Mohon tunggu...
D Eksplorer
D Eksplorer Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

ceritanya pengen jadi penulis....

Selanjutnya

Tutup

Money

Pembela yang Membubarkan BUMN

2 Desember 2018   13:58 Diperbarui: 2 Desember 2018   14:14 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di warung kopi sampai dunia maya, banyak perbincangan soal BUMN. Salah satu topik pokoknya adalah soal BUMN yang disebut dijual, merugi, atau nasib buruk lain.

Sebagian percakapan disertai data. Sebagian lagi berdasar katanya saja. Sering sekali perdebatan menjadi panas di antara dua orang yang sebenarnya tidak saling kenal tapi sama-sama merasa paling tahu pada masalah yang dibahas.

Meski sering berbeda pendapat, semua merasa sangat peduli pada BUMN. Semua merasa sepatutnya BUMN menjadi perusahaan besar, selalu untung, dan tentu saja menghasilkan pelayanan terbaik. Sering juga BUMN Indonesia dibandingkan dengan BUMN negara-negara lain.

BUMN Indonesia memang pernah mengalami periode panjang tidak dikelola dengan benar. Prinsip manajemen nyaris tidak dipakai, banyak BUMN merugi. Karena, meski disebut badan usaha, tidak berarti BUMN benar-benar dikelola seperti layaknya perusahaan. Sering kali terdengar BUMN dianggap kalah perusahaan swasta yang bergerak di sektor yang sama. BUMN dicap lebih buruk dibandingkan swasta.

Perbaikan

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak BUMN terus dibenahi. Sistem pengelolaan diperbaiki, prinsip tata kelola usaha yang benar diterapkan. Perlahan BUMN semakin membaik.

Dalam upaya itu, tentu saja ada penolakan dari berbagai pihak, langsung maupun tidak langsung. Dari internal BUMN sendiri ada penolakan. Terutama dari kelompok yang kenyamanannya terganggu karena perbaikan sistem membawa perubahan. Dari luar, penolakan dilakukan dengan berbagai cara.

Sebagian orang yang membincangkan BUMN juga termasuk menolak BUMN menjadi lebih baik. Banyak yang menghindari memakai jasa Pos Indonesia dan memilih kurir swasta. Alasannya beragam, intinya Pos Indonesia buruk. Data kinerja dan pelayanan Pos Indonesia yang terus membaik tidak dipertimbangkan. 

Orang yang sama juga bersuara kencang saat mendengar Pos Indonesia disebut untungnya sedikit. Keuntungan sedikit itu kadang malah dipelintir menjadi rugi. Padahal, jelas sekali jika masih ada sisa setelah pendapatan dipotong biaya usaha, maka disebut keuntungan. Sementara jika pendapatan lebih kecil dibanding biaya usaha, baru disebut rugi. 

Banyak pula yang mengesampingkan fakta pelayanan Pos Indonesia dan BUMN lain termasuk di wilayah yang dijauhi swasta. Pelayanan di daerah terpencil, pulau terluar, daerah terisolasi disediakan oleh BUMN. Biaya pelayanan ke tempat-tempat itu amat besar dan sering kali tidak sebanding dengan pendapatannya. 

Namun, pelayanan ke sana harus disediakan karena di tempat-tempat itu ada WNI yang berhak dapat pelayanan. Swasta tidak mau ke sana. Swasta hanya mau melayani di wilayah yang mudah terjangkau dan dipastikan menguntungkan saja. BUMN tidak bisa seperti itu.

Gara-gara itu, wajar saja jika pada beberapa hal, biaya BUMN lebih besar dibanding swasta. 

Bagaimana agar biaya itu tertutup, tentu saja dengan mengandalkan pendapatan dari daerah yang berpeluang atau cenderung menguntungkan. BUMN menerapkan subsidi silang.

BUMN harus untung, juga harus tetap mempertahankan pelayanan di daerah atau sektor yang amat berpeluang menghasilkan kerugian. 

Agar BUMN tetap untung dan sehat, pakailah produk, barang maupun jasa, BUMN. Itulah cara peduli dengan BUMN. Bukan sekedar membincangkan di sana-sini, tapi tidak mau memakai produk BUMN dengan beragam alasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun