Mohon tunggu...
Rudy Chandra
Rudy Chandra Mohon Tunggu... Dosen - Menjadi Pribadi yang Aktif & Positif

Rudi Candra lahir di kabupaten Jember, pada bulan Mei 1983, menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Al-Azhar Mesir dalam bidang Tafsir dan Studi Al-Qur'an, sedangkan pada strata S2 diselesaikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada bidang studi ilmu Hubungan Internasional. Saat ini berprofesi sebagai pendidik di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menguak Identitas Islam Radikal?

29 September 2019   07:49 Diperbarui: 29 September 2019   08:17 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari kamis, tanggal 26 September 2019, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengabarkan bahwa akan ada gelombang baru dalam demonstrasi massa yang berusaha menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden. Gelombang baru ini disinyalir ditunggangi oleh kelompok Islam radikal.

Lebih jauh Wiranto tidak menjelaskan siapakah gerangan kelompok Islam radikal tersebut, kelompok ini seolah-olah dimunculkan sebagai upaya pembenaran bagi aparat keamanan untuk berbuat lebih 'represif' kepada pihak demonstran yang dianggap telah membahayakan stabilitas negara.

Tidak adanya definisi yang jelas apa dan siapa sesungguhnya aktor dibalik Islam radikal yang dituduhkan oleh sang menteri, seakan-akan memberikan otoritas bagi siapa saja untuk bebas  menafsirkan apa dan siapa saja kelompok yang dikategorikan sebagai Islam radikal.

Minimnya informasi tambahan terkait apa dan siapakah sesungguhnya aktor yang digambarkan sebagai Islam radikal ini kemudian mendefinisikan dengan instan bahwa yang dimaksud dengan Islam radikal adalah semua kelompok yang beroposisi dengan pemerintahan saat ini.

Penulis sendiri sesungguhnya tidak setuju terminologi Islam radikal digunakan, begitu pula terminologi-terminologi lain yang mengelompokkan Islam dengan kata sifat, yang kemudian  menghilangkan sifat utama dari Islam itu sendiri yaitu rahmatan lil alamin. Seperti "Islam Liberal" misalnya ataupun "Islam Kiri", "Islam Kanan"  dll. Yang akhirnya terminologi ini justru mengaburkan makna Islam sendiri.

Islam yang secara bahasa bermakna damai, harus ter-gradasi jika disandingkan dengan kata "radikal". Dua hal yang bertentangan secara terminologi ataupun epistemologi.

Sayangnya, terminologi yang keliru ini terus menerus diulang sehingga untuk kemudian dianggap lumrah, wajar bahkan benar.

Penggunaan istilah "radikal" mirip dengan terminologi "teroris" yang digunakan Amerika dalam menggambarkan musuh 'fiktif' mereka pasca tragedi 9/11. Persamaannya terletak dari ambiguitas definisi, yang kemudian ditafsirkan multi arti sesuai kepentingan   mereka sendiri.

Permasalahannya kemudian, politik 'sentimen' agama yang digunakan pemerintahan Amerika di era George Walker Bush tidak sesuai dengan geopolitik Indonesia. 

Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan dasar negara Indonesia yang di sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah blunder jika harus mempertentangkan agama dengan negara.

Perbedaan ijtihad politik oleh sebagian kaum muslimin terasa tidak arif jika kemudian pemerintah melancarkan politik 'gebuk nyamuk'. Dalam negara demokrasi perbedaan pilihan politik untuk kemudian terpolarisasi menjadi kalangan pendukung atau oposisi adalah hal yang wajar dan lumrah. Tidak perlu diambil hati dan hanya perlu disikapi dengan kebesaran hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun