Mohon tunggu...
rudie chakil
rudie chakil Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Biarkan Ego Muthmainahku Berkreasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tawassul pada Sang Presiden

13 Maret 2019   14:29 Diperbarui: 13 Maret 2019   14:40 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya paling anti, jika menulis tentang -atau membicarakan- sesuatu yang berkaitan dengan dunia politik. Menurut saya pribadi, dunia politik tidak lain hanyalah ajang berebut kekuasaan, diplomasi pembenaran, sesuatu yang tidak transparan, dan banyak perihal yang tidak netral dan tidak natural.

Apa yang saya tuliskan ini bukanlah sesuatu yang bersifat politik, atau satu pandangan yang mengarah ke sana. Tidak, tidak. Saya hanyalah seorang penulis fiksi amatiran. Merasa tak pantas punya sudut pandang yang brilian tentang dunia politik.

Jadi ceritanya..., pada bulan Febuari tahun 2016, saya memutuskan untuk berhenti kerja karena beberapa pertimbangan (Perusahaan yang kurang relavan untuk seorang buruh yang lumayan rajin. Hahaha). Saya pun resmi menjadi seorang penganggur. Padahal kala itu saya sudah punya anak-istri yang kebutuhannya wajib saya penuhi. Selama tujuh bulan menganggur, saya mencoba usaha dengan tabungan yang ada dari bekerja selama sepuluh tahun, (di samping mencari pekerjaan) dan hasilnya, busuk sampai ke akar-akarnya. Bukannya dapatkan untung malahan ketiban hutang yang menggelembung. Jumlah hutang yang harus saya bayarkan adalah 10 kali lipat dari jumlah modal.

Masa itu adalah masa paling sulit yang pernah terjadi dalam hidup saya. Setelah usaha belum berhasil, saya mencoba fokus mencari pekerjaan. Beberapa bulan mencari, namun belum ada kesempatan untuk bekerja lagi. Cari sana cari sini masih juga belum dapatkan pekerjaan.

Singkat cerita, pada usia sembilan bulan menganggur, saya sudah merasa kalah dari kerasnya kehidupan. Saya sudah frustasi. Saya banyak masalah. Saya kalah total. Sampai merasa menjadi manusia yang tidak berguna. Tekanan yang saya dapatkan begitu menusuk hati. Menangis saya setiap hari.

Saya tidak bisa menyalahkan siapapun dan menganggap itu memang sesuatu yang harus kami hadapi. Tapi tekanan dan kebutuhan hidup terus saja menguras air mata saya. Harapan yang hampir hilang pada saat itu, menimbulkan sebuah kekesalan pada pemerintah, khususnya Penguasa tertinggi (Presiden/Pak Jokowi). Dalam hati saya bergumam, "Kurang ajar kamu... kamu nggak tahu rakyatmu sampai seperti ini... kamu harus bertanggung-jawab! Saya akan menuntut kamu!"

Kata-kata itu serius saya ucapkan. Mungkin saya juga merasa jika hal tersebut tidak pantas. Siapa saya? Mau menuntut Presiden? Tapi memang menurut saya, itulah tanggung-jawab seorang pemimpin. Dan lagi, tuntutan yang saya utarakan bukanlah tuntutan yang bersifat nyata, tapi bersifat batiniyah. Saya bukanlah menuntut, tapi 'Bertawasul'. Karena satu hal yang saya tahu, bahwa jika seorang pemimpin itu benar, maka doa darinya pasti akan cepat dikabulkan olehNya. Hal itu ada di dalam agama.

Hari yang saya rencanakan sudah tiba. Saya minta ijin pada istri saya, -sebagai orang yang mendukung apapun yang saya lakukan, dan memberi ketenangan ketika saya jatuh- untuk khalwat (mengasingkan diri) ke atas gunung. Saya mau menuntut Pak Jokowi dari alam keheningan.

Satu titik pada malam hari, di salah satu Gunung di Jawa Barat, saya mengadukan semuanya kepada Tuhan dan meminta padaNya untuk bertemu dengan badan halus dari Pak Jokowi (Setiap manusia punya badan halus dan badan kasar).

Ternyata ada kesamaan antara wujud nyata dan wujud tak nyata dari beliau. Jika bertemu haruslah melewati beberapa prosedur. Untung saja saya yang rendah ini punya relasi yang tinggi di alam sana (Semoga Allah merahmatinya). Jadi, beliau --Wujud halus Pak Jokowi atau suatu spirit dalam tubuhnya-, berkenan bertemu pada malam itu. Saat pertemuan itulah saya langsung meminta kepada Tuhan.

Berikut doa saya pada Tuhan, saat saya berhadapan dengannya :

"Yaa Allah yaa Tuhan semesta alam. Saat ini saya bertawasul dengan seorang pemimpin di mana saya dilahirkan. Saya memohon kehendakmu yaa Allah. Apabila Bapak Jokowi adalah pemimpin yang benar dan engkau ridho kepadanya. Maka berikanlah pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik kepada kami. Dan apabila dia tidak benar, maka, acuhkan saja doa saya ini, dan jatuhkanlah dia sejatuh-jatuhnya."

Saat itu beliau hanya diam seribu bahasa (Untuk wujudnya, maaf, saya tidak bisa menjelaskan lebih rinci). Yang pasti saya jelas bertawasul pada beliau. Apabila ada argumen, bahwa itu adalah tipuan jin/syaiton yang menyamar atau mempermainkan saya, niscaya saya tahu hal tersebut. Bukan berarti saya sok tahu atau merasa tinggi ilmu, bukan. Tapi saya jauh lebih percaya, bahwa Tuhan akan melindungi saya dari hal seperti itu (Tipuan jin).

Seminggu setelah hari pertemuan itu, seorang Sahabat saya mengajak bekerja di sebuah apartemen sebagai pengelola, dan Segala Puji bagi Tuhan, sampai detik ini kehidupan saya jauh lebih baik.

***

Draft dari tulisan ini sebenarnya sudah lama saya buat. Hanya saja tidak pernah saya publikasikan. Jujur, saya gatal karena di wall FB selalu ribut masalah politik. Jadi, saya memutuskan untuk mempublikasikan tulisan ini. Saya memang penulis fiksi, tetapi jika membuat kisah tentang pengalaman pribadi, tidak ada yang saya tambahkan dan tidak ada pula yang saya kurangi. Begitulah adanya.

Perbedaan itu nyata. Karena kenyataannya itulah wajib kita hargai.

Semoga Pemilu mendatang, banyak orang yang menghargai perbedaan, dan semoga berlangsung lancar dan damai. Aamiiiin....

*Gambar dari cnnindonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun