Aku mencoba mencari hikmah dengan mendaki puncak gunung dalam kitab Al-Hikam dari Ibnu Atha’illah, dan justeru aku malah terlempar kedalam jurang ketidak mengertianku.
Aku mencoba mencari hikmah dengan menyelami samudera dalam kitab Al-Ihya’ Ulumuddin dari Al-Ghazali, tetapi pada akhirnya aku harus terseret arus, terdampar dipantai kebingunganku.
Lalu aku datang menemui Rumi, berharap bahwa dia akan memberikan nasehatnya kepadaku.
“ Wahai syech, aku ini seorang musafir yang sedang dahaga, sudilah kiranya engkau memberiku secawan anggur pengusir dahagaku”, pintaku padanya.
Dan dia menjawab melalui syairnya:
“ Kedai minum adalah tempat dimana anggur cinta Ilahi memabukkan para musafir”.
“ Tetapi syech, apakah aku cukup pantas meneguk anggur cinta Ilahi, sedangkan cintaku telah tumpah ruah pada syahwat-syahwat duniawi”, selaku.
Dia bersyair kembali:
“ Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah hidup. Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung pada Hari Perhitungan nanti. Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta, akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapan-Nya “.
“ Duhai syech, dengan cara apa aku membangkitkan gairah cintaku, sebab yang kupunya tinggalah gumpalan-gumpalan nafsu belaka ?”, tanyaku padanya.
Kemudian dia menjelaskan kepadaku:
Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!
Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepadaNya!
Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
kerana Tuhan, dengan rahmatNya
akan tetap menerima mata uang palsumu!
Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.
Begitulah caranya!
Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayuhlah datang, dan datanglah lagi!
Kerana Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepadaKu,
kerana Akulah jalan itu.”
Aku terpana, takjub dalam hamparan indah bait-bait syair Rumi, tetapi dahagaku belumlah habis sudah. Lalu kubertanya lagi kepadanya: “ Syech, nafsuku telah penuh sesak mendominasi dalam rongga dadaku, syahwat-syahwat mengalir deras diseluruh jalan darahku, berikan padaku obatnya biar kuteguk bersama secawan anggur dalam pesta malam ini.”
Nasehatnya lagi padaku:
Nafsumu itu ibu segala berhala
Berhala kebendaan ular sawa
Berhala keruhanian naga
Itu ibarat perumpamaannya
Mudah sekali memecah berhala
Kalau diketuk hancurlah ia
Walau batu walaupun bata
Walau ular walaupun naga
Tapi bukan mudah mengalahkan nafsu
Jika hendak tahu bentuk nafsu
Bacalah neraka dengan tujuh pintu
Dari nafsu keluar ma’siat setiap waktu.
mencintainya ini
sebagaimana kenikmatan lelaki
yang memeluk tugu batu
di dalam kegelapan sambil menangis dan meratap.
Meskipun dia merasa nikmat
kerana berfikir bahwa yang dipeluk adalah kekasihnya, tapi
jelas tidak senikmat
orang yang memeluk kekasih sebenarnya
kekasih yang hidup dan sadar.
Aku menangis membayangkan semua kesia-sian yang telah kulakukan, aku memang bersujud pada-Nya, tetapi sejatinya yang kusujudi adalah birahiku sendiri, aku memang selalu memuji-Nya, tetapi sebenarnya yang kusanjung puji adalah kepongahanku sendiri.
Ternyata aku telah menyembah berhala, ternyata aku telah memuji berhala dan berhala itu adalah diriku sendiri.
Ya Allah anugerahilah aku setetes Cinta, agar aku bisa mencintai-Mu dengan Cinta yang sesungguhnya.
Ya Rabbi limpahilah aku sekeranjang Rindu, biar aku dapat mencumbu-Mu dengan seluruh jiwaku.
Doha, 10 April 2010
Wasalam
Rudi Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H