajib kita miliki adalah ketrampilan atau kemampuan untuk hidup tanpa mengandalkan teknologi, khususnya teknologi digital.

Banyak ketrampilan dasar dalam kehidupan sehari-hari yang harus tetap kita latih dan kita kuasai meskipun sebagian besar perannya telah digantikan oleh kemajuan teknologi digital.

Sebagai contoh ketrampilan bernavigasi atau menentukan arah atau rute yang harus kita tempuh dalam perjalanan. Bila GPS dari satelit tidak bisa kita akses dari hp atau gawai maka kita harus bisa menggunakan GPS manual, alias Gunakan Penduduk Setempat.

Demikian pula dengan ketrampilan dasar berjalan kaki, bila tidak ada sarana transportasi sama sekali kita harus mampu jalan kaki. Hal yang remeh temeh seperti ini sering kita abaikan, bahkan di antara negara-negara lain warga Indonesia termasuk orang yang "mager" alias tidak suka jalan kaki. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Stanford, dari 46 negara yang disurvei Indonesia menempati urutan terbawah dalam jumlah langkah per hari penduduknya, yaitu rata-rata 3,513 langkah per hari. Sementara Hongkong, China dan Jepang mencatatkan angka di atas 6,000 langkah per hari.

Demikian juga dengan aktivitas sehari-hari mulai dari memasak menggunakan kompor biasa, mencuci pakaian dengan tangan dan aktivitas lainnya, kita harus bisa melakukannya sendiri.

Saat ini kita terbiasa dimanjakan dengan kemajuan teknologi sehingga terkadang kita tidak mengerti "proses kerja" dasar dari sebuah pekerjaan atau peralatan atau mengapa hal itu dilakukan dan lainnya. 

Padahal prinsip dasar dari digitalisasi atau otomatisasi adalah meniru alur atau urutan pekerjaan (flow diagram) secara manual. Jadi pekerjaan manual harus dikuasai dengan baik sebelum membuat program digitalisasi, otomatisasi atau teknologi Artifical Intelligence (AI) lainnya.

Namun ini sering tidak disadari oleh kebanyakan orang, begitu komputer atau gadget tidak berfungsi seolah kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun