Mohon tunggu...
Rudy Efendy
Rudy Efendy Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bahagia itu sederhana, yakni hidup dengan hati syukur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Hari Nanti

16 Desember 2011   16:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:10 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alunan paritta itu mendamaikan pikiran dan mengembalikan akal sehatku kembali.

Hmm.... biarlah. Wirya pasti mengerti. Dan istrinya pasti berterima kasih kepadaku, karna dengan ticket itu jadinya suami istri itu bisa berangkat bersama.

Mana mungkin aku tinggalkan Mama yang lagi sakit-sakitan. Tahun lalu, aku memaksakan diri ke Eropa Barat, padahal sudah kudatangkan kakak sulung dari luar kota untuk jaga Mama.

Tapi pulang-pulang Mama diminta dokter opname. Pendarahan maag.

Ya, mama sudah tua. Umur 75. Tapi begitulah orang tua. Kalau menua, menjadi anak kecil. Dan sakit-sakitan. Osteoporosis, asma yang dibawa sejak kecil dan maag. Mungkin mudanya juga tidak banyak minum supplement dan kurang bergerak, sehingga tulangnya keropos di usia sekarang.

Mama sangat dekat dengan aku. Dari kecil. Mungkin aku anak laki tunggal. Dari kecil Mama berjuang sehingga aku bisa bersekolah, les bahasa Inggris dengan baik, dan susah payah menguliahkan aku di salah satu perguruan tinggi terkenal di Jakarta.

Bagaimana mungkin aku meninggalkannya dalam keadaan seperti demikian? Bagaimana aku meninggalkan orang tuaku yang sedang sakit-sakitan sendiri sementara aku menikmati fajar dan mendengar auman singa gurun? Anak apa pula aku ini kalau sampai melakukannya. Kalau adikku tega, aku tidak. Biarlah. Aku yakin suatu hari nanti, kalau umurku panjang, aku masih bisa kemana saja. Yang penting ada rejeki dan usia.

Aku tidak mau aku bersikeras pergi dan pulang-pulang.... Ah, kulenggangkan kepalaku kuat-kuat

Biarlah Wirya mencemoohku  anak mami, anak manja dan seterusnya. Aku selalu ingat Sutra Bakti seorang Anak.

Salah satu bunyinya adalah " Bila ada satu masa yang penuh dengan kesukaran dan kelaparan, memotong sebagian dari daging badannya sendiri untuk memberi makan orang tuanya dan ini diperbuatnya sebanyak debu yang ia lalui dalam perjalanan seratus ribu kalpa, orang itu pun belum membalas kebaikan yang dalam dari orang tuanya."

Ya, biarlah. Biarlah kali ini aku tidak berangkat. Sama seperti yang sebelumnya. Sama halnya seperti teman-teman yang ajak ziarah dan tidak pernah aku hiraukan. Nepal. Istana Potala. Tibet. Kalau karma dan jodohku masih ada, suatu hari nanti aku pasti akan menjejakkan kaki di sana.

Separuh bergumam kualunkan paritta mengikuti rekaman CD  dalam mobilku yang sejuk, sembari  menerobos kekelaman malam.

21.10.2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun