Rumah Tjokro: Tempat Kost Pergerakan Kebangsaan
Kawan-kawan sekalian pasti pernah mendengar nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S. Tjokroaminoto (ejaan lama). Tjokro adalah seorang tokoh pergerakan Indonesia pada masa kolonial Belanda. Di bawah kepemimpinannya, organisasi Sarekat Islam menjadi organisasi pribumi dengan massa terbesar se-Hindia Belanda. Rasanya saya tidak perlu jauh-jauh membahas soal Tjokro dan sepak terjangnya di dunia pergerakan Indonesia karena saya yakin bahwa di luar sana sangat banyak literatur yang lebih komprehensif. Tapi yang akan saya tulis sekarang adalah pengalaman pribadi saya ketika mengunjungi Rumah Tjokro pada Rabu 23 Maret 2016 kemarin, sebuah rumah sederhana yang berlokasi di Jalan Peneleh IV/29, Surabaya. Di rumah, di bawah bimbingan Tjokroaminoto, tokoh-tokoh bangsa ini membentuk karakter dan ideologi masing-masing yang kelak mewarnai sejarah bangsa Indonesia.
Dari luar, rumah ini seperti rumah pada umumnya, hanya dari asritektur bangunannya dapat diperkirakan bahwa rumah ini berdiri cukup lama. Tak sulit mencari rumah ini, hanya berjarak sekitar 50 meter dari mulut gang, terlihat bendera merah putih dan papan pengumuman cagar budaya di depannya yang menjadi penanda bahwa bangunan tersebut istimewa. Sempat berpindah tangan beberapa kali, kini Rumah Tjokro dikelola oleh Pemkot Surabaya sejak tahun 1996. Pada kunjungan pertama saya sekitar Agustus tahun lalu, Rumah Tjokro masih belum dibuka secara penuh. Dan apabila anda ingin masuk haruslah menghubungi Ketua RT sebagai pemegang kunci. Namun sejak Januari 2016, Rumah Tjokro telah difungsikan menjadi obyek wisata sejarah. Dari pintu masuk, kita langsung disambut oleh dua staf Dinas Pariwisata Pemkot Surabaya yang bertugas menjadi penjaga sekaligus pemandu. Setelah mengisi daftar hadir, saya dipersilakan untuk berkeliling rumah.
[caption caption="Dok Pribadi"][/caption]
Tidak besar memang, dengan luas bangunan sekitar 10x8 meter plus satu loteng, rumah itu ditempati oleh Pak Tjokro beserta istri dan 25 anak kost! Bayangkan! Ya, Pak Tjokro memang membuka rumahnya untuk menampung anak-anak kost dari beberapa daerah. Di lantai bawah ada ruang tamu, kamar tidur Pak Tjokro dan istri di sebelah kanan. Sementara kirinya adalah ruang selasar yang tembus dari ruang tamu hingga belakang. Selasar itu kemudian disekat-sekat sedemikian rupa sehingga mampu menampung 20 orang. Sementara Sukarno, Musso, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo menempati loteng atas yang digunakan sebagai kamar. Saya menyempatkan naik dan melihat kondisi dalam dari loteng tersebut. Gelap, pengap, lembab. Lebih mirip gudang daripada sebuah kamar tinggal. Untuk meraih loteng tersebut pengunjung harus mendaki sebuah tangga besi yang diklaim telah ada sejak rumah itu dibangun. Di inilah konon Sukarno melatih pidato dan orasinya. Dibawah tangga tersebut awalnya ada sebuah pintu belakang yang menghubungkan rumah utama dengan toilet dan kandang kuda di belakang rumah. Namun akses pintu tersebut sudah ditutup mengingat sudah ada bangunan baru di belakang rumah tersebut. Ada sebuah kisah tentang Sukarno yang gemar merawat kuda-kuda peliharan Tjokro. Sekali waktu Sukarno muda juga pernah memenangkan sayembara kuda yang kemudian melengkapi kuda peliharaan Tjokro.
Menurut Azka Hariri (petugas jaga di rumah Tjokro) Rumah Tjokro sama sekali tidak berubah dari bangunan aslinya. Hanya saja beberapa perabotan memang terhitung barang baru dengan desain lawas. Memang bangunan rumah ini sempat berpindah tangan beberapa kali dari keluarga Tjokro sebelum akhirnya dibeli dan dikelola Pemkot Surabaya. Oleh karena itu perabot rumah yang otentik sudah tidak dapat ditelusuri kembali. Terlebih setelah Pak Tjokro dan keluarga pindah ke Solo. Namun dari foto-foto yang terpampang di beberapa sudut rumah kita dapat mempelajari kiprah perjuangan Pak Tjokro.
Diberi Nama Rumah Kebangsaan
Rumah Tjokro kerap kali disebut juga “Rumah Kebangsaan”. Hal ini merujuk pada peran rumah tersebut melahirkan tokoh-tokoh kebangsaan yang nantinya akan mewarnai sejarah Indonesia. Di rumah ini pemuda-pemuda seperti Sukarno, Musso, Alimin, Semaun, Kartosuwiryo menimba ilmu sekaligus melatih insting pergerakan perjuangan. Tjokro tak pernah membatasi anak-anak kost nya dalam menimba ilmu. Musso dan Semaun yang menjadi aktivis serikat buruh kereta api (ISDV) dan sedang gandrung mempelajari Marxisme tidak pernah mendapat perlakuan buruk dari Pak Tjokro. Sementara Sukarno dan Kartosuwiryo yang kala itu masih duduk di bangku HBS (setingkat SMA) kerap kali mendapat tugas-tugas rumah tangga. Namun keduanya tetap rajin belajar dari senior-seniornya itu. Pak Tjokro juga memberdayakan anak-anak kost nya untuk membantunya di surat kabar “Oetoesan Hindia” yang diterbitkan dari rumah itu. Dari situlah Sukarno dan kawan-kawan memperoleh kemampuan menulis dan berorasi. Dalam beberapa kesempatan Pak Tjokro seringkali memfasitasi anak-anak kost nya untuk berdiskusi membahas politik pergerakan dan ideologi. Bayangkan ada tiga ideologi besar yang tumbuh dan berkembang dalam rumah itu, Musso cs dengan ideologi Marxisme, Kartosuwiryo dengan ideologi dan konsep Negara Islam, serta Sukarno yang perlahan muncul dengan gagasan Nasionalisme. Saya rasa gelar Guru Bangsa sebagaimana yang menjadi judul film garapan Garin Nugroho itu tidak berlebihan untuk seorang Tjokroaminoto.
Hingga kini, tak sedikit tokoh-tokoh politik pusat dan daerah yang berkunjung ke Rumah Tjokro, mulai dari hanya sekedar bersafari hingga menggelar kuliah umum. Juga dari organisasi mahasiswa, kelompok-kelompok studi, hingga individu-individu lain yang ingin mengetahui bagaimana Rumah Tjokro yang sering diceritakan dalam literatur. Selain itu juga untuk berkaca dan mempelajari bagaimana sebuah rumah dapat membentuk anak-anaknya menjadi berkarakter kebangsaan. Beberapa tahun lalu, rumah ini kerap menjadi tempat kuliah umum dan diskusi yang bertajuk “Kuliah Tjokro untuk Kebangsaan” atau yang kerap disebut Kuliah Tjokro. Kuliah Tjokro digagas oleh beberapa dosen FISIP Unair dan tokoh-tokoh pusat. Namun sayang kegiatan ini kini vakum tanpa ada sebab pastinya. Namun, usaha-usaha untuk kembali membangkitkan potensi wisata sejarah dan obyek-obyek cagar budaya yang memiliki nilai historis haruslah tetap berjalan. Terlebih lagi untuk tujuan pendidikan. Di luar itu semua, apresiasi harus kita sampaikan kepada Pemkot Surabaya yang telah dan sedang melakukan program-program inventarisasi, revitalisasi, dan pemanfaatan bangunan cagar budaya di wilayah Kota Surabaya.
Dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!