Milenial sekarang tidak mengenal adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kesetaraan profesi.
Kalau pria ada yang jadi menteri, polisi, dokter, sarjana, pengusaha, guru, dan jabatan yang berperan di masyarakat lainnya, apa bedanya dengan perempuan dalam hal ini?
Toh, perempuan juga banyak yang memangku jabatan pria seperti yang disebutkan di atas?
Ya, ini adalah jaman kekinian.
Milenial tidak akan tahu jika tidak diajarkan atau membaca sejarah masa lalu dimana pada waktu itu perempuan Indonesia di nomor duakan.
Wanita tugasnya hanyalah melahirkan, menemani suami, memasak di dapur, atau mengurus anak.
Tak jarang pula wanita dijadikan obyek pria sebagai istri kedua atau ketiga.
Milenial tidak tahu jika ada sosok seorang Kartini yang menjadi pelopor perjuangan kesetaraan wanita dengan pria.
Kartini dilahirkan di Jepara pada 21 April 1879 pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Oleh karena beliau berasal dari kalangan bangsawan maka di depan namanya ada gelar RA (Raden Ajeng).
RA Kartini merupakan putri dari seorang Bupati. Yaitu Bupati Jepara pada waktu itu, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.
Ibunya, M.A. Ngasirah merupakan istri kedua dari Raden Mas Adipati Sosroningrat.
Kartini merupakan anak kelima dari 11 bersaudara kandung dan tiri secara keseluruhan.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV merupakan salah satu pribumi pertama yang menjabat bupati yang memberikan pendidikan ala barat kepada anak-anaknya.
Mungkin karena sosoknya yang bangsawan, Kartini sebagai seorang wanita diperbolehkan sekolah di sekolah Eropa yaitu ELS (Europeesche Lagere School). Disini Kartini belajar bahasa Belanda.
Lantas dalam usia 12 tahun Kartini dipingit sehingga Kartini kecil harus belajar di rumah.
Dari rumahnya Kartini menulis banyak surat dalam bahasa Belanda kepada teman-temannya di Eropa tentang keberadaan status sosial perempuan di masa itu yang lebih rendah daripada kaum lelaki.
Setelah Kartini wafat, salah satu temannya di Eropa yaitu Jacques Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini.
Abendanon yang adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda membuat buku dari surat-surat yang dikirimkan ke teman-temannya di Eropa itu dengan judul "Door Duisternis tot Licht" secara harfiah artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya"
Pada tahun 1922 Balai Pustaka menerbitkan buku setelah diterjemahkan kedalam bahasa Melayu dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang"
Buku itu berisi tentang pemikiran Kartini yang mengeluhkan budaya Jawa yang dianggap sebagai penghambat kemajuan kaum perempuan.
Kartini menginginkan kaum perempuan setara dengan kaum lelaki dalam menuntut ilmu dan belajar.
Kartini mengungkapkan perempuan Jawa hidup dikungkung, tidak boleh sekolah, harus dipingit dan harus bersedia dimadu.
Bukan hanya itu, surat-surat Kartini lainnya merupakan renungan tentang dan untuk bangsanya.
Kartini wafat pada usia yang masih sangat muda yaitu 25 tahun, namun pemikirannya banyak merubah nasib kaum perempuan Indonesia yang kini sudah setara dengan kaum lelaki.
Oleh karenanya nama RA Kartini diperingati di berbagai aspek kehidupan mulai dari nama jalan, sekolah, perguruan tinggi, perangko, di mata uang, dan sebagainya.
Dan Presiden Soekarno pun menetapkan setiap tanggal 21 April setiap tahunnya sebagai Hari Kartini.
Selamat Hari Kartini 2024. Maju terus perempuan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H