Mohon tunggu...
Rudiyel Rijaal
Rudiyel Rijaal Mohon Tunggu... Koki - Karyawan pabrik

Orang baik, suka nulis pengalaman sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Subuh yang Hilang

13 September 2023   13:11 Diperbarui: 13 September 2023   13:39 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diambilnya dua centong nasi merah dari alat penanak nasi. Kemudian, dia berjalan melewati ayahnya yang berbaring di ranjang ruang tengah. Sepertinya sang ayah baru bisa tidur setelah subuh. Riyan berjalan dengan langkah pelan tanpa menimbulkan suara. Seperti langkah kaki-kaki kucing menapaki jalan hidupnya, pelan tetapi pasti. Tanpa basa-basi. Tanpa hilang arah tujuan. Meski seorang diri.

Dua bulan lagi adalah bulan Ramadan. Bulan yang sangat istimewa, terutama saat ibunya mengabarkan bahwa, "Ayah hari ini ikut puasa. Tapi tadi hampir batal karena di pinggir sungai cuaca lagi panas-panasnya."

Betapa harunya Riyan mendengar berita itu. "Alhamdulillaah, hidayah dari Allah, sedangkan kita hanya berupaya."

Hal yang sangat istimewa karena untuk kali pertama ayahnya ikut puasa setelah sekitar tiga puluh tahun berlalu begitu saja. Tanpa salat, tanpa puasa. Hal itulah yang selalu mengganjal di hati Riyan. Ingin mengingatkan tetapi rasa takut masih bergelayut. Takut salah kata. Takut menyinggung atau apa. Berbicara dengan orang tua, tak semudah bicara dengan teman sebaya.

Pada suatu hari, setahun sebelumnya, pada lebaran kedua setelah dua tahun pernikahannya, Riyan membulatkan tekad. Dengan niat karena Allah, menggugurkan kewajiban, juga rasa cinta yang mendalam, seperti Nabi Ibrahim yang berdakwah pada ayahnya. Kewajiban untuk mengingatkan akan sebuah kesalahan, juga rasa cinta seorang anak yang tidak ingin ayahnya pergi tanpa bekal ibadah---yang nantinya akan membawa kesengsaraan di akhirat.

"Ayah, Riyan tahu, betapa kerasnya Ayah telah berusaha untuk membahagiakan kami, pergi pagi pulang malam untuk bekerja. Tapi, kami juga ingin agar Ayah bahagia, supaya Ayah tidak melupakan kewajiban sebagai seorang hamba, yaitu ibadah. Karena dengan ibadah hati akan lebih tenang. Kami juga tenang."

Alhamdulillah, pada bulan Ramadan berikutnya, ayahnya kembali ikut puasa, juga makin sering salat di masjid. Ibunya begitu bahagia. Serasa kembali ke masa muda dulu. Sebab dia pernah bercerita, ketika mendengar azan, sedangkan mereka masih dalam perjalanan naik sepeda, ayahnya menyempatkan untuk menghentikan perjalanan dan ikut salat di masjid. Namun, setelah lahir kakaknya, semua berubah seratus delapan puluh derajat. Entah apa yang mengubah hatinya.

Di ruang depan, sebelum menyantap hidangan kesukaan, terlebih dahulu Riyan mengabadikan momen, lalu mengunggahnya ke media sosial.

"Menikmati pagi ..." Begitulah keterangan di foto itu.

"Riyan ..." Ayahnya memanggil dengan nada lemah, sesaat setelah suara kajian di radio tiba-tiba mati. "Tolong charge hape Ayah. Sepertinya baterainya kosong. Sekalian nyalain kipasnya, Ayah mulai gerah ini."

Memang, sejak Riyan mengunduhkan aplikasi radio kajian di ponsel ayahnya, dia jadi sering mendengarkan ceramah dan murottal Al-Qur'an, terlebih pada malam hari yang hening.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun