Mohon tunggu...
rudie chakil
rudie chakil Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Biarkan Ego Muthmainahku Berkreasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[LOMBAPK] Pulung Permintaan

23 Januari 2017   08:36 Diperbarui: 23 Januari 2017   09:11 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Planet kenthir"][/caption]

Suatu ketika ditanggal 23 bulan Januari, kala aku sedang duduk termenung sambil memegang uang seribu rupiah. Aku terkaget oleh suara seseorang.
"Kekuasaanku adalah kekuasaan yang absolut. 80 dari 100 persen umat manusia di dunia adalah berpikir tentangku." Ucapnya demikian. Aku bingung dan mencari darimanakah asalnya suara tersebut. "Hahaha," ia tertawa. Uang seribu rupiah ini tertawa.
'Hah'! Sontak aku kaget, heran, dan semakin bingung. Aku pandangi wajah pahlawan yang membawa golok pada permukaan uang berwarna biru ini.
"Kekuasaan di atasku adalah kekuasaan 'keinginan'. Itu adalah tuanku, hahaha," ia berkata dan tertawa lagi. Aku diam sejenak, memikirkan dua baris kata yang dikatakannya.
"Bodo amat!" Ucapku seraya berdiri.
Aku sedang ingin merokok, tapi dengan uang seribu rupiah, rokok apa yang bisa aku dapat meski hanya sebatang? Dan aku tidak mempunyai uang lagi selain yang kupegang.
Ya sudah, aku cari saja seseorang yang bisa memberiku sebatang rokok, teman-temanku yang sering nongkrong di perempatan depan sana. Aku membuang uang aneh itu di jalan depan rumah.
"Ngomong gih, sama orang yang nanti akan menemukanmu," ucapku seraya berlalu.

***

'Telolet, telolet... telolet, telolet'.
Dering suara handphoneku berbunyi, tanda panggilan masuk. Aku sengaja memakai nada dering demikian biar dibilang kekinian. Padahal kalau lagi sadar aku sering berpikir, kekinian model apaan kayak begini?
"Iya, Ki...," ucapku asyik memegang handphone di samping telinga, menjawab panggilan masuk.
"Kamu di mana?"
"Di pinggir kali, Ki," jawabku pada sang penelpon, yaitu Aki Kebangsaan. Seorang mistikus yang bermukim di bantaran sungai Citarum, daerah Batujajar Kabupaten Karawang. Sejak satu jam yang lalu aku duduk sambil merenung di pinggir sungai Citarum, yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.
"Ke sini sekarang yaa," ucapnya.
"Iya, Ki," balasku seraya berdiri dan melangkah di jalan setapak menuju rumahnya.

Seorang pria berusia kisaran 40 tahun sedang duduk bersila di depan sang tuan rumah, Aki Kebangsaan. Aku langsung duduk di sisi mereka yang tengah berbincang.
"Le..., Bapak ini punya hajat," ucap Ki Saan, mengarahkan dagu pada pria yang terlihat kaya. "Kamu bisa wakilin Aki, gak?"sambung kakek berkemeja batik itu.
"Hajat apa yaa, Ki? Terus, wakilin gimana?" tanyaku.
"Tanggal sembilan bulan depan adalah hari lahir bumi. Jadi, sesiapa saja yang tirakat di puncak gunung Slamet akan dikabul hajatnya. Kamu wakilkan Aki yaa, minta pada Tuhan, supaya hajat Bapak Aminoa ini segera tercapai."
"Boleh tahu, hajatnya apa yaa, Pak?" Leherku menoleh pada pria yang bersila di sebelah kananku. 'Aminoa? Pasti nama panggilannya Anoa'. Sambung kikikan dalam hatiku.
"Gini, Dik. Tahun ini saya mau nyalonin diri jadi gubernur DKI Jakarta," ujarnya.
'Wah, wah'. Aku kaget bukan kepalang. Ternyata dua orang di depanku bukan orang sembarangan. Tapi kok justru menaruh harapan padaku yang orang sembarangan? Aku bingung sambil mengangguk-angguk dengan wajah polos.
"Dah, kamu tenang aja, semua biaya akan ditanggung. Kamu ikuti aja apa yang Aki perintahkan," sambar Aki Saan.
Aku nyengir, "Iya, Ki. Itulah permasalahan utama, 'ongkos jalan'," balasku.
"Hahahaha." Mereka terkekeh.

Tanggal delapan bulan depannya aku berangkat ke Jawa tengah, bersinggah di lereng Gunung Slamet. Aki Saan memberi panduan sebuah catatan kecil padaku. Catatan tentang segala aktivitas dalam perjalanan menuai hajat yang bukan hajatku sendiri. Dimulai dengan bermalam di Mayakerti, daerah Bumijawa, Kabupaten Tegal. Di sana aku bertemu dengan empat orang laki-laki yang juga bermalam. Pagi harinya seusai sandekala subuh aku memulai perjalanan mendaki Gunung Slamet.

'Perjalanan ini, begitu sangat menyedihkan. Sayang kau tak duduk disampingku kawan." Nada suaraku mengisi perjalanan, ketika berada di jalan datar, satu jam perjalanan dari pintu masuk Guci.
"Mas...," tiba-tiba seorang laki-laki menyapaku dari belakang. Aku pun menengok. "Mas kan yang semalam di Mayakerti yaa?" ucapnya santun.
"Iya..., Mas juga, yaa?" jawabku sambil mengingat wajah dan perawakannya. Laki-laki berkulit sawo matang itu semakin mendekat. "Mau camping juga, Mas?" sambungku bertanya.
"Nggih, Mas. Ayuh kita bareng," pintanya.
"Ayo." Kami pun jalan bersama. Dalam perjalanan mendaki, dia banyak bercerita tentang betapa pusingnya dia karena belitan masalah ekonomi. 'Nyeeessss'. Aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik, sesekali bergidik karena desir dalam hati atas rasa iba padanya.

Pukul 15.30 kami tiba di area perbatasan antara rimbun pepohonan dengan area kering, gersang, penuh pasir dan bebatuan. Aku sungguh heran, catatan kecil yang kugenggam sepanjang perjalanan yang berisi rute perjalanan ini sungguh tepat. Dari pintu masuk Guci, Pos Pinus, Cemara, Pasang, Kematus, Pondok edelweiss, Cantigi, sampai area terakhir, yakni puncak Gunung Slamet. Hanya tinggal jalan sedikit menuju puncak sebelah timur dan mencari sebuah lembah kecil seperti cawan, sampailah aku ke tempat yang dimaksud.

Aku menatap aneh pada pria disampingku sebab kepalanya celingukan sepertiku, seperti juga mencari sebuah tempat.
"Mas..., Nanti malam mau tirakat ya?" Aku tembak langsung padanya. 'pasti lah demikian, wong anaknya berjumlah sembilan orang masih kecil-kecil, sementara dia kerja serabutan'. Pikirku dalam benak. 'mau ngapain lagi dia kalau gak tirakat minta sama Tuhan? Eh, tetapi, berarti dia jadi pesaingku dong'?
Jadi menurut Aki Saan, apabila seseorang duduk di lembah itu dalam keheningan malam nanti, akan ada yang namanya Pulung yang jatuh dari langit dan menghampiri orang yang sedang duduk tirakat. Saat itulah orang tersebut langsung meminta hajatnya. Maka, tak lama kemudian hajatnya pasti berhasil
"Nggih, mas. Sampean juga yaa?" Balasnya bertanya.
"Iya," aku mengangguk sambil terus berjalan.

Satu jam berlalu tak terasa. Sampailah kita pada satu tempat yang dituju. Sebuah area seperti penggorengan berukuran sekitar 70 meter persegi di sebelah timur puncak Surono, Gunung Slamet. Di sana kami bertemu dengan tiga orang laki-laki yang sedang berbincang-bincang. Yahh, mereka adalah orang yang juga bermalam di Mayakerti. Aku masih jelas mengenali ke-tiga wajah dan perawakan mereka.
Pertama, laki-laki berkulit kuning langsat dengan postur tubuh yang ideal. Wajahnya oval, memakai jaket tebal, celana panjang dan topi kupluk. Kedua, seorang berkulit putih bertubuh agak pendek. Ia berwajah bundar, bermata sipit dan berkulit putih. Memakai sweater dan celana pendek. Ketiga, pria dengan tinggi badan di atas rata-rata. Ia berkulit hitam, berambut keriting, hidung mancung dengan brewok yang tidak dicukur. Mereka tersenyum menyambut kedatangan kami.

Aku meletakan tas ransel dan mencari posisi di dekat mereka. Mas Kirun, -pria Jawa yang jalan bersamaku- langsung duduk bergabung dengan mereka. Aku membuat perapian untuk memasak air dan mie instan.
"Kopi, Mas." Aku menawarkan kopi panas pada mereka yang kesemuanya berusia di atas empat puluh tahun, apalagi Mas Kirun, mungkin usianya sudah berkisar antara 50 tahun.

Kami berbincang tentang banyak hal. Tak kaku dan tak heran lagi akan arah pembicaraan. Sudah bukan rahasia umum bagi kami berlima akan rahasia 'Pulung permintaan' nanti malam. Yang jelas, masing-masing dari kami membawa hajat yang harus tercapai. Dan kami mengerti bahwa kami akan bersaing memperebutkan seberkas cahaya terang yang akan datang di malam nanti.

Obrolan pun berlanjut pada sesi curhat. Di mulai dari Mas Kirun yang kembali membuka cerita tentang keluarga besar dan segala problematika moneter-nya. Di sambung dengan curhatan pilu dari Mas Anton, pria berkulit hitam yang berharap datangnya keajaiban akan kesembuhan anak semata wayangnya yang sakit keras. Lalu Mas Ken Lee, pria putih bermata sipit, yang inginkan keturunan setelah puluhan tahun belum dikaruniai seorang anak. Kemudian berlanjut ke Mas Taruna Wijaya, pria yang terlihat bersih seperti perempuan, yang usahanya bangkrut dan meninggalkan hutang miliyaran rupiah setelah ditipu oleh rekannya sendiri.

Yahh..., Begitulah hidup. Tiada hidup tanpa datangnya sebuah masalah. Saat aku ditanya tentang masalah dan keperluanku, aku cuma menjawab jika aku diminta orang tua membawa hajat orang lain.
"Bawa banyak, Mas?" Tanya Mas kirun pada Mas Ken yang membakar batang hio untuk ke sekian kalinya.
"Iya..., Saya bawa banyak," jawabnya.
Mas Kirun menengok padaku.

"Mas..., Sajen itu artine 'sae gowong sejjen'. Artine 'berbagi dengan sesama'. Sama seperti sampean ngasih aku rokok, ngasih aku kopi. Sajen itu seperti itu pada alam halus." Ucapnya secara tiba-tiba. Aku kaget mendengarnya. Setahuku perbuatan seperti  itu adalah sebuah praktek musyrik yang memberi makan makhluk halus. Namun pada dasarnya aku adalah orang yang open mind. Jadi, selama hal yang diutarakan cukup masuk akal dan tak merugikan atau mencelakakan siapapun, aku tak akan mematahkan pernyataannya. Aku hanya mengangguk-angguk.
Obrolan kami pun berlanjut seru.

Ketika rasa dingin mulai dirasakan dan ketika waktu malam mulai ditampakkan, kami semua memulai ritual. Hanya duduk bersila seperti orang yang bermeditasi, mengatur napas, memokuskan pikiran, dan merapal sebait kalimat yang dibaca berulang-ulang. Cukup lama aku larut dalam heningnya malam dengan mata terpejam, rasa-rasanya seperti tak ingat akan keberadaan diriku di alam dunia ini. Seperti melihat Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dari jarak amat dekat.

Benar saja, di saat waktu beranjak pada sepertiga malam, saat hawa dingin terasa begitu menyengat sekujur tubuh. Seberkas cahaya terang datang dari langit. Sangat terlihat jelas meski hitam di mata tertutup oleh kelopak mata. Aku pun membuka mata, -dalam catatan, apabila ada cahaya terang dalam keterpejaman, maka membuka mata sudah tidak apa-apa.-
Sinar terang berbentuk bulat seperti bola kasti itu berputar-putar di area sekitar tempat kami duduk. Aku melihat empat orang di dekatku juga sudah membuka mata. Masing-masing dari mereka terpana kagum pada satu kejadian aneh yang terjadi. Dan pada putaran yang ke-tujuh, sinar terang itu datang mendekat padaku. Aku terkesima atas kejadian ini.

Tiba-tiba ingatanku begitu berat terbawa pada kisah-kisah yang kudengar sore tadi. Kisah pilu yang membuat mataku menangis karena kasihan pada mereka. Membuat hatiku teriris karena beban yang tengah dirasakan oleh mereka. Membuat jiwaku merintih karena wajah harap mereka akan jalan keluar dari semua belitan peristiwanya. Persetan dengan tuan Anoa yang berhasrat mencalonkan diri jadi orang nomer satu di kota nomer satu itu.
Tetapi! Dia juga yang membawaku sampai ke tempat ini. Tetapi! Aku juga ingin hidup layak seperti seorang kaya-raya. Ah, persetan dengan semuanya.
Sinar itu semakin mendekat padaku. Aku pun berdiri dan menautkan kedua tanganku di depan dada.
"Tuhaaaaan..., Kabulkanlah hajat kami semua di sini." Teriakku.

***

Rasa bahagia dan kebebasan begitu kurasakan sepanjang perjalanan pulang. Biarlah aku tak mendapatkan apa yang aku mau. Toh bagiku, diberi keberuntungan adalah hal yang lebih baik daripada keinginan yang dikabulkan. Dari perjalanan kali ini aku mendapat banyak pelajaran.
'Telolet, telolet... telolet, telolet'. Dering suara handphoneku berbunyi.
"Iya, Mas Kirun. Nanti aku telpon lagi yaa, Mas. Ini lagi turun dari Bus." Aku berdiri dari kursi Bus, kemudian melangkah turun. Yah, mereka berempat telah sepakat untuk menjadi saudaraku.

Baru saja aku menginjakan kaki di terminal pemberhentian Bus, tak jauh dari situ aku melihat ada seseorang berpakaian compang-camping yang sedang duduk di pinggir trotoar sambil memegang uang seribu rupiah. Aku pun mendekat padanya.
Orang itu berbicara pada sesuatu ditangannya, "Hahahaha... uang... hahahaha... keinginan...." Aku agak terkejut mendengarnya.
Tak lama kemudian ia membakar uang itu. Aku masih terus memerhatikannya. 'Mungkin dia ingin memberi 'Sajen', alias 'sae Gowong sejjen' pada makhluk gaib di terminal. Hahaha'. Pikirku.

Jika orang gila macam dia saja bisa toleransi pada makhluk gaib, kenapa manusia normal tidak bisa toleransi pada sesama manusia?
Aku berbalik badan sambil melangkah. "Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun