Agustina Wilujeng. Ini disinyalir karena profil Agustina Wilujeng belum layak menjadi calon wali kota Semarang.
TIM Jaguar seakan gagal dalam mempromosikanProfil Agustina Wilujeng, jika dilihat dari sisi yang lebih kritis, tampaknya memiliki beberapa kelemahan yang bisa membuatnya diragukan oleh pemilih milenial, seniman, dan kalangan religius di Semarang yang mencari pemimpin autentik dan relevan.
Sebagai seorang sarjana sastra, Agustina Wilujeng seharusnya memiliki potensi untuk beresonansi dengan kaum kreatif dan milenial. Namun, alih-alih memanfaatkan latar belakangnya untuk mendukung seni dan budaya, ia justru lebih banyak berkiprah di bidang pertanian dan perkebunan selama di Komisi IV DPR-RI. Kompetensi yang berseberangan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya dengan dunia kreatif dan inovatif yang menjadi denyut nadi generasi muda.
Gagalnya Agustina menuju Senayan dari dapil Jateng 4 pada Pemilihan Legislatif 2024, di mana PDIP hanya mendapatkan tiga kursi, bisa dilihat sebagai indikasi bahwa ia kurang menarik bagi pemilih yang mencari kebaruan dan perubahan.
Komentar Agustina mengenai netralitas ASN di Pilpres 2023, ketika media mendeteksi Ganjar meminta ASN mendukungnya, bisa menimbulkan keraguan tentang prinsip keadilan dan integritas yang dipegangnya. Ketika ia menyatakan, "sulit bagi ASN untuk tidak netral di situasi Pilpres," ini dapat diartikan sebagai indikasi bahwa ia lebih mementingkan pragmatisme politik daripada nilai-nilai moral yang dipegang teguh oleh kalangan religius.
Gaya kampanye Agustina yang lebih suka "berbelanja masalah" di pasar, hanya bertanya tanpa memberikan solusi, meski terkesan merakyat, bisa dianggap sebagai aksi simbolis yang kurang substansi. Sudah nggak zaman lagi, pemimpin sok merakyat. Orang ingin melihat sosok pemimpin yang bisa menyelesaikan masalah.
Bagi warga Semarang yang lebih menghargai solusi nyata daripada sekadar kehadiran fisik, pendekatan ini mungkin terasa seperti aksi pencitraan tanpa komitmen nyata untuk perubahan. Sistem "Komandante" yang ia dukung, yang membagi caleg sesuai "wilayah tempur", juga bisa dilihat sebagai pendekatan militeristik yang terasa usang dan kurang sesuai dengan tuntutan transparansi dan partisipasi aktif di era modern ini.
Politik "bilas bersih" yang diklaim Agustina berhasil menjaga PDI-P Jateng sebagai kandang banteng, pada kenyataannya berakhir dengan kekalahan Ganjar Pranowo yang hanya mencapai 17% suara nasional. Ini menunjukkan bahwa strategi politik tradisional yang ia usung tidak selalu efektif dan bisa jadi tidak beresonansi dengan pemilih yang lebih muda dan berwawasan luas.
Secara keseluruhan, bagi milenial, seniman, dan pemilih religius yang mencari pemimpin jujur, relevan, dan inovatif, profil Agustina Wilujeng mungkin belum sepenuhnya menjawab harapan tersebut. Wajar kalau kemudian kaum milenial dan pemilih religius meninggalkannya nanti.
Sementara itu..
Yoyok Sukawi dan Joko Santoso (Yoyok-Joss), menunjukkan keunggulan signifikan dalam survei terbaru yang dilakukan oleh Indoriset Strategies, dengan elektabilitas mencapai 62 persen. Ini menempatkan mereka jauh di atas pasangan Agustina Wilujeng-Iswar Aminuddin (Jaguar) yang berada di angka 17,5 persen.Â
Mukhlis Raya dari Indoriset Strategies menyatakan, "Alasan utama responden memilih Yoyok-Joss adalah karena pengalaman, kinerja yang dinilai baik, serta kesesuaian visi dan misi." Pasangan ini unggul di semua kategori pemilih berdasarkan usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.Â
Dengan sisa waktu kampanye yang ada, Yoyok-Joss memiliki peluang besar untuk memperkuat elektabilitas mereka, terutama dengan menarik pemilih yang belum menentukan pilihan, menguatkan posisi mereka lebih jauh.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H