Mohon tunggu...
Rudy Sangian
Rudy Sangian Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi Pelabuhan

Praktisi Logistik Kepelabuhanan selama 20 tahun, telah menjadi konsultan pada 29 pelabuhan di Indonesia untuk tujuan revitalisasi, penyederhanaan proses serta pemanfaat teknologi terkini di Ranah Pelabuhan. Memiliki jaringan tenaga ahli kepelabuhanan baik secara domestik maupun internasional.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kedala Transformasi Pelabuhan Indonesia

15 Maret 2019   10:52 Diperbarui: 15 Maret 2019   11:47 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kegiatan pemerintah ingin menjadikan Indonesian V 4.0 itu jika hanya industrinya saja maka itu belum maksimal. Mengapa? Karena kemajuan industri berhubungan erat dengan kehandalan manajerial pelabuhan.

Di sisi lain, Industry V 4.0 itu fokus ditujukan untuk menjadi Smart Industry dan bukan untuk menjadi Smart Port. Ini report kalau semuanya di-campuraduk-an ya.
Saya menangkapnya bahwa salah satu definisi kalimat menjadikan Indonesia V4.0 itu ditujukan bukan hanya Smart Industry, tetapi juga Smart Port.

TENTANG SMART PORT

Gambar terlampir adalah penjelasan umum bagaimana menjadi pelabuhan Indonesia menjadi Smart Port. Tekanannya itu bukan hanya sekedar kepada pemanfaatan teknologi menggunakan robot tetapi juga kepada wujud manajerial pelabuhan.

Pelabuhan itu bukanlah entitas layanan one-to-many, tetapi many-to-many yang disebabkan posisi pelabuhan itu berada ditengah mata rantai pasok [logistik] industri atau Industry Logistics Chain.

AS-IS ANALYSIS PELABUHAN INDONESIA

Hampir 99% kondisi manajerial pelabuhan sebanyak 1.961 pelabuhan saat ini hanya berfokus pada kegiatan bongkar muat (phase 1 Loading & Unloading Seaport [1960]). Anda bayangkan ya itu terjadi sejak 1960 dan sampai tahun 2019 ini belum ada perubahan.

Kita sendiri bisa rasakan sekarang ini, bahwa Operator Pelabuhan bekerja lurus (seperti kacamata kuda) fokus pada pencapaian maksimal volume bongkar muat. Bisa anda iseng tanyakan: apakah container yang barusan dibongkar dari kapal tersebut itu milik siapa. Sudah pasti, manajemen terminal akan mengatakan mereka tidak tahu siapa pemilik container tersebut, bahkan isinya-pun mereka tidak tahu, apakah di dalamnya ada barang yang jika meledak dapat merusak fasilitas pelabuhan dan sebagainya.

Akibatnya, ketika container sudah berlama-lama di pelabuhan, mereka kesulitan untuk menghubungi siapa Pihak Yang Dikuasakan sebagai Pemilik Barang. Dan jika sudah demikian, maka demi kelancaran bongkar dan ketersediaan lahan bongkar maka container yang bersangkutan dipindahkan ke lahan penyangga tanpa pemberitahuan kepada Pemilik Barang Yang Dikuasakan.

TO-BE ANALYSIS TRANSFORMASI PELABUHAN INDONESIA

Tentang kaitannya pelabuhan dengan industri sehingga [Phase2]  pada gambar terlampir disebutkan dengan Industrial Port, dan negara-negara lain itu sudah memulainya sejak tahun 1980.

Apa ciri utama bahwa pelabuhan Indonesia sudah berubah menjadi Industrial Port? Saya sebutkan di sini garis-garis besarnya saja ya, dan silahkan anda entah sebagai jurnalis atau sebagai peneliti atau sebagai pengembang aplikasi dapat bertanya langsung kepada manajemen pelabuhan setempat.

  1. Penataan Lahan Penumpukan Barang itu sudah berubah dari yang tadinya hanya sekedar menyusun rencana blok bongkar dan rencana blok muat; telah direvitalisasi dengan manajemen baru, yakni: menyusun berdasarkan blok perencanaan delivery dan blok perencanaan receiving. Kalau membaca ini tidak mengerti, maka silahkan bertanya langsung kepada saya.
  2. Manajemen Pelabuhan tahu siapa Pemilik Barang Yang Dikuasakan sehingga dapat berkoordinasi sejak barang tsb dibongkar dari atas kapal dan dapat memberi arah mengenai tata cara pengambilan barangnya pada blok perencanaan delivery; dan demikian pula halnya dengan tata cara penerimaan barangnya pada blok perencanaan receiving sehingga dapat mempercepat kegiatan pemuatannya ke atas kapal.
  3. Pada layanan kapal, maka prioritas penyediaan dermaga tambatan kapal berdasarkan rujukan koordinasi dengan Kawasan Industri terkait yang berada di sekitar pelabuhan. Sehingga ketika kapal datang dapat segera melakukan kegiatan bongkar yang memberikan nilai tambah kualitas percepatan pengiriman barang ke Kawasan Industri dan menghemat biaya dan menghemat waktu, tidak mengganggu PPIC(Production Planning and Inventory Control) berbagai manufaktur di Kawasan Industri yang dituju. Dan yang terakhir Dwelling Time rendah.

Saya hanya memberikan ciri-ciri utama untuk mengukur apakah pelabuhan di Indonesia sudah bertransformasi menjadi Industrial Port. Dan tulisan penjelasan pada artikel ini hanya fokus menjelaskan secara umum mengenai keterkaitan pemerintah yang giat menjadikan Indonesian V 4.0 yang berhubungan dengan Smart Industri; dan juga Smart Port; tetapi pada kenyataannya hampir 99% pelabuhan kita belum menjadi Smart Port. Dan akhirnya bisa dibayangkan ada mata rantai kerangka pikir yang putus untuk menjadikan Indonesia V 4.0 gitu ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun