Mohon tunggu...
Rudy Rdian
Rudy Rdian Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kawula alit ingkang peduli nasib negeri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Korupsi dengan Memanfaatkan Fasilitas Negara di Diknas? Rusak Memang

4 Agustus 2014   13:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:28 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Libur sekolah telah usai. Anak-anak kembali ke sekolah !!

Setiap tahun lulusan SD yang masuk ke bangku SLTP dapat dipastikan lebih banyak daripada bangku yang tersedia di SLTP, untuk itu yang tidak tertampung ditampung di SLTP luar negeri (swasta). Orang tua tentu saja berkeinginan keras anaknya masuk SLTP Negeri karena alasan klasik….lebih murah. Sedangkan SMP swasta yang lumayan mutunya memang mahal. Uang masuk 3-5 juta dengan SPP bulanan 250-350rb. Jadi jika ditotal selama 3 tahun sekolah, maka diluar “tetek bengek” menjadi 3 juta + (250rb x 36) = 3 juta + 9 juta = 12 juta. Sedangkan masuk SLTP negeri….gratis (katanya), tidak ada uang masuk tidak ada SPP bulanan.

Ok. Saya mau beritahu saja ke pokok persoalan masalah masuk SLTP. Program BOS menjadikan biaya gratis bagi siswa SD, SLTP, SLTA. Tetapi dengan adanya program ini, maka oknum Kepala Sekolah dan guru jadi tidak punya uang sampingan yang bener-bener nampol (kate orang betawi bilang) alias sekali pukul dapat gedhe. Karena BOS sekarang diawasi ketat. Salah-salah masuk penjara karena penyalahgunaan uang negara. Makanya ajang tahunan masuk SD, SLTP, SLTA lah mereka manfaatkan sebaik mungkin untuk mendulang uang yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Dan hasilnya biasanya sih…..dibagi rata tuh ke hampir semua guru. Baik yang PNS maupun yang honorer. Berapa hitungan yang didapat? Ini kisah nyata itu…

Di kota sebelah barat Jakarta. Nyata dan fakta. Hampir semua SLTP Negeri menurut penerimaan online menerima “cuma” rata-rata 8 kelas dengan masing-masing kelas 40 anak. Jadi total “cuma” 320 anak. Tetapi bagaimana kenyataannya? Sekolah tersebut kadang menerima antara 10-13 kelas atau 2-5 kelas lebih banyak kadang sampai 15 kelas tergantung banyaknya permintaan. Loh kok bisa? Jelas bisa karena ada beberapa kelas yang “status”nya negeri tetapi masuk bukan pagi….”agak siang” memakai gedung yang sama. Terus penerimaan yang 5 kelas ini bagaimana? Inilah yang menjadi ladang panen tahunan oknum-oknum….serba susah, katanya oknum tapi kok 90% merata dapat semua.

Melalui sistem MLM alias member get member alias mulut ke mulut, bangku yang 5 kelas total 200 anak tersebut “dijual” dengan kisaran 3-5 juta, bahkan jika SLTP Negeri favorit sampai 8-10 juta. Mengapa mereka mematok uang “sangat tinggi”, karena mereka menghitung/berpatokan pada sekolah swasta di atas…yang total 3 tahun orang tua murid keluar 12 juta. Dan kelas “ilegal” inipun pasti penuh.

Nah lo….kalo kita ambil rata-rata 3 juta saja, maka 200 anak x 3 juta = 600 juta uang terkumpul. Terus kalau ketahuan gimana? Halah….di Indonesia, siapa sih yang akan teriak kalau sudah mulutnya dibekap duit. Nih kira-kira hitungannya :

1. Fee DikNas setempat 10% x 600 juta = Rp. 60 juta

2. Fee Penegak hukum setempat (polisi, jaksa, dll) 10% x 600 juta = Rp. 60 juta

3.Fee Wartawan (haha yang katanya corong informasi) 10% x 600 juta = Rp. 60 juta

4. Lain-lain (RT, RW, partai politik) 10% x 600 juta = Rp. 60 juta

Total = Rp. 240 juta

Penerimaan 600 juta – 240 juta = 360 juta/tahun ajaran.

Sisa 360 juta inilah dibagi Kepala Sekolah dan anak buahnya hahahaha….Makanya tidak heran banyak kepala sekolah yang punya banyak rumah, mobil, usaha, rumah kontrakan sampai 50 buah karena dia menelan paling banyak. Itu baru yang 3 juta/anak, gimana kalau 5 juta/anak? Silakan bayangkan sendirilah.

Mau dilaporin? Dianggap angin lalu, karena semua sudah dibekap. Dan sistem MLM ini juga mereka yang masuk nomer 1-4 lah yang ikut melakukannya. Harga modal 3 juta, bisa mereka jual 4-10 juta/anak. Pernah ada orang tua murid melaporkan. Tapi apa kenyataannya? Tidak ada tanggapan dan malah anak orang tua murid itu di-bully atau di-intimidasi di sekolah, padahal anak ini masuk secara jujur lewat nilai UN. Bukan orang tuanya yang diintimidasi tapi anaknya…pinter juga garong-garong itu ya hihi...

Ini berita bohong? Hihihi….cek saja sendiri. Begitu mengaku wartawan, kalau tidak langsung diusir pasti dibekap uang. Mau model ditektif ala TV swasta yang pakai kamera tersembunyi? Sulit karena begitu kedatangan tamu yang mereka tidak kenal, naluri mafia mereka langsung mode on…mulut terkunci.

Inilah yang saya namakan korupsi dengan memanfaatkan fasilitas negara Diknas untuk mencari keuntungan pribadi. Jadi inikah yang namanya pendidikan? Dari contoh ini saya jadi ingat program Jokowi…lelang Kepala Sekolah. Dengan lelang kepala sekolah dan harusnya kepala sekolah dirotasi tiap 2 tahun dengan diundi, sehingga tidak banyak waktu untuk melakukan "koordinasi" antar mereka, maka kolusi akan bisa dikurangi. Karena sangat sulit jika pada kasus di atas Kepala Sekolah bergerak sendiri.

Nanti saya akan kisahkan hal lain yang lucu lagi yang masih berkaitan dengan hal ini, yaitu :

Bagaimana anak-anak yang masuk ke kelas “ilegal” tadi apakah semua anak pintar?

Kalau yang masuk anaknya bodoh bagaimana?

Dari hal itu, kadang saya tertawa karena ada saja bisnis guru-guru ini yang memanfaatkan anak didik. Terutama di kota sebelah barat Jakarta…bagaimana kalau kota lain? bagaimana dengan SLTP masuk ke SLTA?…saya sihhhh yakin ada juga dan sama. SUDAH RUSAK MEMANG.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun