Kata orang Jawa, Gusti mboten sare. Tuhan tidak tidur.
Kata aku, Tuhan belum pensiun, Tuhan bekerja aktif lewat banyak tangan.
Seperti beberapa hari ini, belum selesai geger bagaimana korporasi ditenggarai membeli politisi mengotak-atik UU supaya sesuai dengan kepentingan bisnisnya, publik kembali dikejutkan dengan terbongkarnya nama-nama tenar yang menaruh dananya di negara-negara surga (bebas) pajak seperti Switzerland, Siprus dan British Virginia Islands. Seseorang bisa menyembunyikan dananya dan (mungkin) lolos dari kewajiban pajak. Ataupun, boleh jadi ada motif pencucian uang haram.
Hasil investigasi (keroyokan) wartawan sedunia ini disebut: Panama Papers.
Ternyata banyak nama Indonesia di situ, dan praktis dikenal luas termasuk taipan-taipan kelas kakap dan Sandiaga Uno dan Riza Chalid yang sekarang tak pulang-pulang. Yang mengejutkan, bahkan nama seorang ekonom yang biasanya sangat kritis juga ada! Mereka wajib menjelaskan, kog bisa?
Sembari menunggu kelanjutan investigasi dan khususnya drama di negeri Topeng Monyet (buat mereka; buat kita, negeri (bakal) besar-jaya), aku mendapat inbox menarik dari salah satu mantan mahasiwa waktu aku masih mengampu mata kuliah Sastra Dunia, di Manila, Filipina. Ia menyebut-nyebut soal Banana Republic.
Banana Republic merujuk pada puisi torehan Pablo Neruda, penyair besar penerima nobel 1971. Di dalamnya, dengan indah namun penuh keberangan, penyair menelanjangi tingkah busuk korporasi-korporasi internasional yang mengeksploitasi pemerintah-pemerintah Amerika Latin untuk melayani nafsu rente lewat perkebunan, khususnya, pisang. Petani-petani lokal dibuat tidak memiliki tanah dan tidak punya pilihan lain kecuali mengabdi dengan upah sangat rendah pada perusahaan-perusahaan multi nasional ini. Sementara itu, pemerintah lokal dipaksa membuat UU yang melulu menguntungkan korporasi.
Situasi ini disebut Banana Republic, yaitu ketika sebuah negara beroperasi sebagai usaha komersil bagi berbagai kepentingan swasta.
Sekarang terdengar mirip dengan kasus Podomoro, bukan?
Kita tidak tahu, sejauh mana korporasi-korporasi telah atau sedang memengaruhi sistem hukum di Indonesia. Dalam kasus Amerika Latin, Panama termasuk di dalamnya, negara kongkalikong dengan korporasi. Dalam kasus Sanusi, kita patut bertanya, ada berapa banyak politisi dan pejabat yang berkolusi dengan korporasi?
Sudah barang tentu, dalam situsi ini, biasanya ada yang disebut: BROKER.
Tidak salah bila KPK menyebutnya: Grand Corruption. Artinya, ini bukan sekedar korupsi berjamaah. Ini upaya sistematis untuk mengadalin bangsa. Ini adalah korupsi lintas jamaah!
Apakah skala pembusukan politik dan bisnis di Indonesia sudah mencapai skala banana republic? Tunggu drama Topeng Monyet (sekali lagi, buat mereka; buat kita yang punya AKAL SEHAT, negeri (bakal) besar-jaya).
Tapi, ngomong-ngomong, pisang goreng tetap enak ya....
Â
Salam hangat,
Rudy Ronald Sianturi
Dosen Sastra Dunia di Letran College, Manila (dulu)
Pebisnis Tenun Papua Rose'S
Â
de_Imag Institute
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H