Mohon tunggu...
Rudy Efendy
Rudy Efendy Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bahagia itu sederhana, yakni hidup dengan hati syukur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Cinta

18 Januari 2012   00:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:45 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutarik napas panjang. “Aku merasa damai di sini. Banyak hal yang aku pelajari dari Rinpoche dan Lama yang membuka pikiranku tentang cinta dan kasih sayang. Kasih sayang terhadap semua makhluk tanpa kemelekatan. Tanpa nafsu dan keterikatan.”

Sekarang lelaki itu terpana menatapku tak percaya. Guratan wajahnya mengeras. Rahangnya yang kokoh terkatup kaku dibias pendar cahaya mentari menjelang senja. Sinar matanya memandangku  tidak percaya. Lama dia tidak berkata-kata. Akhirnya dia berjalan ke tempat duduknya kembali dan menghempaskan dirinya dengan berat. Seolah-olah  habis membawa beban  berton-ton beratnya .

“Kesalahanku mengijinkan kamu ke sini, meninggalkanku terlalu lama, Ris.  Meninggalkan segala keduniawiaan. Harusnya saat om Malwin meninggal, tidak kuijinkan kamu ke sini…Harusnya kucegah…..”  gumamnya lirih dengan pandangan menerawang, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Ada kesedihan dan keputusasaan dalam suaranya.

Kuhela napas. Reza tidak bersalah. Dia lelaki yang baik. Sangat family man. Figur yang diidam-idamkan oleh semua wanita baik-baik yang ingin berkeluarga, melahirkan anak dan membesarkan anak buat suaminya.

Tetapi…. sudah lama keinginan itu  raib dari dalam pikiranku. Bukan hidup seperti itu yang membuatku bahagia. Selama tinggal di dharmasala , bersama sama dengan umat dari berbagai bangsa yang tinggal di sini, belajar dhamma dengan semua Lama dan Rinpoche, membuatku melihat kebahagiaan dan hidup dari sisi yang sangat berbeda.

Saat-saat yang terlewatkan sebagai relawan mengajar anak-anak desa di lereng gunung Himalaya, membantu penduduk desa membangun dharmasala desa dan kegiatan-kegiatan rohaniah lainnya, membuatku benar-benar merasa hidupku lebih berarti.

Selama hampir tiga tahun ini setiap hari menyaksikan kehidupan penduduk lereng gunung yang begitu lugu dan tidak mengutamakan materi, melihat senyum anak-anak gunung dengan pipi rona  memerah membuatku benar-benar enggan meninggalkan tempat ini. Dan ingin terus menanam karma baik di sini.

Kuhampiri lelaki yang duduk tercenung itu. Oh.. bagaimana aku harus mendedikasikan rasa cinta dan kasih sayangku hanya pada lelaki ini, sementara ada rasa cinta kasih yang tak terbatas yang jauh lebih besar ……. yang jauh dari kondisi dan kemelekatan…

Kusentuh pangkal tangannya dan kugenggam erat.

“Maafkan aku Rez. Aku benar-benar tidak berniat menyakitimu. Tapi… ..” ucapanku terhenti. Berusaha mengerti perasaan hatinya “Aku betah tinggal di sini, dan tidak berpikir untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Segala sesuatu yang terjadi membuatku merasa  bagian dari kehidupan di sini. Aku tidak bisa membayangkan meninggalkan semua yang di sini dan kembali ke Indonesia, menikah dan melahirkan anak-anak buatmu. “ lanjutku perlahan. “Aku merasa tempat ini, yang sekarang aku lakukan, adalah panggilan hidupku.”

Reza menggenggam erat jari jemariku tanganku. Terpekur diam. Dipandangnya wajahku. Lama. Berusaha mencari-cari sekelebat  harapan untuk membujukku kembali. Tetapi begitu dia melihat sinar keyakinan yang terpancar dari dalam mataku, lelaki itu menyerah. Sepasang matanya yang tadinya masih menyiratkan harapan, meredup dan padam ditelan kekecewaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun