Bicara bisnis kuliner yang unik, nama Rex Marindo sangat lekat dengan makanan. Jaringan bisnis kuliner yang dibangunnya sejak 2014 telah merambah ke kota-kota besar di Indonesia. Bahkan di Bandung dan Jakarta bisnis kuliner yang dibangun di bawah bendera PT. Citarasa Prima Indonesia sudah memasuki babak baru. Bisnisnya sudah merambah Mall besar di Jakarta dan Bandung. Rex Marindo sangat lekat dengan Brand Warunk Upnormal, Bakso Boedjangan, dan Nasi Goreng Mafia.Â
Rex Marindo sendiri mengawali bisnisnya di bidang percetakan dan desain. Namun lini bisnis ini mulai beralih ke dunia kuliner pada tahun 2013. Rex mulai membangun bisnis kuliner Nasi Goreng Mafia bersama ketiga rekannya, Danis, Stefan, dan Satria. Modal awal yang dibenamkan pada bisnis ini totalnya adalah Rp120 juta. Dari total tersebut tersebut, Rp60 juta digunakan untuk menyewa tempat selama setahun. Sisanya digunakan untuk renovasi dan operasional.
Satu tahun kemudian atau 2014, Warunk Upnormal di-launching. Keunikan bisnis ini adalah menjual produk-produk ala warung mie instan (Indomie) yang sedang tren di area kampus dan perkantoran dengan nuansa cafe. Kemampuan Rex Marindo membaca situasi paradox merupakan kunci sukses jaringan warunk upnormal. Jika seseorang pergi ke warkop nuansa yang terasa kental adalah warkop-nya. Begitu juga dengan cafe, akan kental Nuansa cafe. Rex "menjual" sisi upnormal dari suasana cafe dengan menu ala warkop.Â
Keunikan ini sekaligus menjawab tidak terjebak pada stigma bermain di harga, namun sebuah keunikan. Keunikan yang memberikan pengalaman berbeda dari produk sekelasnya dengan harga yang lebih pantas. Itulah kenapa kuliner ini dinamakan Warunk Upnormal.Â
Keunikan yang ditawarkan adalah sajian Mie Instan dengan citarasa yang upnormal atau tidak biasa dan tentu saja disajikan dengan lebih berkelas untuk memikat hati pelanggan. Selain hal tidak biasa, upnormal boleh disebut warung yang menyediakan menu "aneh" dengan harga terjangkau kantong mahasiswa sebagai daya tariknya.
Kejayaan group Warunk Upnormal ternyata tidak bisa bertahan lama. Beberapa orang (bahkan pakar) kemudian meng-kambing hitam-kan pandemi sebagai biang keroknya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi membawa perubahan besar di dunia bisnis kuliner.Â
Perubahan besar (disrupsi) perilaku konsumen juga memberikan andil besar terhadap perubahan peta bisnis. Konsumen sudah tidak biasa lagi stay dine in di restoran pasca pandemi. Alih-alih dine in, mereka lebih memilih untuk pesan melalui aplikasi. Selain lebih mudah, konsumen hanya dibebani ongkos kirim.Â
Faktor lain yang membuat group bisnis ini akhirnya bangkrut adalah, biaya sewa yang tinggi di setiap gerainya. Hal ini semakin berat ketika arus kas masuk tidak sebanding dengan biaya lainnya. Lebih parah lagi, mereka belum mempunyai pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan SDM untuk memegang bisnis kuliner.Â
Selain fakktor teknis tersebut, bisnis kuliner juga tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan dan selera konsumen. Warunk Upnormal gagal menjawab kebutuhan dan selera konsumen dari setiap gerainya di seluruh Indonesia. Salah satu tantangan terberatnya bisnis ini memang beragamnya selera pasar sesuai dengan geografis masing-masing.Â
Artinya begini, jika membuka gerai di Surabaya, maka konten atau muatan lokal Surabaya seharusnya masuk dalam jajaran utamanya. Memang tidak harus menggantikan menu utama Upnormal, tetapi paling tidak cukup ketahui saja selera lidah ornagb Surabaya yang suka asin dan pedas.Â
Berdeda lagi selera orang Jawa Tengah atau Yogyakarta. Mereka tidak suka pedas, tetapi lebih ke arah manis. Taste yang fleksibel ini adalah kunci untuk merebut hati konsumen. Kenapa demikian? Konsumen akan lebih percaya dan akan lebih mengingat first impression ketika merasakan menu dibandingkan dengan cerita di media sosial.
Beberapa hal yang menjadi biang kerok Warunk Upnormal kiamat adalah sebagai berikut:
Faktor Harga
Harga masih menjadi faktor penentu untuk hati konsumen di kalangan entri level. Bisnis ini pada awalnya menyasar kalangan anak muda usia sekolah/kuliah. Harga menu yang ditawarkan pada mulanya berkisar 20 - 35 ribu sekali dine in. Harga ini masih bisa ditoleransi oleh kantong mahasiswa. Meskipun di daerah tertentu harga di level itu sudah masuk pada golongan menengah. Namun kemahalan itu harusnya terbayar oleh nuansa dan fasilitas yang diberikan Warunk Upnormal.
Namun yang terjadi adalah, harga kemudian meroket menjadi 50rb sekali dine in. Hal ini tentu saja membuat sebagian konsumen pada  entry level ternegasikan.
Faktor Rasa
Bisnis kuliner tidak bisa dipisahkan dengan taste atau rasa. Rasa akan menjadi penguat konsumen untuk memberikan dan membagi pengalaman baik mereka kepada orang lain. Namun jika faktor rasa sudah tidak bisa memberikan nilai yang bagus, maka siap-siap saja bisnis kuliner akan kiamat. Suka tidak suka, apa yang disajikan Warung Upnormal  tidak seenak dulu karena  bahan yang tidak fresh. Hal ini karena mereka gagal mengantisipasi kerumitan supplay chain lebih dari 80 gerai di seluruh Indonesia.
Ekspansi
Mereka terlalu cepat tumbuh dalam waktu singkat. Tidak kurang dari 86 gerai di seluruh Indonesia telah mereka buka. Padahal biaya tempat tergolong tidak murah. Satu gerai di setiap kota yang dibuka membutuhkan minimal 1 -2 M. Maka dari sudut pandang investor (pembeli franchise) akan bertanya-tanya kapan investasi di bisnis ini akan BEP?Â
Sementara itu jika revenue yang diharapkan dari binis ini tidak masuk akal untuk BEP dalam waktu normal. Maka, tidak ada satupun investor yang akan ikut bergabung. Maka, ekspansi yang terlalu cepat berhaya bagi bisnis kuliner.
PSBB
Masa pandemi telah ikut andil besar 'menghancurkan' bisnis kuliner, tak ketinggalan Warunk Upnormal. Jika pada saat normal tingkat revenue masih jauh dari harapan, bagaiama pula nasib pada saat PSBB?
Kemewahan
Tempat upnormal terlalu mewah untuk menjual produk kelas entry level dengan menu Internet (Indomie, Telor, Corned). Investasi awal satu gerai yang mencapai 1M mengakibatkan BEP terlalu lama.
Perbedaan taste antar daerah
Suka atau tidak, jika kita bisnis kuliner dan buka cabang di seluruh Indonesia, kita akan berhadapan dengan selera pasar yang beragam. Perbedaan selera pasar di setiap daerah, tidak mampu disikapi dengan baik oleh Warunk Upnormal. Mereka 'memaksa' pasar menerima taste menu organic mereka tanpa memperimbangkan kearifan lokal. Padahal McD dan KFC mampu bertahan selama ini di berbagai negara adalah dengan menyerap konten kearifan lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H