Mohon tunggu...
Rudi Haryono
Rudi Haryono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Muhammadiyah Bogor Raya (UMBARA) - Mahasiswa S3 Linguistik Terapan Bahasa Inggris Unika Atma Jaya Jakarta

Educator, Sociopreneur, Youth Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mendekati Tuhan dengan Berlapar

5 April 2022   12:02 Diperbarui: 5 April 2022   12:07 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendekati Tuhan Dengan Berlapar 

Waktu dan momentum Ramadhan terus berjalan, tanpa henti. Semoga kita semua yang berpuasa dapat semakin mengambil hikmah dan kenikmatan spiritual dalam berpuasa. Semakin merasakan kehadiran dan kebutuhan kita terhadap harus semakin dekatnya kita dengan Tuhan. Kita patut bersyukur bahwa Allah swt telah menjadikan kewajiban berpuasa sebagai salah satu Rukun Islam. Karena hakikatnya dalam setiap perintah dan larangan Tuhan terdapat kebaikan bagi setiap hamba-Nya.  Manusia adalah mahluk biologis yang memiliki kesamaam dengan mahluk Tuhan lainnya seperti lapar, haus, sakit, dan gejala sebagai mahluk biologis lainnya.  Allah swt sebagai Sang Khaliq yang menciptakan manusia tentunya mengetahui dengan persis dan detail manual book system dan anatomi tubuh manusia yang berdampak kepada kesehatan baik material maupun spiritual. Sebagai sebuah ibadah mahdloh (ibadah yang sudah ditentukan kriteria, syarat dan rukunnya), maka berpuasa juga memiliki begitu banyak manfaat dan keistimewaan. Salah satu manfaat atau keistimewaan berpuasa adalah kondisi badan pada state lapar.

Pengaruh Lapar Terhadap Ibadah

Membicarakan perspektif lapar dalam ibadah banyak sekali literature yang membahas keutamaan lapar, salah satunya adalah Imam Al Ghozali ahli sufi yang sangat termasyhur dengan kitabnya Ihya Ulumuddin. Pembahasan lapar dibahas dalam sub-bab hal-hal yang merusak jiwa (muhlikat) (Isom Mudin, 2019). Dijelaskan  bahwa semua titik nafsu atau keinginan syahwat dunia berpusat di perut. Oleh karena itulah maka menjaga dan memelihara asupan perut sangat penting. Imam al Ghozali menyebutkan ada dua syahwat yang senantiasa menggoda manusia sehingga tergelincir berbuat maksiat kepada Tuhannya. Kedua syahwat tersebut adalah syahwat yang berasal dari perut dan kemaluan. Dua hal yang sangat fundamental dalam konteks kebutuhan biologis dan sexual generative dalam diri manusia. Menurut Imam al Ghozali, syahwat yang berasal dari perut dan kemaluan dapat "diobati" dengan terapi lapar.

Menurut hemat penulis apa yang disarankan dan dirumuskan  oleh Imam al Ghozali dengan terapi lapar untuk meredam syahwat perut dan seksual adalah benar adanya. Formulasi terapi lapar yang ditemukan al Ghozali sebagai buah dari pemikiran dan perenungan serta pengalaman spiritualnya secara afirmatif terdapat dalam ibadah yang bernama puasa (shaum). Dengan berpuasa dan dalam kondisi lapar manusia akan dapat merasakan "kehadiran" Tuhan dengan diiringi ibadah lainnya tentunya. Kondisi lapar pada saat berpuasa tentunya akan menjadi sesuatu yang biasa saja dan bersifat rutinitas tanpa adanya kondisi pelaksnaan ibadah lain dan ibadah puasa hanya akan menjadi sesuatu yang menjenuhkan dan tidak berefek kepada kesadaran untuk semakin dekat kepada Tuhannya. Masih banyak orang yang berpuasa tapi tidak merasakan dampak apa-apa yang sifatnya kenikmatan spiritual dengan Tuhannnya dan ketenangan hati. Kondisi tersebut sebagaimana diutarakan dalam sebuah hadist bahwa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan haus saja.

Lapar dan Puasa Sebagai Formulasi Taqarrub

Pengalaman berpuasa yang barangkali sudah puluhan tahun  berpuasa sejatinya semakin menjadikan seseorang lebih "aware" dengan level atau status puasanya. Upaya muhasabah apakah puasa yang dilakukan mengalami eskalasi atau justru degradasi. Fluktuasi level berpuasa yang ideal seharusnya menjadikan individu yang tidak lagi berada pada level puasa orang awam (puasa yang hanya menahan lapar dan haus), tetapi sudah pada level pada khusus atau khawasul khawas (meminjam istilah agama). Puasa yang tidak hanya menahan dari hal yang membatalkan puasa secara biologis saja tetapi lebih jauh dari itu puasa yang benar benar dapat menjangkau untuk dapat menghindari "larangan-larangan abstrak Tuhan." Berpuasa yang tidak hanya menahan diri dari hal yang sifatnya larangan inderawi tetapi juga larangan ruhaniyah.  

Selanjutnya, kembali ke efek positif kondisi lapar terhadap ibadah hal itu akan bergantung sejauhmana kekuatan internal yang ada di dalam diri individu. Berpuasa sebagai ibadah yang sifatnya biologis dan non-biologis harus secara sekuat tenaga diperbaiki kualitasnya. Memang, tidak ada jihad atau perjuangan yang lebih berat selain melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri sendiri.

Imam al Ghozali kembali memberikan pelajaran atau hikmah kepada kita bahwa dengan berlapar itu hati akan menjadi suci dan penglihatan mata batin (bashirah) akan semakin tajam. Dalam kondisi demikian seseorang akan melakukan kegiatan atau aktifitasnya dalam kehidupan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah swt kepada dirinya. Keberadaan panca indera dan potensi keseluruhan fisik dan non-fisik yang ada pada dirinya akan dimaknai sebagai sebuah anugerah kenikmatan yang harus disyukuri sesuai dengan kehendak yang menciptakannya. Kemampuan inderawi yang ada seperti melihat, mendengar, berbicara, melangkah, berfikir dan aktifitas inderawi lainnya digunakan hanya untuk menopang aktifitas beribadah secara umum kepada Tuhannya. Mata batinnya lebih tajam dan selektif daripada mata fisiknya. Pendengaran nuraninya akan lebih peka kepada Tuhannya daripada pendengaran "manual"nya. Kondisi kolektif tersebut hanya akan dapat dicapai pada saat kondisi lapar dalam beribadah. Kondisi tubuh yang kenyang apalagi kekenyangan akan sulit mendapatkan level maksimal untuk dapat melaksanakan ibadah lainnya yang lebih "abstrak dan tinggi".

Berpuasa yang berefek kepada kondisi lapar sejatinya akan semakin membuka potensi kekuatan energi beribadah yang lebih baik dan tinggi kepada Tuhan. Kemalasan sebagai efek dari kondisi perut yang kenyang akan tereduksi dengan kondisi lapar. Dalam kondisi lapar secara psikologis dan spiritual seseorang akan lebih dapat merasakan rasa ringan untuk beribadah kepada Allah swt. Tentunya banyak faktor yang harus dilakukan secara bersamaan, tidak hanya kondisi lapar. Proses kebiasaan atau habituasi dan pemaksaan secara internal dari dalam sendiri juga sangat berpengaruh terhadap tingkat atau level seseorang untuk semakin taat dan patuh kepada Tuhannnya. Keseriusan berikhtiar (mujahadah) sangat diperlukan dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan (muraqabah).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun