Mohon tunggu...
Rudi Gint's
Rudi Gint's Mohon Tunggu... lainnya -

Belajar Bertani HATI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Prittt... Uang Mengalir ke Kantong

30 November 2011   11:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:00 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pritt.., peluit itu berbunyi. Suara itu berasal dari tiupan anak muda yang selalu nongkrong di mini market itu. Dia hanya meniup peluit, tapi tidak membantu menata parkir motorku. Dia kembali ngobrol dengan temen temennya dan begitulah selalu setiap kali saya belanja. Saat selesai belanja, dia meniup kembali peluitnya, lalu menadahkan tangan meminta uang parkirnya.

Entah sudah berapa motor dan mobil yang parkir di mini market ini sejak pagi hingga saya parkir sekarang (lirik jam, sekarang pukul 17.30 WIB). Kalau satu motor Rp 1.000;00, mobil juga demikian, sudah berapa rupiah mengalir ke sakunya.

Sejenak saya berfikir, enak juga gaya dia mencari rupiah. Dengan berbekal satu buah peluit uang mengalir ke sakunya. Yang saya heran adalah kepada siapa dia menyetorkan uang parkir tersebut, sementara tidak ada bukti parkir berupa karcis dan seragam yang di pakai olehnya. Bagaimana kalau kendaraan yang di parkir hilang, kepada siapa kita meminta pertanggungjawabannya? Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, parkir masih mendapatkan selembar tiket parkir dan juga orang yang memungut parkir itu masih berseragam.

Iseng coba saya dekati orang tersebut, ingin menanyakan beberapa hal mengenai perparkiran di sini tentunya dengan gaya bahasa yang sok akrab sambil menawarkan sebatang rokok. Pucuk di cinta ulampun tiba, dia bercerita lebih semangat dari saya yang ingin bertanya padanya. Menurut ceritanya, selama ini dia bekerja sebagai tukang parkir atas suruhan Bang Kandar (samaran). Setiap hari uang hasil parkir di setorkan ke bang Kandar dan dia di beri bagian Rp 25.000; plus sebungkus rokok dan sisanya itu menjadi milik bang Kandar. Adapun uang yang terkumpul bisa mencapai Rp 250.000; dalam sehari. Terbayang oleh saya, alangkah nikmatnya menjadi bang Kandar, dari satu mini market bisa mendapatkan penghasilan Rp 225.000;, bagaimana kalau ada 2 atau 3 mini market yang di kuasai olehnya? Tidak mengeluarkan keringat, rupiah mengalir ke sakunya.

Saat menulis artikel ini, saya mencoba mengingat beberapa kota yang pernah saya singgahi tentang pola perpakiran seperti ini. Secara umum sama, parkir di pungut oleh oknum bukan oleh petugas. Lain halnya jika parkir di Mall, hotel dan pusat perbelanjaan, mereka sudah menerapkan sistem perparkiran yang terpadu. Bercermin dari beberapa kejadian kehilangan kendaraan di areal parkir, MA sampai mengeluarkan keputusan yang berlaku umum untuk semua pengelola parkir.

Saya tidak membahas persoalan perparkiran yang sudah di kelola lebih lanjut, namun ingin mencoba mengelitik kita semua yaitu parkir yang di kelola oleh perorangan di mana tidak adanya bentuk komitmen pertanggungjawabannya seperti di mini market, di pasar, rumah makan, ruko dan tempat lainnya. Pernahkah kita bertanya siapakah orang yang berhak memungut uang parkir di tempat tempat tersebut di atas? Bukankah ini salah satu bentuk pemerasan kecil yang ada di sekitar kita? Dengan tidak melepas sisi positifnya (menyediakan pekerjaan dan membantu menertibkan) namun kita juga sudah seharusnya melihat dampak negatifnya, di antara tidak adanya yang bertanggungjawab atas bentuk kehilangan ataupun kerusakan yang di sebabkan. Belum lagi soal areal tersebut di jadikan tempat tongkrongan yang tidak jarang mereka yang berkumpul sambil minum alkohol dan juga bermain judi ( ini hasil pengamatan langsung, mereka berkumpul di salah satu pojok sambil minum alkohol dan main gaple, dan ini selalu menjadi kegiatan rutin mereka).

Sebagai cacatan, di setiap daerah selalu dinas yang menaungi tentang perparkiran. Bukankah hal ini bisa di jadikan salah satu sumber PAD bagi daerah dalam membangun daerahnya dan tidak menyerahkan kepada oknum yang akhirnya hanya di nikmati oleh segelintir orang saja. Sadar atau tidak sadar “wilayah” ini menjadi lahan perebutan yang tidak jarang akan berujung pada hukum rimba; “siapa kuat dialah yang akan menang”.

Kembali ke bang Kandar, kepada siapakah dia akan bertanggungjawab? Apakah ada lagi orang di atasnya, wallahhu alam. Bayangkan berapa banyak uang yang terkumpul dalam suatu daerah, lalu berapa kalau satu kecamatan, satu kota, satu propinsi atau bahkan satu Indonesia ini? Kecil memang dari Rp 1.000;, mungkin menurut kita tidak seberapa tapi sadarkah kita ini sedikit banyak kita kurang peduli terhadap lingkungan kita.

Semoga tulisan ini sedikit membuka wacana dan juga kehati hatian kita saat memarkirkan kendaraan. Bukan tidak mungkin ini menjadi salah satu jalan dalam menyuburkan pencurian kendaraan bermotor yang terorganisir di negeri ini.

Bogor, 30 November 2011

@rudigints

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun