Mohon tunggu...
Rudi Meox
Rudi Meox Mohon Tunggu... -

Harapan adalah doa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Year of The Dragon

20 Februari 2015   20:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:49 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sempat terpinggirkan bahkan menoreh sejarah kelam, etnis Tionghoa berangsur-angsur mulai tampil ke permukaan. Bukan hanya di sektor bisnis, tapi juga menjadi pemangku jabatan prestisius.

***

Dia tak muda lagi, namun semangatnya hari itu seolah melampaui kemampuan usianya. Senyuman pun hentinya menghias wajah Akiang, yang terus berbenah demi mempersiapkan datangnya Imlek 2566.

Tak ketinggalan, Akiang, yang biasa dipanggil dengan nama Suharno, memamerkan pula 50 lilin raksasa yang memenuhi Klenteng Toa Pek Kong, di Jl Teuku Umar, Kota Tarakan. Menurut tokoh spiritual umat Konghucu yang sehari-harinya mengabdikan diri di klenteng tersebut, lilin khusus itu harus didatangkan langsung dari Surabaya, Jatim. “Tinggi 1 lilin ini mencapai 1,8 meter dengan berat sekitar 50 kilogram,” katanya.

Sedangkan harga untuk sepasang lilin raksasa yang nantinya akan dinyalakan tepat pada malam perayaan Imlek itu, menurut Akiang, mencapai Rp.2.200.000. Mahal memang, tapi agaknya nilai ritual lilin itu dipandang jauh lebih berharga bagi mereka.

Akiang mengatakan, nyala lilin itu melambangkan penerangan, masa depan dengan penuh harapan. Tak heran, lilin-lilin raksasa itu akan dipasang di klenteng tersebut hingga 15 hari pascaperayaan Imlek, atau hingga Cap Go Meh.

“Tidak dimatikannya lilin hingga Cap Go Meh dimaksudkan agar panjang rejeki, panjang umur,” papar Akiang sambil lagi-lagi tersenyum.

Kebahagiaan, harapan, dan semangat yang menyala-nyala agaknya memang tengah menaungi kalangan Tionghoa di tanah air. Bukan hanya lantaran perayaan Imlek sebentar lagi datang, tapi boleh jadi karena semua capaian yang telah berada dalam genggaman mereka.

AWAN HITAM

Diketahui, beberapa era sebelumnya, awan mendung sempat mengayuti eksistensi etnis Tionghoa  di negeri ini. Sebut saja ketika negeri masih dikuasai kolonial, orang-orang Tionghoa ditempatkan di wilayah khusus, dalam perkampungan sendiri, dan terpisah dari masyarakat setempat. Konon, kebijakan itu diambil karena kepentingan Pemerintah Belanda tidak terganggu oleh kalangan itu.

Pada 1740 awan bahkan kian gelap menaungi nasib etnis Tionghoa di Nusantara. Di bawah perintah Gubernur Jendral Valckenier, tercatat terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia. Sedikitnya 10.000 orang etnis Tionghoa tewas. Konon, pembantaian itu dimaksudkan agar kalangan bisnis etnis Tionghoa ini betul-betul tunduk terhadap Belanda.

Di era pemerintahan Presiden Soekarno, pada 1959-1960, eksistensi etnis Tionghoa juga menoreh nestapa. Bukan hanya berupa pengejaran terhadap orang-orang Tionghoa yang merupakan bagian dari pelaksanaan dan pengembangan politik anti-Tionghoa pada 1956, pada 14 Mei 1959 pemerintah berkuasa juga mengeluarkan PP No. 10/1959 yang isinya menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 desember 1959.

Kebijakan itu disinyalir menjadi penyebab eksodus besar-besaran etnis Tionghoa dari Indonesia. Tercatat, selama 1960-1961 lebih dari 100.000 orang Tionghoa yang pergi meninggalkan Indonesia. Pada masa orde baru, pemerintah mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk, larangan bagi etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri dan tentara, serta larangan bagi mereka memiliki tanah di pedesaan.

Baru pada 7 Juni 1967, Presiden ke-2 RI HM Soeharto mengeluarkan surat edaran ‘Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina’. Disebutkan dalam edaran tersebut, etnis Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya.

Surat tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI. Namun demi menghindari eksklusifisme rasial, pemerintah memilih untuk mengasimilasikan warga keturunan Tionghoa dan meminimalisir kedekatan dengan leluhur.

Penggantian nama, pelarangan penerbitan dalam bahasa dan aksara Tionghoa, pembatasan kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga, dan pembatasan pagelaran terkait perayaan agama di muka umum, serta pelarangan berdirinya sekolah-sekolah khusus Tionghoa pun menjadi konsekuensi dari kebijakan asimilasi tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun