Aku langsung menembakkan sorot lampu senter ke arah mereka. Cahaya senter tampak jelas mengenai sisi luar tenda. Sorotnya menebus kepalanya, namun terlihat jelas wajah mereka dari sorot lampu senter yang kupegang.
***
"Rud... Rudi..." sayup-sayup aku mendengar suara panggilan seseorang. Badan dan kepalaku terasa ada yang menggerakkan. Aku membuka mata, tampak langit biru yang tak menyilaukan. "Lo kok tidur di luar sih?"
"Jar..." panggilku pada Fajar, kemudian melihat pada Roni, juga Iwan di sebelah kiri yang sedang membuka tutup senter. Aku bangun, masih dalam posisi duduk. Tangan kiriku masih menggenggam tanah, dari tanah yang aku cengkeram semalam.
"Lo kenapa, Rud?" tanya Fajar yang berjongkok di depanku.
"Jar..., pulang sekarang, Jar. Tolong pulang sekarang." pintaku memohon.
"Oke, oke," Fajar mengangguk-angguk seakan mengerti.
Pagi itu juga ketiga temanku membongkar tenda, sementara aku hanya melihat dengan tatap kosong. Kala itu aku seperti belum mengingat apa-apa, dan hanya bisa mengingat kejadian di malam itu. Rencana mendaki sampai puncak Pangrango pun gagal total. Pagi itu juga kami turun gunung.
Di tengah perjalanan turun, tepatnya di area sekitar kandang badak, aku tidak sengaja menginjak binatang serupa kumbang berwarna hitam pekat seukuran limabelas sentimeter. Orang sering menyebutnya 'badak-badakan'. Binatang itu mati dan aku biarkan.
Sesampainya di rumah pada pukul 22.30, aku langsung beristirahat karena merasa tidak enak badan. Aku bermimpi sedang berdiri di area sekitar Kandang Badak, jalur pendakian Gunung Gede. Di depanku tengah berdiri seorang wanita yang pernah kulihat, wanita berpakaian abu-abu gelap. Ia berkata ; "Kembalikan anakkuu... Kamu telah membunuh anakkuuu..."
Aku kaget dan terbangun, melihat jam dinding di tembok atas meja rias yang menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Seketika itu juga semerbak kembang melati teraroma sangat mewangi.
Saat aku melihat cermin meja rias di depanku, wanita berbusana abu-abu gelap berambut kusut itu berada di sebelah kananku. Menghadap dan menatap cermin meja rias dengan sorot mata berkantung hitam kecoklatan. Ia berbisik, suaranya bernada tinggi melengking ; "kamuu, harus bertanggung-jawab, menggantikan posisi anakku."
Sejak itulah aku percaya akan adanya makhluk-makhluk tak kasat mata. Seperti bangsa Jin, siluman, lelembut, pocong, kuntilanak, dan semua makhluk yang terkait di luar alam manusia.
Dan yang membuatku resah, sejak saat itu, hari-hariku selalu ditemani oleh wanita tua berambut kusut itu. Di malam saat aku sendirian, dia datang menemani. Di kala aku pulang dan barusaja membuka pintu kamar, dia sudah duduk di atas kasur. Sampai saat aku menuliskan cerita ini, di depan meja rias, dia tampak berdiri di sudut kamar. Terlihat dari cermin besar meja rias, sedang menatap tajam padaku.
***
Cerpen ini diambil dari novel 'Indigo Series', karya Rudie Chakil.