Mohon tunggu...
Rudy Kisaran
Rudy Kisaran Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Setelah PPN, Sekarang Diberlakukan Pungutan Pajak Bisnis "Online"?

14 Oktober 2016   14:52 Diperbarui: 14 Oktober 2016   19:46 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto illustrasi tepuk jidat dari intelijen.co.id

Bisnis online akan terkena pungutan pajak. Aturan ini akan diatur dalam pertemuan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menyangkut pemisahan kegiatan bisnis di antara bisnis konvensional dan bisnis melalui internet. Berdasarkan sumber dari berita Kompas Online, Akan ada dua pungutan yang dialami UMKM yang berjualan melalui online yang sifatnya tidak akumulatif menjadi pungutan yang sifatnya transaksi akan dikenakan jika bertransaksi melalui online, sedangkan pungutan satunya lebih kepada pendapatan akhir tahun.

Jumlah potensi pemasukan yang berasal dari pajak bisnis online ini ternyata cukup besar, diperkirakan bisa mencapai US 1,2 miliar atau setara dengan Rp 15,6 triliun. Pemerintah berencana mewajibkan pelaku usaha yang melakukan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik atau berbasis online juga terdaftar dan memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).

Bisnis online selama ini sudah banyak menyelamatkan hidup sebagian masyarakat, yang dari awalnya hasil jerih payahnya lebih banyak menyetor kepada pemilik properti toko ataupun kios. Dengan adanya bisnis online, beberapa usaha menjadi lebih mudah, bisa dilakukan dari rumah sehingga tidak perlu suami-istri berangkat pagi membuka toko dan pulang larut malam setelah menutup toko ataupun kios di pasar.

Mereka yang berhasil dari bisnis online biasanya memperoleh kemudahan dalam pengaturan waktu. Lebih mudah mengatur bisnisnya dari smartphone dan malahan ada kurir yang memberikan pelayanan jemput paket. Banyaknya pilihan kurir menjadikan persaingan antarkurir juga mempermudah bisnis online ini. Banyak juga ibu-ibu rumah tangga yang memperoleh penghasilan tambahan dari bisnis online ini. Mereka lebih mudah memasarkan karya mereka secara langsung dari rumah sehingga kesejahteraan keluarga tetap terjaga.

Kantor-kantor pos yang sebelumnya terlihat mati suri akibat kurangnya penjulan perangko dan kartu pos dikarenakan lebih mudah mengirim email dan foto via Facebook, BBM, dan aplikasi internet lainnya sekarang kembali ramai dan bergeliat kembali dengan berbagai kiriman paket bisnis online ini.   

Sekarang ini saat makan dan minum di restoran kita diwajibkan membayar pungutan PPN. Begitu juga jika menginap di hotel. Jika peraturan pajak pungutan bisnis online ini diterapkan, pemakai jasa belanja online akan membayar pungutan pajak online ini karena tidak semua pengusaha bisnis online memproduksi barang jualannya. Banyak yang sekadar reseller dari hasil produk pabrikan. Jadi tentunya seperti para pengusaha restoran dan hotel, konsumenlah yang terpaksa membayar pungutan ini. Jika pajak bisnis online ini diterapkan demi keseragaman regulasi internasional seperti OECD, apakah fasilitas dan perlindungan konsumen - produsen juga seragam pada semua negara anggota OECD?

Untuk bisa terciptanya bisnis online diperlukan internet, sebuah dasar yang paling krusial. Makin bagus dan cepat tentunya makin lancar bisnis online ini. Sudah jelas kan ekonomi bisnis online ini tergantung pada internet, kemudian dari Dirjen Pajak mengatakan ada potensi pemasukan sebesar USD 1,2 miliar sedangkan dari seorang mantan menteri Kominfo berucap “Internet cepat buat apa?” Bukankah dari dua pernyataan tersebut telah terjadi ketimpangan.

Di satu sisi pelaku bisnis online akan dikenakan pungutan, sementara di sisi lainnya fasilitas penunjang bisnis online malah tidak ada. Apakah selama ini para pelaku bisnis online menggunakan fasilitas internet gratisan sehingga merugikan negara? Bukankah mereka malah dibatasi dengan jatah kuota internet? Buat yang ingin belanja online saja wajib memiliki internet, baik berupa data plan prabayar atau kabel optik rumahan atau mungkin diam-diam curi pakai wifi tetangga atau kafe.

Untuk pendaftaran bisnis online memang perlu karena akan menguntungkan kedua pihak, kejelasan status penjual sehingga konsumen bisa percaya untuk berbelanja. Semua pihak pada akhirnya mendapatkan keuntungan, termasuk pemasukan untuk pemerintah dari pajak pengusaha bisnis online, Tetapi pungutan tambahan untuk transaksi bisnis online apakah masih perlu? Kita sudah bayar 10% lebih mahal saat makan di restoran daripada warteg, kemudian kita harus membayar pungutan tambahan untuk pembelian produk atau jasa secara online. Produk tersebut juga sudah dikenakan ongkos kirim kurir yang ada badan hukum dan izin yang tentunya mereka juga sudah membayar pajaknya kepada pemerintah.

Saya sebagai salah seorang konsumen bisnis online ini terkejut juga dengan kebijakan pungutan pajak online ini. Barang belanjaan saya yang selama ini mampu saya peroleh dengan harga yang termurah menurut saya karena browsing ke berbagai situs jualan online untuk membandingkan harga jualnya, jadinya sedikit lebih mahal jika ada pungutan tambahan ini. Regulasi ini aneh menurut saya, hampir mirip dengan mobil listrik ataupun hybrid. Di negara lain mobil ini disubsidi agar harga jual bisa murah sehingga tingkat polusi bisa dikurangi. Di Indonesia malah dianggap mobil mewah sehingga Toyota Prius jarang terlihat berkeliaran di negara kita ini. Biasanya saya belanja online dengan menggunakan smartphone saya. Paket data 2 GB seharga Rp50 ribu saya bayar kepada salah satu operator. Saya rasa harga tersebut tidak murah amat. Jadi, kemudahan apa yang bakal saya peroleh jika pajak bisnis online dikenakan pada belanjaan saya?

Memang jumlah potensi pajak bisnis online ini besar, diperkirakan mencapai USD 1,2 miliar, tetapi dipungut menjadi beban tambahan dari konsumen bukan dari pengusaha bisnis online. Tidak mungkin seorang reseller online mau menanggung beban pungutan pajak bisnis online, sedangkan pebisnis ayam goreng saja mengenakan PPn kepada konsumennya. Semua pelaku usaha di sebuah negara wajib membayar pajak termasuk pengusaha online. Para pengusaha bisnis online memang wajib terdaftar dan memiliki SIUP, kemudian wajib membayar pajak usaha.

Hanya saja untuk pajak bisnis online ini sepatutnya tidak dalam bentuk pungutan tambahan lagi karena para pedagang, baik yang real ataupun online tidak mungkin mau menanggung beban biaya pungutan tersebut yang tentunya mengurangi keuntungan mereka sehingga konsumen juga yang terbebani. Pada akhirnya, kita seperti kembali ke zaman kerajaan tempo dulu. Jika Sang Raja sudah kurang uang jajan ataupun perlu biaya menambah selir, tinggal suruh centeng-centengnya turun ke pasar buat memungut pajak tambahan baru, Alamak! (tepuk jidat)

foto illustrasi tepuk jidat dari intelijen.co.id
foto illustrasi tepuk jidat dari intelijen.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun