Mohon tunggu...
Rudolf Gamaliel Toripa
Rudolf Gamaliel Toripa Mohon Tunggu... Administrasi - Siswa

P

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perubahan

21 November 2024   18:25 Diperbarui: 21 November 2024   19:30 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   Bangsa kita sudah bebas, atau belum ya? Aku masih sering liat tikus-tikus itu masih berkeliaran di mana-mana. 

                                    ---


    Sang bapak proklamator, menjadi tikus pertama negara Indonesia yang membebaskan bangsa ini dari para penjajah. Awalnya, semua orang mengira dia adalah cahaya yang akan menyinari bangsa ini. Ternyata, cahaya itu hanya sebentar, kemudian redup. Ia menjadi pemimpin yang diktator, haus kuasa, dan gila wanita.

    Kejayaannya pun runtuh di gantikan Sang pembebas yang baru. Seorang Jendral, mengambil kursi presiden setelah peristiwa G30S PKI terjadi. Dan sekali lagi, bangsa ini tertipu oleh tikus berikutnya.

     "Teman - teman semua, para tikus itu masih berkeliaran di mana-mana. Jika kita biarkan, para tikus itu akan menggerogoti bangsa ini sampai habis. Kalau bukan kita yang bertindak, siapa lagi? kalau bukan sekarang, kapan lagi? Jadi teman - teman semua, saya memanggil kalian menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia, untuk membasmi para tikus, selama-lamanya. Merdeka!" Pidato dari Herman yang menggelegar itu, disambut baik oleh semua mahasiswa yang sedang berkumpul. Mereka pun dengan suka rela mau ikut menuntut kebebasan, demi bangsa Indonesia yang sejahtera.

       Setelah berpidato, Herman melakukan pertemuan dengan pemimpin mahasiswa yang lain.

        "Herman, masih sesuai dengan rencana awal kan?" Tanya Bunta, pemimpin mahasiswa dari blok Timur.

         "Ya, seperti rencana awal." Kata si Herman.
Tidak lama kemudian, polisi mengerubuni tempat itu.

          "Herman, Polisi udah tahu!" Kata Kinra dengan panik, pemimpin mahasiswa blok Barat.

          "Cepat, sampaikan kepada mahasiswa lain bahwa polisi telah datang, suruh mereka lari sekarang!"

     Para mahasiswa tersebut berhamburan berlari, karena takut di tangkap polisi. Tapi sayangnya, masih ada beberapa mahasiswa yang berhasil tertangkap, salah satunya Halim, pemimpin mahasiswa blok tengah. Dan sejak hari itu, Halim tidak terdengar lagi kabarnya.

       Sudah berbulan-bulan setelah kejadian tersebut, tapi Halim masih belum ditemukan. Mereka semua sangat sedih atas hal tersebut. Untuk sementara, posisi Halim digantikan Bilar, teman baik dari Halim.

       "Kita sudah punya kekuatan yang cukup untuk melawan pemerintah. Jadi, ayo kita lakukan rencana terakhir kita." Ujar Herman dengan yakin.

     "Kapan kita akan lakukan rencana itu?" Tanya Kinra yang masih bingung.

       "12 Mei 1998, dari Universitas Trisakti ke gedung MPR/DPR."

       "Baik, saya akan mengabarkan semua mahasiswa untuk segera berkumpul minggu depan." Kata Bilar sambil bersiap untuk mengabarkan mahasiswa yang lain.

       Setelah pertemuan tersebut, Herman dan pemimpin yang lain mulai mengirim pesan ke seluruh mahasiswa di Indonesia untuk melakukan rencana besar mereka. Tapi, sayangnya penyebaran kabar tersebut tercium oleh pemerintahan Orde Baru.

       Saat pulang kerumah, Herman di culik oleh beberapa orang berbadan besar, menggunakan topeng hitam. Saat Herman telah sadar, ia melihat Kinra dan Bunta juga telah berada di sana dengan keadaan terikat.

      "Bunta, Kinra, kita dimana ini?" Tanya Herman kebingungan.

       "Saya juga tidak tahu Herman, Tiba-tiba saya bangun sudah di sini." Kata Bunta yang juga kebingungan dengan keadaan mereka.

        Kinra dengan muka yang lemas mengatakan, bahwa mereka sepertinya berada di suatu markas, pasukan rahasia milik pemerintah Orde Baru. Dia mengetahui itu, karena melihat ada yang menggunakan seragam TNI, dengan baret merah, yang berarti mereka adalah pasukan khusus.

        "Kinra, mana Bilar?" Tanya Herman yang khawatir.

        "Aku pun tak tau."

        Herman lega mendengar jawaban tersebut. Tapi, kemudian muncullah orang berbadan besar. Ternyata itu adalah Pemimpin dari pasukan khusus tersebut. Dia mulai menginterogasi mereka dengan bertanya tentang teman mereka lagi satunya. Tapi mereka tidak menjawab, karena mereka sendiri tidak tahu.

          "Teman kalian itu lumayan gesit ya, tapi tidak apa-apa. Tak lama dia akan tertangkap juga. Sekarang beritahu pada kami. Apa alasan kalian mau melawan pemerintah?"

          "Untuk kesejahteraan pak." Ujar Herman

          Pemimpin tersebut yang mendengar jawaban Herman tertawa dengan keras. Sekali lagi ia bertanya kepada mereka, tapi jawaban Herman masih tetap sama. Mendengar jawaban yang masih sama tersebut, ia pun marah dan mulai menyiksa mereka.

             "Kalian para pemberontak, harus ikut mati bersama PKI!" Teriakan si Pemimpin sambil menyiksa mereka.

              "Aahhhkkk. Apa iniii?"

              "Ini besi panas. Pantas saja sakit..." Jawaban dari Herman, yang juga merintih kesakitan.

              Kinra yang tidak kuat langsung jatuh pingsan, yang membuat Bunta dan Herman sangat marah pada pemimpin tersebut.

              "Kalian ini lucu sekali ya sama dengan teman kalian itu, seakan tidak mengenal diri sendiri" Ujar si Pemimpin

              "Halim? Apa yang kau buat pada Halim!" Teriakan Herman yang sangat marah mengetahui bahwa Halim dulu ada di sini.

               "Dia bernasib sama, seperti yang akan kalian alami sekarang."

               "Apa yang akan kau lakukan ke kami?"
Tanya si Bunta.

               Si Pemimpin tidak menjawab pertanyaan Bunta dan hanya tertawa kecil.

                "Kalian ini, kayak tidak kenal diri kalian sendiri. Kalian itu manusia! Mahluk egois yang gila kuasa dan jabatan." Ujar si Pemimpin tersebut.

                 Herman, dan Bunta menentang keras pernyataan si Pemimpin tersebut. Tapi, Pemimpin tersebut tidak peduli, dan mempersiapkan siksaan berikutnya bagi mereka. Sebelum akhirnya, mereka akan bernasib sama seperti Halim.

                 "Jangan bilang mereka juga hilang kayak Halim. Kurang ajar kau tikus! Saya bersumpah, akan ku basmi kalian sampai tak tersisa!" Teriakan Bilar yang sedih, karena tidak mengetahui kabar teman-temannya.

                  Bilar pun yang tinggal seorang diri itu pun, menggantikan posisi Herman sebagai pemimpin tertinggi untuk melakukan rencana terakhir mereka.

                  Jumat, 12 Mei 1998. Gerombolan mahasiswa yang di pimpin oleh Bilar memenuhi depan gerbang gedung MPR/DPR yang di jaga ketat oleh polisi.

                   "Teman-teman ku semua. Kita berkumpul di sini bukan untuk main-main, bukan untuk piknik, atau pun untuk gengsi. Kita di sini untuk mewakili bangsa kita, bangsa Indonesia, untuk membasmi para tikus yang telah merugikan kita. Selama ini, pemerintahan Orde Baru menekan mereka yang ingin membela kebenaran. Selama ini, pemerintahan Orde Baru telah menyiksa mereka yang ingin membela rakyat. Tapi sekarang, kita serang balik! Hari ini, kita akan membuat sejarah, bagaimana kejayaan para tikus hancur tak bersisa. Kalau bukan kita yang serang siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Jadi, ayo saudara-saudara ku semua, kita sambut kemerdekaan kita dari para tikus-tikus sialan itu. MERDEKA!" pidato Bilar menggelegarkan gedung MPR/DPR, dan membuat para mahasiswa menjadi bersemangat, kemudian maju menyerbu gedung MPR/DPR tersebut. Polisi yang berjaga di situ tak mampu membendung mahasiswa yang bagaikan air bah menerpa mereka. Dan pada Jumat, 12 Mei 1998, gedung MPR/DPR berhasil dikuasai mahasiswa, dan sehari setelahnya, si tikus kedua mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden, dan di gantikan oleh wakilnya yang di angkat menjadi Presiden.

                                    ---

       Sudah 40 tahun setelah peristiwa Reformasi. Aku masih tetap melihat kejadian yang sama terjadi lagi. Bilar yang menjadi presiden ke sembilan negara Indonesia, ternyata ikut-ikutan menjadi tikus berikutnya. Kecewa yang tak terbendung, karena pamanku, Herman yang sampai hari ini tidak diketahui kabarnya, dan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari para tikus, dikhianati oleh teman seperjuangannya sendiri.

          Apakah tikus akan selalu ada? Ataukah, ini memang sifat alami manusia? Aku pun tak tahu. Tapi yang pasti, perubahan harus terus terjadi. Harus ada yang mulai bergerak melakukan perubahan kembali. Dan Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
               

   

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun