“ Hei siapakah engkau wahai makhluk jelek ”, tanyanya.
“ Aku adalah derajat ”, jawab makhluk itu.
“ Derajat siapakah engkau, duhai betapa celakanya orang yang mempunyai derajat seburuk engkau ”, tanyanya lagi.
“ Aku adalah derajatmu ”, jawab makhluk itu.
“ Oh tidak, engkau bukan derajatku, tak mungkin derajatku seburuk engkau, aku ini seorang ahli ibadah, aku ini orang terpandang dan selalu membela agama Allah”, tolaknya dengan tegas.
“ Iya, tapi aku adalah benar-benar derajatmu”, jawab si makhluk dengan tenang.
“ Tidak mungkin, tidak mungkin, mengapa si Karyo dan si Sariyem yang ibadahnya jelas tidak sehebat dan sebanyak aku mempunyai derajat yang indah, sedang aku yang selalu rajin dan tekun beribadah derajatku seburuk engkau”, bantahnya lagi.
“ Ketahuilah wahai fulan, si Karyo tetanggamu itu dia sungguh ingin sekali dekat denganmu, ingin belajar darimu, ingin bisa meniru ibadahmu, namun engkau selalu menolaknya, karena engkau menganggap ia tak pantas bergaul dan belajar darimu karena ia adalah mantan preman, tetapi dia terus berdo’a kepada Allah berharap suatu ketika ia bisa belajar darimu agar bisa meniru ibadahmu “, terang makhluk tersebut.
“ Lalu bagaimana dengan derajat si Sariyem, mengapa derajatnya bisa sehebat dan seindah itu ?”, tanyanya penasaran.
“ Sariyem adalah janda tua yang selalu berusaha mencukupi kebutuhan hidup enam orang anaknya sejak dia ditinggal mati oleh suaminya, ia tak pernah mengeluh, selalu berupaya untuk menafkahi anak-anaknya dengan cara halal, diapun tak kenal lelah mendidik anak-anaknya agar menjadi pribadi-pribadi yang berguna dan tak mudah menyerah dalam menjalani kehidupan “, terang makhluk itu.
“ Dan mengapa aku yang tak pernah berhenti beribadah dan membela agama Allah justeru mempunyai derajat seburuk engkau ?”, tanyanya sambil membentak.