Awal mula Sumpah Pemuda pada awal abad tahun 1900 adalah ketika politik etis diberlakukan pada akhir abad 19 (1800 akhir). Politik etis ini menuntut pemerintah Belanda untuk memperlakukan daerah jajahannya dengan lebih manusiawi, seperti pengadaan pendidikan, berbaikan pengetahuan soal irigasi untuk pertanian dan pemerataan kesejahteraan dengan perpindahan orang (transmigrasi dan emigrasi) .
Dari ketiga program itu, pendidikanlah yang mendapat sambutan hangat karena selama Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia) belum satu sekolahpun dibangun oleh pemerintah Belanda. Karena itu, mereka membangun banyak sekolah di beberapa wilayah berpenduduk padat di Jawa, Sumatera dan beberapa kota lainnya.Â
Sementara itu zending sudah lebih dahulu bergerak untuk memberi pendidikan bagi orang-orang lokal seperti di Nusa Tenggara Timur, beberapa wilayah di Sulawesi seperti daerah Toraja dan Manado, juga di Papua.
Intervensi pendidikan pada bumi putra (sebutan penjajah Belanda untuk orang lokal Indonesia) membawa dampak luas. Seperti pendirian beberapa organisasi seperti Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Solo, lalu ada Budi Utomo di Jakarta. Setekah dua organisasi itu, berdirilah puluhan organisasi lain.
Selain itu berdiri beberapa media massa, dalam hal ini koran dan bulletin dalam bentuk sederhana (stensilan) seperti Medan Prijaji yang didirikan tahun 1907 oleh tokoh pers pribumi mula-mula yaitu Tirto Adi Soerjo. Pada masa itu  tercatat 16 koran berbahasa Belanda dan 23 berbahasa Melayu.Â
Pada saat Sumpah Pemuda didengungkan sudah banyak organisasi kepemudaan dan perdagangan serta surat kabar yang berdiri. Perjuangan melalui fisik dan dialog dengan dunia internasional mulai dilakukan pada masa itu, sampai mencapai kemerdekaan, bahkan setelah kemerdekaan mengingat Belanda masih tidak mengakui Papua sebagai wilayah Indonesia.
Semua, baik koran maupun organisasi itu didirikan dan dimotori oleh orang-orang yang mengenyam pendidikan. Sehingga bisa dipahami bahwa pendidikanlah yang membawa perubahan dalam kehidupan pribadi maupun berbangsa dan bernegara.
Kita kini sudah pada masa dimana pendidikan sangat maju. Berbagai sekolah sudah berdiri dan banyak diantara generasi muda yang bersekolah di luar negeri. Kondisi ini cukup baik mengingat alam demokrasi mewarnai kemajuan Indonesia. Berbagai informasi baik positif maupun negative mampir ke Indonesia.
Diantaranya adalah ideologi transnasional yang membenturkan Islam yang berkembang di Indonesia dengan Islam yang diklaim sebagai Islam asli atau islam mula-mula. Dengan dalih pemurnian agama mereka tak segan memberi faham radikal kepada generasi muda. Ini dilakukan di sekolah-sekolah dan kampus melalui program ekstra kurikuler.
Di samping itu adanya kecenderungan dari kaum terdidik (pelajar dan mahasiswa ) untuk menyuarakan aspirasi mereka melalui provokasi dan kekerasan.Â
Aksi ini sering menimbulkan korban jiwa dan kerusakan pada sarana umum, sehingga patut disayangkan karena aksi-aksi ini dilakukan oleh generasi muda yang terdidik.
Mekanisme sebenarnya sudah diatur melalui beberapa jalur semisal jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstusi, namun jalur ini kerap dinafikan karena perasaan apatis para mahasiswa.
Dengan spirit Sumpah Pemuda seharusnya hal ini tidak melekat dalam diri generasi muda zaman now. Berbagai kemudahan teknologi dan tingginya pendidikan seharusnya membuat para pemuda terdidik memberikan teladan yang baik bagi masyarakat dan tidak memakai jalur anarki untuk menyuarakan aspirasinya.
Dengan keteladanan dan citacita yang baik, insyaallah kita mencapai kemajuan bangsa yang diinginkan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H