JELANGÂ pelaksanaan Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Semarang pada 27 November 2024, suasana politik di kota ini semakin memanas dan mencemaskan. Di tengah hiruk-pikuk kampanye, serangan berupa ujaran kebencian terhadap calon Wali Kota Semarang, Yoyok Sukawi, semakin massif dilakukan oleh sekelompok orang. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan kekacauan dalam arena politik, tetapi juga mencerminkan betapa rendahnya etika yang berlaku di kalangan para pelaku politik.
Ujaran kebencian yang ditujukan kepada Yoyok Sukawi banyak beredar di media sosial, coretan dinding, dan dalam bentuk spanduk yang dipasang oleh kelompok tertentu. Serangan ini, yang didominasi oleh caci maki dan penghinaan, sering kali berhubungan dengan posisi Yoyok sebagai CEO PSIS, yang saat ini masih berkompetisi di Liga 1 2024. Ungkapan-ungkapan seperti "Yoyok Kont*l", "Anti Y$", dan berbagai cacian lain mencerminkan ketidakpuasan sekelompok orang terhadap kepemimpinan Yoyok di PSIS.
Yang lebih memprihatinkan, serangan ini tidak hanya berhenti pada kalimat-kalimat kasar di spanduk. Di kolom komentar media sosial, terutama di akun Instagram pribadi Yoyok, banyak komentar yang menjurus pada serangan pribadi yang jelas bertujuan untuk mendowngrade elektabilitasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa strategi hitam dalam politik telah merajalela, di mana lawan politik berusaha merusak reputasi lawan mereka dengan cara yang kotor dan tidak beretika.
Selain itu, perusakan alat peraga kampanye milik pasangan calon wali kota-wakil wali kota Semarang nomor urut 2, Yoyok Sukawi-Joko Santoso (Yoyok-Joss), juga mencerminkan betapa jauh panggang dari api nilai-nilai demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.
Baliho dan spanduk yang terpasang di berbagai titik di Kota Semarang menjadi sasaran perusakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Perusakan yang terjadi secara massif di hampir seluruh kota ini bukan hanya merugikan pasangan calon tersebut, tetapi juga menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi proses demokrasi.
Politik seharusnya menjadi ajang untuk menciptakan perubahan yang positif dan memberikan harapan bagi masyarakat. Namun, apa yang terjadi di Semarang saat ini justru sebaliknya; politik menjadi arena yang penuh dengan kebencian, fitnah, dan tindakan anarkis.
Keberadaan ujaran kebencian dan perusakan alat peraga kampanye menunjukkan bahwa sekelompok orang lebih memilih untuk menyerang karakter dan reputasi individu daripada menjelaskan visi dan misi mereka secara terbuka.
Di tengah segala kekacauan ini, masyarakat perlu berperan aktif untuk menolak praktik politik yang menjijikkan ini. Tidak ada tempat bagi ujaran kebencian dan perusakan dalam demokrasi yang sehat.
Kita perlu mengingatkan semua pihak bahwa setiap calon memiliki hak untuk berkompetisi secara fair dan saling menghormati. Masyarakat harus mampu melihat lebih jauh dari sekadar serangan pribadi dan menilai calon berdasarkan program dan visi yang mereka tawarkan.
Dengan demikian, saatnya bagi kita untuk membangun politik yang lebih beradab dan bermartabat. Mari kita dukung politik yang mengedepankan dialog dan saling menghormati, bukan kebencian dan perusakan.
Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa Pilwakot Semarang bukanlah ajang pertarungan politik dengan cara yang menjijikkan, tetapi sebuah proses demokrasi yang memberikan harapan dan masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H