Kewajiban orang tua adalah memastikan anak mereka untuk sukses. Tidak ada satupun alasan bagi orangtua melakukan pembiaran terhadap perkembangan anaknya dan menjadikannya sebagai anak yang gagal, baik gagal dalam menghadapi permasalahan sehari-hari maupun dalam mengikuti ujian tingkat satuan pendidikan.
Tugas orangtua memang tidak mudah, mereka harus memastikan anak mendapatkan kebutuhan fisik seperti sandang, pangan, dan papan. Mereka juga harus memastikan anaknya mendapatkan kebutuhan nonfisik seperti perhatian, kebahagiaan, dan pendidikan yang baik.
Keseluruhan tugas orang tua itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan porsinya masing-masing. Orangtua tidak boleh mengabaikan salah satu tanggung jawabnya  ataupun lebih mementingkan salah satu kebutuhan anak dibandingkan kebutuhan yang lainnya,
Paham sebagian orang tua bahwa tanggung jawab mendidik anak telah 'gugur' ketika telah memastikan anaknya mengenyam pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Banyaknya orang tua yang bersikap acuh tak acuh dan menyerahkan seluruh tangung jawab pendidikan anaknya kepada pihak sekolah, mereka berpikir anak telah cukup cerdas dengan belajar di sekolah.
Hari ini, apakah masih banyak anggota keluarga terutama orang tua masih memiliki waktu untuk menemani sang anak belajar di rumah atau sekadar mengingatkan sang anak untuk membaca pelajaran yang akan dipelajari esok hari. Lebih banyak mana jika dibandingkan dengan orang tua yang lebih mementingkan pekerjaan kantor, sekolah, ataupun pekerjaan lainnya.
Anak tidak mencapai potensi maksimal, Siapa yang disalahkan?
Pada tahun 2015 untuk pertama kalinya Ujian Nasional berbasis komputer atau computer based test (CBT). Melalui tes  berbasis komputer dipercaya dapat meningkatkan integritas dan mengatasi kebocoran soal ujian nasional sehingga mengetahui tingkat kemampuan siswa dalam pelajaran.
Hasilnya sangat mencengangkan, nilai siswa turun drastis dari harapan pemerintah. Pada tahun ini lebih dari 50% siswa mendapatkan nilai dibawah 55, bahkan di Jawa Timur siswa SMA yang mendapatkan nilai dibawah standar mencapai 85%, di daerah lain seperti Bengkulu dan Sumba Timur terdapat beberapa siswa yang mendapatkan nilai 0.
Sangat ironi, siswa yang telah bertahun-tahun mengeyam pendidikan di sekolah namun tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Harapan siswa untuk melanjutkan pendidikan di sekolah favorit menjadi sirna dengan sendirinya, mengingat nilai mereka yang tidak mencapai standar.
Beberapa pemerintah daerah memprotes kebijakan pemerintah pusat yang memberikan soal terlalu sulit kepada siswa hingga mereka tidak bisa menjawab. Di sisi lain, pemerintah pusat merasa pihak sekolahlah yang tidak maksimal dalam mendidik siswa hingga siswa tidak memiliki kesiapan untuk mengikuti ujian.
Pihak sekolah mengelak jika tidak memberikan pengajaran yang terbaik kepada siswa, seluruh fasilitas belajar telah memenuhi standar ditambah dengan guru yang profesional. Pihak sekolah mengungkapkan bahwa mereka tidak dapat mengontrol kehidupan siswa selama 24 jam dan siswa memiliki lebih banyak waktu bersama dengan keluarganya, maka yang menyebabkan siswa gagal dipengaruhi oleh faktor keluarga yang tidak memberikan pendidikan kepada anak untuk belajar ketika bersama anaknya.