Untuk kesekian kalinya selama menjabat Menteri Sosial RI, Tri Rismaharini, sudah beberapa kali viral karena marah-marah saat melakukan kunjungan kerja atau mengoreksi kesalahan yang dilakukan bawahannya.
Terakhir Mensos Risma Marah-marah di Gorontalo karena Urusan Data yang beredar di medsos. Akibat peristiwa itu Gubernur Gorontalo Rusli Habibie merasa tersinggung karena warganya dimarahi Bu Risma.
Gaya Kepemimpinan marah-marah yang dilakukan oleh Bu Risma sebenarnya bukan hal yang baru, sejak menjadi Walikota Surabaya selama dua periode, beliau sudah seringkali memarahi anak buahnya ketika sedang rapat atau kunjungan kerja.
Video viral yang berisi adegan Bu Risma yang sedang marah-marah saat rapat dengan anak buahnya menuai banyak simpati warga dan menaikkan popularitas bu Risma.Â
Warga kota Surabaya beranggapan bahwa marahnya Bu Risma karena anak buahnya tidak bisa "bekerja" untuk kesejahteraan dan kepentingan warga Surabaya.
Bagi warga kota Surabaya Bu Risma adalah pemimpin yang memperjuangkan kepentingan warganya dengan "menghukum" anak buahnya yang tidak becus bekerja. Bu Risma adalah "pahlawan" bagi mereka.
Gaya kepemimpinan inilah yang kemudian melekat pada Bu Risma dan dibawa saat menjadi Mensos. Namun gaya kepemimpinan ini menuai banyak kritik dan antipati ketika diterapkan dalam bekerja sebagai Menteri Sosial.Â
Mungkin motivasinya sama untuk kepentingan warga secara luas dan untuk "membereskan" setiap rintangan yang menghalangi pekerjaan dengan cepat dan lugas.
Ada beberapa hal yang menyebakan gaya kepimimpinan marah-marah yang menjadi ciri khas Bu Risma selama ini tidak cocok lagi untuk diterapkan pada jabatannya sebagai Menteri Sosial saat ini.
Pertama adalah luasan wilayah yang dipimpin, Walikota adalah pemimpin daerah yang hanya meliputi satu kota dengan komposisi masyarakat yang relatif homogen, sedangkan Menteri adalah pemimpin Nasional yang membawahi wilayah diseluruh daerah di Indonesia.
Gaya kepemimpinan Bu Risma cocok diterapkan di daerah seperti Surabaya, selain masyarakatnya relatif homogen, warga Surabaya dikenal lugas dan to-the-point dalam berkomunikasi.Â
Gaya komunikasi yang lugas tersebut juga menganggap hal yang biasa bila komunikasi dilakukan dengan ekpresi marah atau kosakata yang agak kasar seperti "jancuk". Bagi mereka "jancuk" adalah kosa kata yang memberikan kesan akrab atau "peduli".
Meskipun gaya kepemimpinan ini cocok diterapkan di kota Surabaya, bila dibawa ke tingkat Nasional yang meliputi berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia pasti tidak cocok lagi.Â
Setiap daerah punya kebiasaan dan budaya sopan santun yang berbeda-beda, bila dipakasakan akan menimbulkan banyak gesekan dan persoalan baru yang seharusnya tidak ada.
Kedua adalah ruang lingkup pekerjaan, sebagai Walikota semua bawahan ada dalam kendalinya, sebaliknya sebagai Menteri, yang notabene adalah pembantu Presiden, ruang lingkupnya Nasional namun hanya menangani bagian tertentu sesuai dengan tugasnya.
Seorang kepala daerah mungkin "bisa" memarahi anak buanya dan kemungkinan anak buahnya dapat menerima itu dan orang lain tidak ada ada yang keberatan karena semua dalam kendalinya.Â
Namun bila seorang Menteri memarahi anak buahnya di daerah tertentu, anak buah tersebut secara tidak langsung juga anak buah dari kepala daerah di wilayah tersebut dan yang pasti dia adalah bagian dari warga di daerah tersebut dibawah kepemimpinan kepala daerahnya.
Kedua pertimbangan di atas perlu diperhatikan oleh Bu Risma dan orang-orang dalam lingkaran terdekatnya agar tidak meneruskan gaya kepemimpinan marah-marah seperti sebelumnya.
Sebagai pemimpin, ekspresi marah memang terkadang diperlukan untuk menegaskan sikap, posisi, dan arahan kebijakan.Â
Marah terkadang menunjukkan kepedulian dan totalitas seorang pemimpin untuk menyelesaikan masalah yang ada.Â
Namun dalam suatu organisasi atau lembaga pemerintahan semua itu ada mekanismenya, bisa dengan teguran oleh atasannya secara bejenjang. Selain itu teguran yang diberikan juga disesuaikan dengan kadar kesalahan, mulai dari teguran lisan, peringatan-1, 2, dan seterusnya.
Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, kepercayaan, budaya dan adat-istiadat setiap wilayah memiliki norma-norma yang harus dihormati.Â
Gaya komunikasi yang dilakukan harus santun dan bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat.Â
Gaya kepemimpinan marah-marah akan berpotensi kontraproduktif, membelah masyarakat, dan menciptakan kegaduhan yang tidak sepatutnya terjadi.
Para pemimpin di level Nasional harus mulai belajar mengelola emosinya.Â
Tujuan yang baik tidak harus ditekankan dengan marah-marah, masih banyak cara lain yang lebih efektif dan tidak menimbulkan masalah baru.
Selain itu kita juga tidak bisa mengontrol reaksi orang-orang yang kita marahi, bisa jadi mereka sakit hati, ingin balas dendam atau mendoakan yang jelek-jelek kepada kita.Â
Atau bisa jadi orang lain yang membela mereka, orang lain yang balik marah kepada kita dan menggunakan "ketersinggungan" masyarakat untuk menyerang pribadi kita atau melengserkan kita dari sebuah jabatan.
Mungkin ini juga merupakan momentum bagi kita untuk melihat ke dalam dan berefleksi seperti apa gaya komunikasi atau gaya kepemimpinan kita selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H