Kabupaten Ciamis di Jawa Barat mempunyai warisan sejarah tersendiri dari Kerajaan Sunda di masa lampau.
Ciamis ini dulunya bernama Kawali. Kawali merupakan ibukota dari Kerajaan Sunda pada sekitar abad ke-14.
Kawali juga dikenal oleh para pemerhati sejarah Sunda sebagai tempat kelahiran Raja legendaris Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.
Lepas dari ada atau tidaknya relasi dengan fakta tersebut. Di Desa Gunung Cupu, Kecamatan Sindangkasih, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ada sebuah mata air yang memiliki cerita menarik.
Lokasi itu kini dinamai warga sebagai Mata Air Caringin.
Oos Koswara, warga setempat sekaligus Ketua Padepokan Cupumanik, mengatakan Mata Air Caringin banyak didatangi warga dari luar daerah.
Biasanya mereka mengambil air Caringin itu untuk mencari keberkahan, seperti menyembuhkan penyakit, cari jodoh, hingga untuk penglaris usaha.
Warga yang datang saat ini tidak sebanyak dulu lagi mengingat tempatnya sekarang tersembunyi di antara pemukiman penduduk.
Ade Suwarna, warga setempat lainnya, membenarkan Mata Air Caringin kerap didatangi warga luar daerah pada masa-masa perhelatan politik seperti Pemilihan Umum.
"Setiap menjelang Pemilu banyak warga datang dari luar daerah kesini. Mereka tahu Mata Air Caringin itu dari cerita yang lainnya. Ada yang untuk penyembuhan penyakit, usaha, dan lainnya," kata Ade.
Kembali ke atas, cerita menarik dari hadirnya Mata Air Caringin itu berawal dari Lutung Kasarung yang menyuruh istrinya Puteri Purbasari untuk mandi di telaga guna menyembuhkan penyakit kulit di tubuh Puteri Purbasari.
Setelah Purbasari melaksanakan perintah suaminya dengan mandi di telaga itu, Purbasari merasa sangat girang saat berkaca di telaga itu, penyakit kulitnya sudah hilang.
Adapun telaga dimana Puteri Purbasari itu mandi kemudian menjadi kolam seiring dengan perkembangan jaman.
Bahkan mata air yang berada sekitar 100 meter dari Situs Gunung Cupu itu kini oleh warga dipisahkan dibuat seperti bak.
 Disebut Mata Air Caringin karena dulunya di sekitar mata air Caringin itu ada sebuah pohon caringin (beringin) yang besar yang sekarang sudah tumbang.
Lebih jauh Ade mengatakan warga yang datang ke lokasi itu secara mandiri karena disana tidak ada yang menjadi kuncen (juru kunci), tidak ada ritual apapun.
Mereka yang datang hanya mengambil air dalam galon atau botol plastik.
"Memang airnya tidak pernah kering, walau musim kemarau panjang. Airnya pula cukup jernih," kata Ade.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H