RA Kartini merupakan putri dari seorang Bupati. Yaitu Bupati Jepara pada waktu itu, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.
Ibunya, M.A. Ngasirah merupakan istri kedua dari Raden Mas Adipati Sosroningrat.
Kartini merupakan anak kelima dari 11 bersaudara kandung dan tiri secara keseluruhan.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV merupakan salah satu pribumi pertama yang menjabat bupati yang memberikan pendidikan ala barat kepada anak-anaknya.
Mungkin karena sosoknya yang bangsawan, Kartini sebagai seorang wanita diperbolehkan sekolah di sekolah Eropa yaitu ELS (Europeesche Lagere School). Disini Kartini belajar bahasa Belanda.
Lantas dalam usia 12 tahun Kartini dipingit sehingga Kartini kecil harus belajar di rumah.
Dari rumahnya Kartini menulis banyak surat dalam bahasa Belanda kepada teman-temannya di Eropa tentang keberadaan status sosial perempuan di masa itu yang lebih rendah daripada kaum lelaki.
Setelah Kartini wafat, salah satu temannya di Eropa yaitu Jacques Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini.
Abendanon yang adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda membuat buku dari surat-surat yang dikirimkan ke teman-temannya di Eropa itu dengan judul "Door Duisternis tot Licht" secara harfiah artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya"
Pada tahun 1922 Balai Pustaka menerbitkan buku setelah diterjemahkan kedalam bahasa Melayu dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang"
Buku itu berisi tentang pemikiran Kartini yang mengeluhkan budaya Jawa yang dianggap sebagai penghambat kemajuan kaum perempuan.