Kasus gagal ginjal akut yang melanda anak-anak mencuri perhatian setiap orang tua di Indonesia, hal ini tentu sangat mengkhawatirkan mereka. apalagi rilis yang dikeluarkan kemenkes bahwa fatality rate kasus gagal ginjal akut ini masih diatas 50%. Namun apa sebenarnya penyebab penyakit gagal ginjal akut ini? apakah berhubungan dengan penggunaan obat-obatan sirup? apa itu etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (EG)? pertanyaan pertanyaan ini sekarang melintas di setiap pemikiran kita, menimbulkan banyak spekulasi dan seakan-akan kabur.Â
Penyakit misterius gagal ginjal akut memang masih misterius hingga saat ini dan belum secara pasti di ketahui penyebabnya, sekali lagi belum diketahui secara pasti. penyakit ini kemudian dikaitkan dengan obat substandar yang dikonsumsi anak-anak. senada dengan rilis WHO sebagaimana kasus AKI (Accute Kidney Injury) yang terjadi di Gambia, obat-obatan substandar tersebut sekarang diyakini Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemenkes, merupakan biang kerok penyebab AKI atau gagal ginjal akut yang di derita anak-anak. setidaknya ada 5 produk obat substandar yang telah diperintahkan BPOM untuk ditarik dari peredaran sesuai dengan rilis dalam siaran persnya.
Kasus ini membuat risih, menimbulkan banyak spekulasi dan pertanyaan publik. mengapa baru sekarang obat-obatan itu ditarik? apakah pemerintah kecolongan? belum lagi tenaga kesehatan yang dibuat bingung dengan rilis kemenkes yang sementara melarang penggunaan obat-obatan sediaan sirup, sedangkan obat-obatan sirup sangat diperlukan oleh anak-anak yang sedang sakit. Para orang tua juga menjadi takut untuk menggunakan obat-obatan sirup.Â
Perlu kita ketahui bahwa cemaran pada suatu produk sebenarnya bukan merupakan dosa besar selama masih dalam koridor yang diatur dalam standar dan peraturan perundang-undangan. bagaimana jika cemaran tersebut melebihi ambang batas yang di persyaratkan? tentu produk tersebut harus segera ditarik dan akan dilakukan langkah langkah tepat agar produsen segera memperbaikinya, berupa pembinaan dan sanksi-sanksi administratif. Bahkan produsen dapat dipidana 10 tahun penjara jika terbukti terdapat kesengajaan dalam memproduksi obat tidak sesuai standar seperti diatur dalam pasal 196 uu no 36 th 2009 tentang kesehatan.Â
Perlu diketahui bahwa impurities/cemaran pada suatu produk, bukanlah zat yang sengaja ditambahkan pada suatu produk. namun keberadaannya tidak dapat dihindari, sehingga hanya bisa diusahakan seminimal mungkin. hal tersebut juga berlaku bagi EG dan DEG, EG dan DEG merupakan cemaran pada obat sirup yang menggunakan pelarut Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol dan Gliserin/Gliserol, jadi jika obat-obatan sirup tidak menggunakan pelarut -pelarut tersebut, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada cemaran EG atau DEG pada produknya. Jadi bukan semua obat sirup berisiko terdapat EG dan DEG. Ambang batas atas cemaran tersebut sebagaimana telah diatur dalam standar/aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jadi sekarang paham kenapa kita harus mengkonsumsi produk yang mempunyai ijin edar dari pemerintah? karena ada yang mengawasi dan mengontrolnya. Yang diijinkan dan diawasi pemerintah saja masih bisa tercemar apalagi yang tidak diawasi.
Sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 7, Â "Pelaku Usaha berkewajiban menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku" . Jelas bahwa Produsen mempunyai kewajiban menjaga produk yang diproduksinya dengan mengikuti kaedah-kaedah dan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. misalnya produsen obat haruslah mengikuti standar cara produksi obat yang baik(cpob). apakah pemerintah kemudian percaya begitu saja dengan produsen? tentu saja tidak, pemerintah dalam hal ini BPOM selain melakukan pengawasan sebelum beredar (pre-market) juga melakukan pengawasan rutin post-market (setelah produk beredar) berupa sampling dan audit-audit rutin ke sarana-sarana produksi.Â
Saya berikan contoh misalnya di suatu pabrik dilakukan 2 kali produksi setiap harinya, pagi-siang dan siang-sore dengan sekali produksi jutaan produk, setiap produksi memiliki kode produksi (nomor batch) dan setiap nomor batch haruslah dilakukan quality control (kontrol kualitas) internal oleh laboratorium pabrik secara mandiri sehingga menjamin bahwa produk/barang yang di produksinya terjamin mutunya dan layak untuk di produksi. Hal ini wajib dilakukan setiap hari oleh pabrik sebelum produksi (bisa dibayangkan kan berapa banyak pabrik Obat dan Makanan di Indonesia dan tidak Mungkin setiap hari didatangi petugas BPOM). Tugas dari BPOM adalah memastikan bahwa quality kontrol dan aspek-aspek cara produksi yang baik ini berjalan sebagaimana mestinya seperti yang telah ditetapkan oleh peraturan pemerintah dengan melakukan audit secara rutin.
Selain itu, setelah produk beredar, BPOM juga melakukan sampling-sampling obat baik secara acak(random) ataupun sampling sesuai dengan target yang ditentukan, ataupun sampling jika ada laporan masyarakat atau terdapat isu yang berkembang di masyarakat. karena setiap hari ada jutaan obat, makanan, kosmetik, jamu dsb yang beredar sehingga tidaklah mungkin pengawasan obat dan makanan itu dilakukan oleh Badan POM sendiri. Pengawasan obat dan makanan juga haruslah melibatkan produsen/distributor (pelaku usaha) (dalam hal menjamin mutu produknya hingga ke tangan konsumen), masyarakat (dalam hal melaporkan hal-hal yang diduga melanggar peraturan) dan pemerintah (regulator, pembuat standar dan pengawas).
Sebenarnya penarikan suatu produk karena tidak sesuai standar mutu bukanlah merupakan hal baru. Penarikan suatu produk dari peredaran pun bukan saja karena produksi yang tidak sesuai standar, bisa juga karena distribusi dan penyimpanan yang tidak sesuai dan menyebabkan turunnya mutu suatu produk. jika kita ingat BPOM pernah menarik dari peredaran obat Ranitidin, pernah menarik peredaran makanan Kinder Joy dan Es Krim Vanilla bermerk, dsb. Sebenarnya, jika kita cermati, terdapat obat-obatan atau produk lainnya yang dulu pernah beredar dan sekarang tidak beredar lagi atau mengganti namanya (menambahkan embel embel Neo, New, dsb). Artinya sistem pengawasan yang dilakukan Pemerintah dapat dikatakan cukup berjalan dengan baik.
Sebenarnya terlalu teknis jika kita berbicara terkait kasus AKI dan hubungannya dengan obat-obatan sirup yang tercemar EG atau DEG. Seperti halnya rilis Kemenkes terhadap 102 Obat-obatan yang pernah dikonsumsi oleh penderita AKI, BPOM telah mengeluarkan rilis dimana, 23 dari 102 obat-obatan tersebut tidaklah menggunakan pelarut yang berpotensi terdapat cemaran EG dan DEG, 7 diantaranya dinyatakan aman dan 3 obat seperti yang sudah di rilis sebelumnya substandar atau melebihi batas aman. Untuk obat-obatan lainnya dari 102 obat sesuai rilis kemenkes tersebut masih dilakukan pengujian oleh BPOM.