Di awal bulan September ini, terjadi drama yang viral di media sosial. Suroto salah satu dari 4,500 peternak ayam rakyat di Kabupaten Blitar menjadi "pahlawan" bagi sesama peternak karena aksinya membentangkan poster saat Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Blitar.
Sebenarnya protes yang dilakukan peternak di Blitar mengenai harga jagung yang mahal bukan hal yang baru. Pada pertengahan Oktober 2018 terjadi aksi damai seribuan peternak layer (ayam petelur) dari Blitar Raya, Kediri, dan Malang di Pendopo Pemerintah Kabupaten Blitar.Â
Mereka memprotes kelangkaan jagung sebagai pakan ternak di pasaran dan harganya yang tinggi, di atas Rp 5.000 per kg. Pada saat itu aksi tersebut bisa diredam dengan baik karena Pemerintah melalui Kementan langsung mendistribusikan 12,000 ton jagung ke sejumlah sentra ayam petelur di beberapa titik di Pulau Jawa.
Namun kegusaran peternak ayam di Blitar kali ini cukup beralasan, harga jagung sudah menyentuh angka Rp. 6,000 per kg, sementara itu harga jual telur ayam di tingkat peternak justru turun sampai Rp13.800 per kilogram dari kandang.Â
Menurut beberapa sumber Harga Pokok Produksi (HPP) telur idealnya berkisar pada Rp. 18,000 -- Rp. 20,500 per kg, dengan harga jagung sesuai acuan pembelian (HAP) sebesar Rp. 4,500 per kg. Dengan kondisi tersebut peternak tertekan dari dua sisi sehingga mereka malah merugi.
Di tengah kondisi sulit yang dihadapi oleh peternak ayam rakyat, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Aditya Alta menyarankan Pemerintah untuk melakukan impor jagung.Â
"Impor jagung itu akan menambah jumlah jagung yang beredar. Ketika harga sudah tinggi, otomatis harga jagung turun dan pada akhirnya dia akan menurunkan biaya produksi bagi peternak ayam dan petelur," kata Aditya dalam sebuah webinar, Jumat (24/9), yang dikutip dari katadata.co.id.
Harga jagung impor memang lebih murah daripada harga jagung lokal saat ini. Namun solusi impor jagung ini ibaratnya seperti minum parasetamol pada orang yang sedang sakit dengan sympton demam tinggi. Untuk sementara mungkin bisa menurunkan "panas" tapi tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.
Sebenarnya bukan hanya jagung yang harga impornya lebih murah dibanding lokal. Komoditas bahan pangan lain seperti kedelai, gula pasir, bawang putih dan bahkan beberapa jenis buah-buahan lebih murah impor daripada produk lokal.
Sebagai contoh harga jagung impor dari Brazil saat ini hanya sekitar Rp. 2,500 per kg, jauh lebih murah dibanding harga jagung lokal yang mencapai Rp.6,000 per kg. Demikian juga kedelai impor yang harganya lebih murah dari kedelai lokal dan kedelai lokal hanya mampu memasok 10% dari kebutuhan kedelai Nasional, yang 90% masih mengandalkan impor.
Kondisi ini sangat ironis, kebijakan impor yang sering dijadikan solusi untuk mengendalikan harga bahan pangan dalam negeri hanya seperti minum parasetamol berulang-ulang untuk mengobati sympton demam namun tidak pernah menyembuhkan penyakit yang sebenarnya.
Penyakit yang sesungguhnya banyak, mungkin sudah menjadi komplikasi dari beberapa penyakit seperti produktifitas yang  rendah,  efisiensi yang rendah, rantai distribusi yang terlalu panjang, dan sistim logistik yang kurang lancar.
Amerika Serikat merupakan negara produsen jagung terbesar dunia dengan total produksi 385 juta ton per tahun atau setara dengan 36% produksi jagung dunia, urutan selanjutnya ditempati oleh China dan Brasil. Indonesia menempati urutan ke 8 dunia dengan total produksi sebanyak 20.4 juta ton per tahun atau setara dengan 1.9% produksi jagung dunia.
Luas lahan yang digunakan untuk menanam jagung di Amerika Serikat sekitar 35 juta hektar dengan produktifitas 11 ton per hektar. Sementara Indonesia memiliki luas lahan sekitar 3.8 juta hektar dengan produktifitas 5.4 ton per hektar.
Secara luas lahan dan produktifitas per hektar per tahun, Amerika Serikat jauh diatas Indonesia, meskipun Indonesia tanahnya subur dan dapat menanam jagung sepanjang tahun.Â
Jadi apa yang selama ini kita banggakan mengenai tanah Indonesia yang subur karena material vulkanik dari Gunung Berapi yang  banyak terdapat di negara kita serta matahari yang bersinar sepanjang tahun tidak memberikan keunggulan yang nyata. Dalam hal ini "kekayaan alam" yang kita banggakan kalah dibanding dengan penerapan teknologi dan manajemen yang dilakukan di Amerika Serikat.
Ini adalah fakta, meskipun menyakitkan harus kita terima. Kita tidak bisa terus menerus hanya "minum parasetamol" yang hanya menyelesaikan masalah sesaat, setelah itu masalah yang sama muncul lagi dan lagi.
Sebagai negara agraris semestinya Indonesia fokus pada kemandirian pangan, bukan sebaliknya memilih jalan keluar yang termudah namun sebenarnya hanya menutupi masalah yang ada. Sudah waktunya Indonesia berbenah di bidang pertanian, lebih baik terlambat memulai daripada tidak pernah sama sekali melakukannya.
Satu persatu masalah ekonomi biaya tinggi di sektor pertanian harus diselesaikan. Mulai dari penggunaan teknologi di bidang pertanian, riset dan pengembangan benih unggul terpadu dan manajemen pertanian yang terbaik.
Dalam hal riset dan pengembangan untuk menghasilkan benih yang unggul peran Lembaga Penelitian dan Universitas harus dimaksimalkan. Benih yang unggul harus mudah didapatkan dan harganya terjangkau rakyat kecil sehingga hanya benih unggul yang ditanam petani agar produktivitas dan kualitas hasil pertanian maksimal.
Kedua efisiensi perlu ditingkatkan dengan metode pertanian yang tepat dengan melakukan edukasi dan penyuluhan secara intensif kepada para petani oleh petugas penyuluh pertanian.
Dan yang paling penting adalah bagaimana memotong rantai distribusi Logistik, mengurangi pemain yang terlalu banyak. Di sini peran Koperasi Pertanian dan BULOG sebagai penyangga harus dimaksimalkan sehingga hasil panen dari petani atau Koperasi Petani langsung ditampung oleh BULOG untuk menyederhanakan rantai distribusi.
Selain jagung yang lebih prioritas sebenarnya adalah kedelai karena produksi kedelai lokal hanya menyumbang 10% kebutuhan kedelai Nasional. Secara global produsen kedelai terbesar di dunia adalah Amerika serikat dengan total produksi 117 juta ton per tahun atau setara dengan 35% produksi kedelai dunia. Indonesia menempati urutan ke 13 dunia dengan total produksi 968 ribu ton atau hanya 0.3 % dari total produksi dunia.
Selain produktivitas, luas lahan pertanian juga sangat kecil karena sentra pertanian kebanyakan ada di Pulau Jawa yang luasnya terbatas. Salah satu kendala sentra pertanian di luar Jawa adalah ongkos angkut atau biaya logistik yang tinggi.Â
Untuk mengembangkan pertanian di luar Jawa dalam skala yang mega-agriculture diperlukan teknologi terkini mulai dari pengolahan lahan sampai dengan memanen dan menyimpan hasil pertanian agar kualitasnya tetap terjaga dengan baik.
Bila kita mau menghadapi kenyataan dan menyelesaikan masalah diatas, banyak "Pekerjaan Rumah" pemerintah yang harus segera mulai dikerjakan. Ini adalah jalan sulit yang harus ditempuh oleh Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat agar pertanian di Indonesia bisa naik kelas, minimal masuk 5 besar dunia sesuai dengan jumlah penduduk dan luas wilayah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H