Mohon tunggu...
Rudi Suteja
Rudi Suteja Mohon Tunggu... -

NKRI Harga Mati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Balik Tetesan Air Mata Ahok, SBY dan Agus Terbahak-bahak

15 Desember 2016   16:52 Diperbarui: 15 Desember 2016   17:26 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya, proses pelaksanaan persidangan di Pengadilan yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang dan banyak pihak atas kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Thahaja Purnama alias Ahok terlaksana juga. Kemarin (Selasa, 13/12/2016) bertempat di bekas gedung PN Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada, dengan pengamanan ribuan personel polisi, perjalanan sidang perdana berjalan lancar. Tidak hanya dalam ruangan, di luar gedung terlihat juga massa pengunjuk rasa memenuhi jalan.

Antusiasme masyarakat untuk mengikuti jalannya sidang ini begitu besar. Hal ini wajar karena kasus yang sedang menimpa Gubernur DKI Jakarta non-aktif itu menyedot banyak perhatian. Membuat bangsa ini “gaduh” karena terciptanya “kubu-kubuan”. Terutama ketika Aksi Pertama, Aksi Damai 411, dan Aksi Super Damai 212, untuk menuntut keadilan atas kasus Ahok ini tidak hanya “menguras energi bangsa”, tapi juga menjadi isu yang mendunia. Pelaksanaan sidang perdana ini akan menjadi babak baru dalam proses penuntasan kasus hukum, yang ditengarai banyak pihak penuh dengan kepentingan.

Hal yang paling menarik (dan menjadi viral) dari pelaksanaan sidang perdana kemarin adalah ketika semua mata dikejutkan dengan momen-momen dramatis, yaitu ketika Ahok membacakan eksepsi (nota keberatan). Setelah secara tegas menjelaskan bahwa tidak ada niat sama sekali untuk menghina agama Islam, Ahok tak kuasa menahan tangis, terutama ketika menceritakan tentang kedekatannya dengan keluarga angkatnya yang Muslim; ayah angkat, ibu angkat dan kakak angkatnya yang begitu berpengaruh dalam hidupnya dan telah mengajarkan banyak arti menghargai agama lain.

Dalam situasi yang sangat emosional itu, Ahok menjelaskan kehidupannya, mulai dari Belitung hingga Jakarta dengan segala macam jabatan dan posisi. Ia juga menceritakan beberapa kebijakannya yang pro-islam, bahkan kebiasaannya menyisihkan penghasilan untuk kepentingan umat Islam; membangun Masjid di Belitung, musholla, bahkan kebiasaannya hingga saat ini menyisihkan 2,5% dari penghasilannya untuk zakat. Semua itu dijelaskan secara emosional dengan nada terbata-bata dan sesekali menyeka air matanya. Eksepsi itu seperti ingin menguatkan permintaan maafnya yang berulang kali disampaikan dalam banyak tempat dan momen.

Bagi banyak pihak, menangisnya Ahok saat persidangan tentu saja sangat mengejutkan. Tak ada yang menyangka itu bisa terjadi dalam ruang formal di Majelis Persidangan yang suci. Ahok yang selama ini dipersonifikasikan sebagai orang yang tegas, berintegritas , berdedikasi, anti-korupsi, dan ceplas-ceplos, hari itu menjadi lebih “jinak” dengan muka tertunduk. Kita seperti disadarkan kembali, bahwa Ahok tetaplah manusia yang mempunyai sisi-sisi kemanusiaan sebagaimana laiknya yang lain, dan itu kita temukan ketika dipersidangan, luput dari pandangan orang-orang atau media yang selama ini “menghajarnya” tanpa ampun.

Terlepas dari apapun, pasti selalu ada yang nyinyir atas kejadian itu. Ada banyak pendapat liar yang mengatakan, bahwa itu hanyalah tangisan buaya. Itu hanyalah tangisan yang dibuat-buat untuk menarik simpati masyarakat. Itu adalah tangisan yang sengaja disetting untuk memengaruhi seisi ruangan persidangan dan siapa pun yang menontonnya. Tapi, kita mestinya juga memosisikan diri sebagai manusia ketika menilainya, bahwa siapa pun yang selama beberapa waktu terakhir mengalami tekanan dari banyak pihak dan menjadi “musuh” bersama, akan mengalami hal yang serupa. Terutama ketika ia disudutkan dan dipojokkan dengan peristiwa yang tidak diniatkan, tapi kemudian dijadikan bola liar untuk “menggantungnya” di depan rakyat yang diperjuangkannya. Terutama ketika apa yang terjadi pada Ahok, bersamaan dengan keikut-sertaannya dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017.

Bahkan, eksepsi yang baru disampaikannya pun menuai kontroversi sehingga membuat Habibirokhman, ketua ACTA (Advokat Cinta Tanah Air) ingin melaporkan Ahok. Menurutnya ada unsur pidana dalam eksepsi itu. Dengan "dibihongi pakai al-Quran" saja rakyat marah, apalagi dikatakan sebagai "pemecah belah rakyat". Bisa kita bayangkan, satu kasus belum selesai, kasus lain menunggu untuk dilaporkan. Manusia sekuat apa yang tidak akan "mengeluh" ketika yang dihadapinya begitu bertubi-tubi.

Satu hal yang mesti kita sadari, bahwa setegas apapun pernyataan bahwa semua proses hukum yang dihadapi Ahok tidak ada unsur tekanan, tapi kita tidak bisa menutup fakta, bahwa kasus ini sarat kepentingan. Kapolri sempat mengatakan, laporan penistaan agama yang menimpa Ahok mestinya diproses setelah Pilkada untuk menghindari dipergunakannya kepolisian sebagai “senjata”, namuan Kapolri mengakui tekanan massa begitu hebat (CNN). Hal ini pun dipertanyakan oleh kuasa hukum Ahok ketika proses hukumnya berlangsung begitu cepat. Padahal untuk menghidari “kepentingan politis”, harusnya dilaksanakan pasca Pilkada (Kompas.com). Sehingga tidak aneh ketika kemudian tim pengacara Ahok membacakan eksepsi dengan judul yang tegas, “Pengadilan oleh Massa, Trial by The Mob”. (Kompas.com)

Selalu saja, dalam situasi terjepit, ada pihak yang diuntungkan. Dalam situasi mencekam, selalu ada pihak yang mendapatkan berkah. SBY pernah berkata, bahwa dalam setiap krisis selalu ada peluang. Perkataan itu ia sampaikan 2004 lalu ketika Aceh berduka ketika ditimpa musibah tsunami, tercapai kesepakatan perdamaian antara GAM dengan pemerintah. Dalam kasus Ahok ini pun, ditengah kesengsaraannya menghadapi proses hukum, ada yang mendapatkan “durian runtuh”. Ada pihak-pihak yang tertawa terbahak-bahak di atas jerit tangis Ahok yang menjadi begitu nista.

Salah satu pihak yang "menikmati" situasi ini dengan penuh kesenangan dan kemenangan adalah SBY, dan tentu saja Agus. SBY, tidak bisa dilupakan ketika statementnya mengindikasikan adanya "tekanan" dan "ajakan" kepada rakyat untuk memores Ahok. Memang tidak salah, tapi ketika itu diucapkan dengan nada tendensius, bahwa sampai lebaran kuda pun aksi itu akan tetap berlangsung, disitulah letak kecurigaan kita. Apalagi ketika sempat "bocor" WA yang mengatakan, bahwa logistik untuk aksi sudah siap, jadi tak bisa digagalkan, bahkan dengan mempergunakan tangan KSPI.

Kita juga tak bisa menutup mata, bahwa hal ini erat kaitannya dengan Pilkada. Ahok sebagai petahana dan calon terkuat, mwnghadapi ABG bernama Agus, tapi didukung penuh oleh SBY, mantan Presiden dua periode. Untuk sekelas presiden saja, ia bisa "megang", apalagi untuk sekelas gubernuran. Permainan pun dimulai, ketika menemukan momentum yang sangat tepat.

Ahok, dari dulu, memang mengalami banyak penolakan. Sejak diangkat jadi gubernur, ada sekelompok Ormas yang secara terang-terangan ingin menjatuhkannya, bahkan sempat membuat Gubernur tandingan. Tokoh-tokoh yang kemarin mengepalai aksi berjilid-jilid itu, tak bisa dipungkiri mempunyai kedekatan dengan SBY atau Agus. Kita pasti pernah melihat keakraban Agus dengan Si Habib. Kita tak perlu sangsi, bahwa salah satu tokoh pernah menjadi Wantimpres SBY ketika masih menjabat Presiden. Majelis Dzikir milik SBY pun tak bisa mengelak ketika banyak fakta yang menyebutkan bahwa Majelis Dzikirnya ikut rerembukan sebelum Fatwa MUI dikeluarkan. SBY sangat pintar memainkan isu-isu sensitif, hingga memaksa Megawati mengakui kehebatan mantan menterinya, dua kali berturut-turut.

Benar saja, SBY dan Agus sedang tertawa di atas penderitaan Ahok. Tertawa karena lawan yang paling ditakutinya, hampir menemukan "ajal" politiknya pada Pilkada DKI Jakarta kali ini. Tertawa karena Ahok menjadi "musuh" nomor 1 umat Islam di Indonesia. Tertawa karena elektabilitasnya semakin merosot, turun tajam.

Bagaimanapun Ahok adalah lawan yang paling ditakuti. Bahkan Agus, tak pernah sekalipun mau untuk melakukan debat secara terbuka bersama-sama dengan calon lain. Karena memang Agus, tak tahu apa-apa, tak punya pengalaman apa-apa dalam konteks kepemimpinan sipil. Ia hanya mujur karena menjadi anak seorang SBY. Lalu dicalonkan untuk Pilkada, dan setelah itu, dan kemungkinan akan berlanjut ke Presiden.

Kita lihat bagaimana tanggapan Agus Harimurti Yudhoyono, yang dengan “kepolosan” dan “kesuciannya” menilai, sebaiknya Ahok tidak mengait-kaitkan kasus dugaan penodaan agama dengan Pilkada. Agus mengajak untuk berpikir jernih da mendudukkan permasalahan secara tepat. Menurutnya, ada atau tidaknya Pilkada, isu dugaan penodaan agama tentu akan menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Padahal, diakui atau tidak, Agus juga pasti tahu, bahwa itu bukan soal penistaan agama semata, tapi juga kental dengan aroma politis yang tak bisa ditutup-tutupi. Ketika Ahok sedang berduka, kita bisa melihat bagaimana ada kebahagian lain yang ditampilkan oleh Agus ketika berkampanye. Ia bhagia sekali.

Dan ternyata, upaya kehausan dan hasrat politik Cikeas mulai menemukan jalan yang lurus. Banyak survey yang mengunggulkannya atas paslon yang lain. Padahal, kita semua tahu tak ada yang dijualnya selain menjanjikan materi yang menggiurkan untuk rakyat Indonesia. Sumbangan ini dan itu. Giliran ditanyakan lebih detail, tak ada penjelesan lebih kecuali jawaban-jawaban normatif yabg masih mengawang. Apa gagasan luar biasa dalam visi-misi yang super tebal (sumber KPU) ketimbang yang lain?

Agus sedang menikmati momentumnya sekarang. Upaya untuk menang lebih mudah, karena satu lawan sudah "tumbang", dengan cara-cara yang agak "kampungan". SBY-pun tak pernah main-main untuk Pilkada kali ini. Bukan saja soal anak, tapi juga soal kepentingan yang lebih besar. Selanjutnya, dan selanjutnya. Ketidak beranian mengadu ide dan gagasan, membuatnya berada pada jalur sesuai arahan. Arahan "atasan", yang sejatinya itu cukup menjelaskan kemampuannya untuk memimpin Jakarta. Menarik kita tunggu, karena Jakarta, akan selalu menemukan jalannya sendiri untuk mencari gubernurnya, bukan gubernur surveynya.

Dibalik tangisnya Ahok, ada SBY dan Agus yang sedang bersenda gurau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun