Memiliki Mobil Nasional sendiri merupakan cita-cita bangsa Indonesia sejak dulu. Dimulai dari tahun 1975, mobil "Nasional" pertama merupakan Kerjasama Indonesia Jepang (Kijang) yang dimotori oleh perusahaan mobil Jepang Toyota sehingga lahir Toyota Kijang. Saat itu mobil ini diklaim komponennya 100% dirakit di Indonesia.
Mobnas pertama ini cukup sukses namun brand Toyota masih tetap melekat, dan peran Toyota Motor Jepang lebih kuat sehingga "rasa" Nasionalnya semakin lama semakin berkurang.Â
Ini karena tidak ada Riset dan Pengembangan yang dilakukan di Indonesia, sehingga proses ambil alih teknologi tidak terjadi. Pabrik yang ada di Indonesia hanya sebagai "tukang jahit" untuk memenuhi pasar domestik yang sangat besar.
Setahun kemudian, pada tahun 1976 Indonesia mencoba lagi membuat Mobnas "Morina" kependekan dari Mobil Rakyat Indonesia namun tidak bertahan lama karena kurang persiapan dan mesinnya tidak cocok dengan kondisi tropis.
Titik balik dimulai pada tahun 1994, aspirasi rakyat melalui DPR agar Indonesia memilki mobil Nasional karya anak bangsa menguat kembali.Â
Dibawah pimpinan Dr. Ing. BJ Habibie selaku Menristek pada saat itu dimulailah proyek Mobil Nasional "Maleo". Mobil dengan harga yang terjangkau tersebut direncanakan akan muncul pada tahun 1997 dan diproduksi massal tahun 1998.Â
Mobil ini menggunakan teknologi baru dari hasil kerjasama dengan pabrik mobil Australia (Orbital) dan direncanakan menggunakan komponen lokal sampai 80%. Namun sayang proyek ini terhenti karena munculnya proyek Mobnas Timor milik Tommy Suharto anak bungsu presiden Suharto pada tahun 1996.
Pada era 1990-an juga ada beberapa mobil yang mengklaim sebagai mobil Nasional seperti MR90 (nasionalisasi dari merek Mazda), Kala Automotive, Bakrie Beta 97 MPV dan yang paling fenomenal adalah Timor dan Bimantara.Â
Timor bekerjasama dengan Kia Motor (Korea), diawali dengan re-branding Kia Shepia. Bimantara bekerjasama dengan Hyundai Motor (Korea) dengan melakukan re-branding mobil Hyundai Accent.
Semua proyek Mobnas diatas akhirnya berhenti, baik karena persiapan yang kurang, salah kelola, salah strategi, kurang diterima pasar maupun karena dampak Krisis moneter tahun 1998 yang diikuti dengan berakhirnya era Orde Baru menuju ke era Reformasi.
Setelah jeda cukup lama, tiba-tiba tahun 2013 mulai muncul wacana menghidupkan Mobnas. Ide ini berawal dari siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di kota Solo yang ingin merakit mobil sendiri dan membentuk komunitas Esemka.Â
Semangat anak muda yang tinggi ini mendapat dukungan dari Pak Jokowi pada saat menjabat sebagai Walikota Solo periode 2005-2012 dan terus berlanjut sampai pak Jokowi jadi Presiden.
Dengan dukungan dan kerjasama dari berbagai institusi dalam negeri dan beberapa perusahaan lokal dan nasional akhirnya didirikan Perusahaan Mobil Nasional Esemka yang diresmikan Presiden Jokowi pada tahun 2019.
Tidak berbeda jauh dari para pendahulunya, pada awal produksinya mobil Esemka merupakan re-branding dari mobil China yang bekerja sama dengan Esemka, yaitu Chery Automobile Co. dan Guandong Foday Automobile Co.
Menilik perjalanan Mobnas dari tahun 1975 sampai saat ini, jujur saja tidak ada kemajuan yang berarti. Selama 45 tahun lebih industri mobil Nasional hanya berkutat pada perakitan dan re-branding. Bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia (Proton) dan Vietnam (VinFast) kita bahkan semakin jauh tertinggal.
Apa yang salah dengan Industri Mobil Nasional kita ? Kenapa selama 45 tahun lebih industri ini dibangun namun sampai saat ini masih jalan ditempat ?
Industri mobil bukan hanya sekedar perusahaan tunggal yang memproduksi mobil mulai dari awal pembuatan komponen sampai perakitan. Ada ekosistem industri yang mendukung sebuah pabrik mobil yang mensuplai komponen-komponen yang dibutuhkan yang jumlahnya ratusan pabrik.
Sebagai contoh, untuk membuat sebuah mobil di pabrik mobil Toyota, dibutuhkan 2,000 - 3,000 komponen. Untuk menyediakan komponen sebanyak itu dibutuhkan supplier utama sebanyak 140 perusahaan.Â
Dibawah supplier utama masih ada sub-sub supplier (ring 2 dan ring 3) yang jumlahnya 2-3 kali lipat. Sehingga total ada sekitar 500-an perusahaan yang mendukung pembuatan sebuah mobil.
Bisa dibayangkan betapa kompleksnya untuk menyatukan ratusan perusahaan tersebut kedalam sistem produksi Toyota sebagai satu rantai pasokan (Supply Chain Magement).Â
Terlebih lagi di dalam Toyota Production System dikenal dengan istilah "just in time", artinya tidak boleh ada stock, semua bagian harus mengalir seirama proses produksi di jalur perakitan utama.Â
Dengan demikian bila salah satu pemasok mengalami masalah maka akan berpengaruh kepada keseluruhan proses dan dampaknya juga berpengaruh ke pemasok lain selain tentu saja kepada pelanggan akhir.
Dalam rantai pasokan selain jumlah yang sudah ditentukan harus dicapai, Toyota juga menerapkan kontrol kualitas yang sangat ketat kepada para pemasoknya.Â
Untuk memastikan para suppliernya dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan, baik kuantitas maupun kualitas, Toyota membina para suppliernya melaui program continuous improvement (Kaizen Activity) yang mendorong semua pemasoknya agar melakukan perbaikan berkesinambungan.
Ekosistim industri pendukung seperti inilah yang harus dibangun oleh industri mobil Nasional. Dengan demikian mereka akan lebih fokus ke Riset dan Pengembangan, desain, pemasaran dan membina para pemasoknya agar naik kelas menjadi pemasok kelas dunia.
Membangun ekosistim seperti ini tidak mudah. Sebagai contoh dari 140 pemasok utama pabrik mobil Toyota di Indonesia hanya 25 perusahaan yang murni perusahaan domestik (PMDN) sisanya adalah perusahaan kerjasama dengan asing (PMA) atau dari luar negeri.
Kebijakan untuk membangun industri mobil Nasional dari jaman Orde Baru sampai sekarang boleh dibilang tidak terarah atau mungkin tidak tahu arah. Semua pengambil keputusan tidak menyadari bahwa membangun ekosistim industri harus dimulai dari paling hulu yaitu membangun infrasturktur industri.
Semua negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris dan lainnya menyadari bahwa untuk menjadi negara industri yang kuat mereka harus terlebih dulu menyediakan infrastruktur industri.Â
Mereka fokus untuk membangun dan memperkuat industri yang yang paling dasar terlebih dahulu, Â contohnya industri yang memproduksi alat-alat perkakas, mesin potong, mesin bubut, mesin las dan lainnya.
Tersedianya infrastruktur industri Ini akan memicu tumbuhnya bengkel-bengkel dan industri skala kecil. Selain itu dampak yang paling penting adalah terbentuknya budaya industri atau permesinan.Â
Bengkel atau industri skala kecil ini akan menjadi pondasi bagi industri yang lebih besar yang bisa memasok komponen bagi industri yang lebih besar lagi.
Demikian seterusnya sehingga akan akan terbentuk cikal bakal ekosistim industri yang mampu untuk mendukung dan menyokong industri yang lebih besar seperti industri mobil Nasional.
Ekosistim industri yang kuat dan didukung oleh kebijakan pemerintah dalam melindungi industri dalam negeri serta dukungan riset teknologi dari Perguruan Tinggi terbaik merupakan lingkungan yang ideal bagi tumbuhnya Industri Mobil Nasional.Â
Industri Mobil Nasional yang bukan hanya sekedar "tukang jahit" atau menempelkan brand (re-branding) diatas produk orang lain.
Semoga pemangku kepentingan dimasa depan menyadari hal ini, dan mimpi untuk memiliki Mobil Nasional kebanggaan bangsa Indonesia bukan hanya jadi mimpi diatas mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H