Mohon tunggu...
Rudy Chandra
Rudy Chandra Mohon Tunggu... Dosen - Menjadi Pribadi yang Aktif & Positif

Rudi Candra lahir di kabupaten Jember, pada bulan Mei 1983, menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Al-Azhar Mesir dalam bidang Tafsir dan Studi Al-Qur'an, sedangkan pada strata S2 diselesaikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada bidang studi ilmu Hubungan Internasional. Saat ini berprofesi sebagai pendidik di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tragedi Wamena, Ujian bagi Kesaktian Pancasila

1 Oktober 2019   05:14 Diperbarui: 1 Oktober 2019   05:49 1777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1 Oktober 2019, Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, harus kembali diuji kosistensi dan kesaktiannya. Tragedi Wamena yang telah merenggut nyawa sebagian dari masyarakat Indonesia atas ulah beberapa anak bangsa sendiri, adalah bukti nyata bagaimana "Persatuan Indonesia" sebagai wujud dari sila ke tiga Pancasila, hanyalah slogan semata.

Sebuah kejadian yang tidak bisa dianggap biasa, sebab toleransi sebagai ruh dari Bhineka Tunggal Ika, nyata-nyata telah cidera. Isu-isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang selama ini terjaga, kembali dimainkan, sebagai pemecah belah bangsa.

Sebagai rakyat biasa, tentu kita tidak bisa dengan mudah menganalisa, apa dan mengapa hal ini bisa terjadi. Tapi sekilas, jika kita dizinkan berprasangka; kejadian di Wamena tersulut dikarenakan "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" yang termaktub di sila kelima dari Pancasila mungkin belum dirasakan oleh semua elemen bangsa, terutama sekali bagi saudara-saudara kita dari bumi Papua.

Selama ini, mereka seperti rakyat yang ternomor dua, sehingga wajar jika sampai suatu masa, mereka bangkit melawan. Tapi yang disayangkan, perlawanan tersebut seperti salah arah dan membabi buta. Masyarakat Sulawesi dan Sumatera dan elemen masyarakat Indonesia lain, yang selama ini hidup bersama seperti saudara, harus termangsa.

Situasi ini haruslah secepatnya diselesaikan oleh pemerintah Indonesia dengan bijaksana. Komunikasi persuasif haruslah menjadi jalan utama, tapi penegakan hukum juga tidak boleh dilupa. Agar kejadian-kejadian serupa tidak menular di daerah-daerah lain di luar Papua, sebagai bentuk reaksi dan aksi.

Lalu, solusi terbaik apa yang bisa dijadikan referensi. Menurut hemat penulis, jalan terbaik dari itu semua adalah tetap kembali kepada nilai-nilai yang ada di Pancasila itu sendiri. "Ketuhanan yang Maha Esa" sebagai sila pertama haruslah mulai disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Ajak seluruh bangsa untuk memahami dan mengamalkan seluruh ajaran agama yang diyakininya.

Semua agama memiliki hukum dan norma yang harus dijalankan oleh seluruh pemeluknya. Pemahaman yang diikuti dengan perkataan dan tingkah laku mutlak haruslah terlaksana. Jangan sampai pemerintah menjauhkan nilai-nilai agama dari pemeluknya, karena agama adalah dasar terkuat yang kemudian menjiwai setiap tingkah laku manusia.

Tanpa sila pertama, mustahil sila kedua dari Pancasila, yaitu "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" terlaksana dengan sempurna. Ingat, Tuhan menciptakan manusia, juga memberikan mereka pedoman hidup berupa kitab suci. Kitab suci ini kemudian haruslah termanifestasikan menjadi sebuah hukum, dan bukan sebaliknya, hukum-hukum yang ada hanyalah produk kesepakatan semata, yang baik dan buruknya hanya berdasarkan logika manusia.

Sebab, jika manusia memahami dan mengerti serta menjalankan perintah dan larangan agama, maka kecintaannya kepada sesama manusia akan lahir. Rasa cinta sesama manusia tanpa melihat perbedaan suku, ras, agama dan golongan adalah elemen terkuat bagi persatuan bangsa.

Semoga cita-cita Pancasila di sila ke empat berupa "Hikmat Kebijaksanaan", sebagai sifat utama seorang pemimpin dapat terintegrasi dalam jiwa presiden Indonesia yang baru nantinya, sehingga permusyawaratan sebagai ruh dalam mengambil kebijakan dapat terlaksa dengan sempurna.

Akhirnya, keadilan sosial sebagai cita-cita bersama bangsa haruslah tercapai dari kerja bersama seluruh elemen bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun