Mohon tunggu...
Rudy Chandra
Rudy Chandra Mohon Tunggu... Dosen - Menjadi Pribadi yang Aktif & Positif

Rudi Candra lahir di kabupaten Jember, pada bulan Mei 1983, menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Al-Azhar Mesir dalam bidang Tafsir dan Studi Al-Qur'an, sedangkan pada strata S2 diselesaikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada bidang studi ilmu Hubungan Internasional. Saat ini berprofesi sebagai pendidik di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Deradikalisasi dan Misi Penyelamatan Negara

3 November 2019   05:59 Diperbarui: 3 November 2019   05:57 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah acara talkshow di salah satu televisi swasta, menteri Kemenko Polhukam Mahfud MD menjelaskan bahwa salah satu visi yang ditentukan oleh presiden yaitu deradikalisasi. Untuk kemudian, sang menteri kembali menjelaskan hubungan antara deradikaliasi dengan persoalan agama yang sering disalah pahami.

Isu deradikalisasi menjadi topik pembicaraan yang hangat untuk dibicarakan, entah diawali oleh sebuah peristiwa ataupun tidak, isu ini seakan-akan menjadi makanan pokok bagi seluruh aparat pemerintah, terlebih jika presiden berfatwa, maka sesuatu yang kecilpun akan menjadi besar, sebab telah diucapkan oleh pembesar.

Sebagai rakyat biasa, sebenarnya isu radikalisme bukanlah hal penting bagi masyarakat hari ini, bahkan topik ini usang untuk dibicarakan jika dibandingkan topik terkait dibatasinya distribusi dan penggunaan bahan bakar premium, sehingga rakyat harus bersusah payah mengantri panjang hingga larut malam demi mendapatkan bahan bakar yang hari ini benar-benar 'premium'.

Terlebih, jika isu ini disandingkan dengan sulitnya perekonomian rakyat, dan keterbatasan peluang pekerjaan bagi seluruh masyarakat Indonesia, hingga rakyat kita harus merantau meninggalkan bumi pertiwi untuk menjadi TKW dan TKI,  demi harapan masa depan yang lebih baik. Adalah bukti nyata, bahwa sebenarnya ada PR pemerintah yang lebih penting dan harus secepatnya diselesaikan, terlebih aspek manfaatnya bisa dirasakan langsung bagi seluruh bangsa Indonesia hari ini.

Namun, isu deradikalisasi ibarat genre film horror di gedung bioskop, meskipun para penonton  tidak pernah melihat langsung sosok hantu dalam kehidupan nyata, namun mereka akan senantiasa percaya dan bahagia untuk mengikuti alur cerita yang disuguhkan sang sutradara. Hantu dan setan adalah produk imajinasi manusia yang dimodifikasi sehingga terasa nyata, padahal realitasnya tidaklah sama.

Sebagai seorang yang beriman, kita harus meyakini, bahwa setan itu ada dan diciptakan oleh Sang Pencipta, seperti halnya para malaikat.

Namun, satu yang harus dipahami bahwa setan adalah mahluk ghaib, yang secara kodrat tidak akan pernah terlihat oleh mata. Lucunya, justru masyarakat kita hari ini, lebih sering merasakan ketakutan jika suatu hari bertemu dengan sosok hantu, yang secara logika dua hal ini tidak akan bertemu. Karena jika ia tampak maka secara takdir sudah menyalahi kodratnya sebagai sesuatu yang ghaib.

Begitu pula dengan isu deradikalisasi, sebagai orang yang beragama dan manusia yang berlogika, kita tidak menafikan adanya beberapa oknum yang salah memahami teks agama, sehingga melahirkan pemikiran yang salah untuk selanjutnya beraksi atas kesalahan cara pandang tersebut.

Namun, mengangkat isu ini lebih dari porsi yang dibutuhkan seperti meminum obat dengan dosis tinggi untuk sakit yang ringan, akibatnya bukanlah kesembuhan yang didapatkan, melainkan semakin bertambahnya rasa sakit atau mangakibatkan kefatalan yang lebih.

Akhirnya, seperti halnya film horror, dengan cerita setan dan hantu yang menyeramkan, walaupun sebenarnya ia tidak nyata tapi akan tetap diproduksi karena secara ekonomi memberikan keuntungan yang signifikan.

Biarlah para produser akan terus memproduksi film-film horor 'deradikalisasi' karena memang ada segmen penonton yang suka dan menikmatinya, namun bagi saya pribadi; yang lebih tertarik dengan genre drama dan aksi, akan lebih rela mengeluarkan recehan rupiah untuk sebuah tontonan yang menghibur bukan menakuti, yang membuat tertawa bukan menderita.

Semoga drama-drama ini akan berakhir setelah 120 menit, untuk kemudian kembali ke kehidupan kita yang nyata!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun