SUDAH banyak pihak yang menyoroti rencana pemberlakuan kebijakan baru harga Bahan Bakar Minyak (BBM) serta dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Itu pula yang membuat pemerintah belum juga memberlakukan kenaikan harga BBM bersubsidi, khususnya Pertalite dan Solar. Di tengah rencana pemberlakuan harga baru Pertalite dan Solar tersebut, Pemerintah secara mengejutkan justru melakukan penyesuaian harga beberapa jenis Pertamax. Namun, penurunan harga Pertamax tersebut disebut-sebut sebagai sebuah fase pendahuluan yang manis sebelum kenaikan harga Pertalite dan Solar.
Tentunya bisa dipahami jika kenaikan harga BBM akan memberi dampak langsung pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Ini karena BBM digunakan untuk konsumsi hampir seluruh  sektor. Jadi sangat penting mengendalikan harga energi supaya  tidak memberikan efek kepada inflasi.
Menyimak catatan Biro Pusat Statistik (BPS), belajar dari pengalaman di 2005, tingkat inflasi kala itu mencapai 17,11 persen lantaran pemerintah melakukan penaikkan harga BBM sebanyak dua kali di Maret dan Oktober. Pada 2005, pemerintah menaikkan harga BBM dimana Bensin naik sebesar 32,6 persen dan Solar sebesar 27,3 persen di Maret 2005. kemudian, di Oktober 2005, pemerintah kembali menaikkan harga Bensin di 87,5 persen dan solar 104,8 persen.
Tidak hanya di 2005, pemerintah juga menaikkan harga BBM pada 2013 dan 2014, dimana naiknya harga BBM membuat tingkat inflasi masing-masing mencapai 8,38 persen dan 8,36 persen. Meski demikian, dampak kenaikan harga BBM di 2013 dan 2014 relatif lebih rendah dibandingkan 2005 lantaran kebijakan bantuan sosial di 2013 dan 2014 sudah lebih baik sehingga dampaknya terhadap inflasi dapat ditekan, terutama pada kelompok menengah dan rentan.
Itu yang membuat BPS terus mengingatkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, berhati-hati terhadap inflasi. Pasalnya, tingginya inflasi dapat berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga, yang merupakan penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, di mana 56 persen disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan data yang disampaikan BPS, pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga secara tahunan dari 4 persen di 2005, turun  menjadi 3,2 persen pada 2006. Demikian halnya di 2013 dan 2014 dimana konsumsi rumah tangga juga mengalami penurunan, dimana pada 2013 tercatat turun dari 5,43 persen menjadi 5,15 persen pada 2014, dan kembali turun menjadi 4,96 persen pada 2015.
Oleh karena itu pula BPS terus mengingatkan pemerintah agar jangan sampai inflasi tinggi di masing-masing daerah,  yang akan menggerus daya beli masyarakat dan nanti  ekonominya akan turun cukup signifikan karena pengaruhnya terhadap konsumsi pemerintah.
Peringatan BPS tidak main-main. Untuk itu, pemerintah terus mencermati tingkat inflasi nasional dan daerah, termasuk melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Kenaikan harga pangan, dan BBM, berpengaruh secara langsung dengan inflasi.
Dari data BPS, pada Agustus 2022 terjadi deflasi sebesar 0,21% (mtm) dan inflasi menjadi 4,69% (yoy). Angka tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan inflasi bulan Juli 2022 yaitu 4,94% (yoy). Pemerintah berusaha keras untuk menjaga stabilitas harga dan capaian inflasi 2022.
Tim Pengandali Inflasi Pusat (TPID) berada di bawah kementerian koordinator bidang perekonomian. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa TPID juga terus menjaga stabilitas harga pangan yang tercermin dari inflasi volatile food yang juga mengalami deflasi pada bulan Agustus 2022 sebesar 2,90% (mtm) atau 8,93% (yoy). Angka tersebut menurun dari bulan Juli yang mencapai 11,47% (yoy).
Deflasi terjadi karena terbantu oleh hasil panen yang telah merata di daerah sentra, termasuk penurunan harga komoditas bawang merah.