Mohon tunggu...
Rudi Santoso
Rudi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Dinamika

Pengamat sosial budaya, Dosen Keuangan, Etika Profesi, Manajemen Investasi

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Titanic Legacy vs Mitigasi Risiko

22 Mei 2024   08:35 Diperbarui: 22 Mei 2024   08:38 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisnis besar, perusahaan skala korporasi, karyawan luar biasa banyak, tidak menjamin survive. Bahkan tabu hukumnya menyebut diri tidak akan bisa tumbang.


Lebih dari satu abad lalu (112 tahun), tepatnya 15 April 1912 Titanic tenggelam di Samudera Atlantik setelah menabrak gunung es. Ironisnya, tragedi ini terjadi saat pelayaran perdana kapal besar ini dari Southampton, Inggris  ke New York, USA. Bencana ini dinggap tragedi maritim terbesar sepanjang masa yang menewaskan 1.514 orang dari 2.224 penumpang. Harland and Wolff membutuhkan paling tidak 3 tahun untuk membangun kapal ini sejak 1909 samapi 1911 di Belfast, UK. Sebenarnya kapal ini bukan satu-satunya yang besar di masanya. Titanic adalah satu dari tiga kapal samudera kelas Olympic ( RMS Olympic dan HMHS Britannic) yang dioperasikan oleh White Star Line. Tragedi yang menimpanya ini yang membuatnya terkenal dan menjadi legenda kapal besar.  

Seperti kapal besar lainnya, Titanic juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas First Class di jamannya. Selain gimnasium, kolam renang, dan perpustakaan, restoran kelas atas dan kabin mewah menjadi ikon wajib yang harus ada. Alat komunikasi canggih di jamannya pun telah disematkan, yaitu telegraf nirkabel mutakhir yang dioperasikan untuk keperluan penumpang dan operasional kapal. Jika teknologi dan fasilitas yang ada dikonversikan dengan kondisi saat ini, maka kapal ini memang layak disebut kapal super mewah dan super modern di jamannya. Panjang kapal ini nyaris setara dengan 3 kali lapangan bola atau tepatnya 269,06m dengan lebar 28,19m dengan bobot mati lebih dari 50ribu ton.

Begitu besarnya kapal ini pada jaman itu, sampai-sampai ada klaim dari salah satu penumpang bahwa kapal ini tidak akan bisa tenggelam, bahkan Tuhan pun tidak bisa menenggelamkannya. Orang sufi akan menganggap ini adalah cikal bakal tragedi Titanic. Karena kesombongan adalah awal mula kehancuran. Hanya butuh waktu 4 hari sejak pertama berlayar, kapal ini akhirnya 'ditenggelamkan' di kedalaman 12ribu feet atau nyaris 4km di dasar laut.

Kawan, bisnis yang sudah membesar dan menjadi brand yang kuat bukan berarti tidak akan bisa tenggelam. Kasus Titanic yang tenggelam dalam tempo 4 hari sejak diluncurkan itu tidak bisa disamakan dengan kasus bangkrutnya sebuah perusahaan besar karena tragedi bencana lainnya. Titanic bukan tidak mempunyai mitigasi bencana. Sebagai kapal besar kelas Olympic, kapal ini dilengkapi dengan berbagai macam penanggulangan risiko. Salah satunya adalah skoci atau perahu kecil. Namun kapal ini tidak memiliki cukup skoci untuk menampung seluruh penumpang jika terjadi risiko bencana. Para insinyur bukan tidak memikirkannya, namun isu terkait dengan pertimbangan biaya rendah White Star Line saat pembangunan kapal oleh Harland and Wolf ini patut menjadi sorotan. Apalagi H&W mendapat margin keuntungan 5% dari 3juta pounds untuk dua kapal pada saat itu.

Selain itu, dalam dunia bisnis mengesampingkan mitigasi risiko adalah bunuh diri pelan-pelan. Meskipun probabilitas risiko sangat rendah bukan berarti perusahaan atau tempat usaha tidak perlu menerapkan mitigasi risiko kebencanaan. Prinsip kehati-hatian dalam menjalankan bisnis bukan satu-satunya solusi. Kehati-hatian layaknya menjalankan bisnis secara konservatif hanya menunda waktu kebencanaan. Bisnis harus progresif, bukan defensif. Ada masanya bertindak defensif ketika persaingan begitu besar dan badai terlalu kencang untuk dilawan. Apa yang menimpa kapal besar Titanic bukan lagi sebuah pertarungan melawan pesaing. Namun perlu strategi defensif agar kapal tidak tenggelam. Upaya 'melawan' itu tentu saja menerapkan mitigasi risiko kebencanaan. Namun sayang, tools yang ada hanya sebuah 'aksesoris' karena tidak mampu menjadi solusi yang optimal.

Bisnis 'tenggelam' bukan hanya disebabkan oleh sebuah bencana atau systematic risk. Namun ia bisa datang dari dalam tubuh perusahaan itu sendiri. Salah satu karakter perusahaan dan merek besar adalah ketika merasa dirinya terlalu besar dan tidak mungkin terkalahkan. Kasus Nokia adalah contoh nyata dalam dunia bisnis. Nokia terlalu sombong untuk menerima OS Android dan menolak disematkan ke seluruh perangkatnya. Dengan alasan nokia sudah nyaman dengan Symbian, OS android pada saat itu dianggap sebagai OS sampah karena sifatnya yang open source. Apa yang terjadi? Hanya tempo tak kurang dari 5 tahun, hegemoni bisnis nokia harus tumbang oleh OS yang dianggapnya 'sampah'.

Beruntungnya, Samsung tidak melakukan hal yang sama dengan Nokia. Sebagai salah satu pemain besar, Samsung merebahkan egonya untuk menerima dan men-develop OS 'sampah' tersebut. Maka jadilah Android itu sebesar sekarang yang menguasai seluruh pasar smartphone di luar Apple. Sehingga bisnis telekomunikasi saat ini terbagi menjadi dua mazhab yaitu Android dan IoS.
Nokia bukan tidak kekurangan SDM, ia hanya terlalu terlena dengan kebesarannya. Sehingga terlambat untuk inovasi dan menerima perubahan. Ia tidak mampu atau terlambat untuk driving SDM dan memberdayakannya untuk melawan tantangan kemudian. Apa yang terjadi kemudian adalah Nokia seolah masuk ke lubang hitam dan mundur peradaban karena eranya sudah berubah. Era symbian telah mengalami masa mundur ketika android menjadi OS mainstream smartphone.

Samsung tidak ingin menjadi Titanic yang karam oleh keegoannya sendiri. Samsung menjelma menjadi enntitas bisnis korporasi paling di takuti dari Asia Timur melawan hegemoni korporasi Eropa-Amerika. Nokia? Jangankan melawan korporasi Asia, membangkitkan diri dari mati suri saja sudah nyaris tidak bisa. *San)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun