Judul: Money (Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan)
Penulis: Yuval Noah Harari
Penerbit: Global Indo Kreatif
Tahun: 2020
Tebal: vi+160 halaman
ISBN: 98-602-533696-9-8
Sampul buku berwarna kuning dengan kutipan dari Karl Marx dan Adam Smith, seolah cukup buat saya untuk menebak bahwa isi buku ini sebagian besar akan didominasi dengan pertentangan klasik antara kapitalisme-liberalis dan sosialis-marxisme. Persis seperti apa yang saya pelajari waktu di bangku kuliah dulu. Namun ternyata, buku berjudul asli "Money" yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi "Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan"
Dan lagi-lagi saya masih tergiur dengan judulnya. Terus terang saja, di masa susah seperti ini siapa yang tidak mau menghasilkan uang hanya dengan rebahan sepanjang hari? Namun ternyata apa yang saya dapatkan ternyata jauh dari yang saya perkirakan. Alih-alih membahas bagaimana menghasilkan uang (baca: menjadi kaya) dengan hanya rebahan, buku ini membedah tajam tentang asal-usul satu "sembahan" baru bernama uang. Lebih dari itu Yuval Noah Harari meramalkan tentang masa dimana umat manusia menjadi budak atas kecerdasannya sendiri.
Secara umum, buku ini dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama bercerita tentang hikayat uang tidak hanya sebagai alat tukar tapi juga sebagai bagian yang inheren dalam sejarah umat manusia. Bagian kedua, Harari mengetengahkan tentang bagaimana menciptakan uang dari ketiadaan dalam bentuk kredit dan saham yang mendasari munculnya kapitalisme. Dari kapitalisme itu kemudian tidak hanya dipahami sebagai sebuah proses kegiatan ekonomi, tapi juga berhasil memengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia. Hingga bagian ketiga, Harari memproyeksikan tentang masa depan manusia yang bisa saja tergeser oleh munculnya ras Artificial intelligence (AI).
Uang tidak hanya sebagai alat tukar
Harari membedah esensi uang dalam rangka menyatakan nilai benda-benda lain secara sistematis untuk tujuan pertukaran barang dan jasa (hlm 9). Manusia menilai bahwa sistem barter yang telah dilakukan selama ratusan tahun memiliki banyak kekurangan. Jauh sebelum ATM, kartu kredit, dan pembayaran virtual menjadi alat tukar yang digunakan hampir mayoritas penduduk dunia, kerang dan rokok ternyata telah lebih dahulu digunakan sebagai alat pembayaran. Transformasi uang berjalan seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Yang membedakan tulisan Harari dari buku pengantar ekonomi umum adalah bahwa ada aspek kepercayaan (trust) sehingga membuat uang memiliki sebuah harga. "Uang adalah sistem saling percaya yang paling universal dan paling efisien yang pernah diciptakan". (hal 15). Lantas apa yang mendasari kepercayaan ini? Yaitu suatu jalinan relasi-relasi politik, sosial, dan ekonomi yang rumit dan panjang.
Uang sebagai bentuk otoritas dapat dilihat sejak imperium Romawi mengeluarkan koin berlogo kaisar yang disebut denarius (yang kemudian diadopsi oleh bangsa Arab menjadi dinar). Logo kaisar yang dicetak dalam koin tersebut menjadi simbol bahwa Kaisar menjamin kadar dan keaslian emas.
Nyatanya, uang tak hanya menjadi alat pembayaran semata. Sejak Revolusi Kognitif homo sapiens yang dimulai jutaan tahun lalu, manusia menjadi memiliki kesadaran. Nilai trust pada uang telah membuat orang bersedia untuk "membeli" masa depan atau yang disebut dengan kredit.
Kredit bagi kaum kapitalistik adalah sarana untuk memperbesar kue keuntungan. Keuntungan yang berlipat, kemudian digunakan untuk memperbesar modal alat dan buruh untuk menggandakan keuntungan kembali. Seperti kata Adam Smith, bahwa seorang manusia harus memiliki jiwa kapitalistik, meningkatkan keuntungan untuk kemudian mempekerjakan dan memberi manfaat untuk banyak orang. "Egoisme adalah altruisme".
Kapitalistik dan negara Merkantilisme
Dengan logika yang sama, negara pada awal abad 17 melakukan ekspansi besar-besaran. Bahwa untuk memperbesar keuntungan, reinvestasi dalam hal riset ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia menjadi penting. Lantas muncullah negara-negara merkantilis dengan kongsi-kongsi dagang yang menjadi awal kolonialisasi dunia baru (VOC dan WEC Belanda serta EIC Inggris) berhasil menguasai Indonesia, India, dan benua Amerika. Dari sini uang juga berputar. Saham VOC dan WEC dijual bebas kepada warga kota-kota di Belanda. Begitu pula saham EIC.
Sejak saat itu, saham dan kredit menjadi instrumen penting dalam pertumbuhan kue ekonomi. Lebih dari itu, negara juga tak mau kalah, mereka menjual saham untuk mendanai ekspansi ke dunia baru. Contohnya adalah Mississippi Company. Pengusaha dan penguasa beraliansi dengan menjual saham untuk mendirikan kota New Orleans di hilir sungai Mississippi yang berujung pada bencana ekonomi terburuk di Perancis. Harari juga mencatat bahwa ekspansi kapitalisme atas nama pertumbuhan kue ekonomi membawa banyak konsekuensi dalam sejarah manusia. Pasar bebas sebagai salah satu asumsi kapitalis untuk terbebas dari bayang-bayang negara menjadi bias. Negara mau tidak mau akan terseret ke dalam perang atas nama kepentingan nasional.
Artificial Intelligence dan Akhir Umat Manusia
Kita sedang berada di ambang revolusi penting, - Yuval Noah Harari
Kondisi iklim kapitalisme yang sudah mengalami stagnasi menjadi problem. Padahal "inovasi" dalam ilmu pengetahuan dan sumber daya menjadi pokok dari kapitalisme. Alhasil teknologi menjadi lokomotif inovasi kapital. Inovasi kapital dalam teknologi kini telah sampai pada pengembangan artificial intelligence (AI). Namun demikian hal itu bukan berarti tanpa masalah.
Harari mengajak kita untuk membayangkan bahwa masa depan kini di tangan sebuah robot. Bayangkan pekerjaan sopir taksi akan tergeser oleh mobil otonom atau pekerjaan dokter spesialis yang akan terganti dengan robot Watson buatan IBM Comp yang mampu menganalisa jutaan gejala dan memberi diagnosa berdasarkan algoritma. Lantas darimana data algoritma itu berasal? Tentunya dari kerelaan kita untuk mengumpulkan data secara sadar atau tidak sadar seperti memberikan lokasi terkini, memberikan sidik jari, dan mengumpulkan sensor wajah.Â
Teknologi abad baru dapat menjungkir-balikkan revolusi humanis dan melucuti manusia dari otoritas manusia dengan memberdayakan algoritma non-manusia. Manusia menempatkan diri dalam bahaya kehilangan nilai mereka karena kesadaran (intelligence) sedang dipisahkan dari kesadaran (consciousness). Individualitas dan kebebasan yang selama ini menjadi asumsi kaum liberalis menjadi dipertanyakan. Atas nama kapitalisme, hak-hak individu otonom menjadi terbatasi dengan sekumpulan data yang bahkan kita tidak mengetahui letak penyimpanan dan untuk tujuan apa hal itu akan digunakan.
Lantas jika demikian apa ruginya? Bukankan dengan logika pertumbuhan kue, hal itu akan membawa kebaikan untuk umat manusia? Bagaimana kemudian jika logika dibalik, demi keuntungan kapital, maka penciptaan kelas antara kelas yang berguna dengan nirguna? Bagaimana kemudian orang yang tidak memiliki penguasaan pekerjaan khusus atau dengan kondisi kesehatan yang rendah? Strategi yang paling efisien walaupun kejam mungkin untuk melepaskan gerbong kelas nirguna dan melaju dengan kelas satu saja atau mungkin manusia super dengan kecerdasan artifisial yang sengaja ditanam.
Dan pada akhirnya, kekuatiran Harari sama dengan kekuatiran banyak umat manusia lainnya. Bahwa peran manusia perlahan akan terganti dengan robot-robot artifisial yang ahli mengerjakan banyak hal. Dan jika umat manusia yang banyak itu sudah tidak memiliki peran dan tidak berguna, maka bukan tidak mungkin akan dibuang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H