"Enak kan, Rud, di sini. Nyesel lo kalo kagak ikut," kata Roni, seakan menikmati dinginnya hawa gunung, dengan topi kupluk di kepalanya.
"Iya, Ron, asik banget," jawabku, meski agak merasa kedinginan.
"Ini namanya Alun-alun Surya Kencana," tangan Roni menunjuk pada wilayah ladang edelweis, arah depan dari tenda. "jalan dikit lagi udah sampe Puncak Gede," lanjutnya seraya menyeruput kopi yang sudah dingin.
"Ohh, iya," aku memainkan sorot cahaya senter ke rerimbun bunga edelweis yang paling dekat.
"Ya udah, masuk yukk," ia mematikan rokok yang masih setengah batang.
"Lo ngantuk, Ron?" tanyaku.
"Iya... berat banget nih mata. Ayo..." ajaknya.
"Duluan deh, Ron. Gue belum ngantuk." aku sungguh heran, semakin malam mataku ini justru semakin segar.
"Nanti lampu lipatnya bawa masuk ya," pintanya.
"Oke," balasku. Roni berdiri dan melangkah masuk tenda.
Tinggalah aku sendiri, ditemani hawa dingin dan suasana gelap alam sekitar. Aku beranjak berdiri, membuat kopi sekalian menyalakan perapian yang tinggal bara berasap.
'Sama saja dengan belahan dunia manapun, bangsa gaib itu memang tidak ada'. Batinku berbisik sambil memerhatikan area sekitar, pohon-pohon besar di sebelah kanan, kiri dan belakang tenda.
Setelah itu aku mengambil ponsel di dalam tas. Ponsel yang sudah tidak aktif sedari Pos Kandang Badak tadi, sebab tidak adanya sinyal. Biarlah aku menulis secarik puisi saja, atau bermain game, ketimbang bengang-bengong sendirian.
Saat aku menyalakan ponsel, satu buah SMS, masuk dari nomor tak dikenal. Ah, ini bukan sebuah nomor atau angka-angka, tapi berupa digit beberapa tanda pagar.
'Aneh', pikirku dan membuka pesan tersebut. Pesan masuk bertuliskan ; 'TOLONG AKU... AHMAD SUPARDIYANTO'.
Keningku mengkerut oleh sebab sesuatu yang membingungkan. Bagaimana bisa satu pesan masuk, sementara ponselku tidak ada sinyal satu garis-pun? Dan pula, mengapa pesan ini berasal dari beberapa digit tanda pagar, bukan nomor handphone?
Aku duduk dan berpikir di dekat perapian. 'Mungkin karena hawa dingin, ponselku agak eror'. Pikirku, mengambil senter dan tempat air, lalu mencari area untuk buang air kecil.
Selepas buang air kecil, -di bawah sebuah gundukan tanah yang di atasnya ada pohon besar, berjarak sekitar sepuluh meter ke arah belakang tenda- aku memandang pohon besar tersebut. Asap putih serupa kabut tebal tampak berjalan mengitari sebuah dahan menyamping. 'Kabut sudah mulai turun. Lebih baik aku masuk tenda'. Pikirku seraya berbalik badan dan berjalan.
Baru tiga langkah kaki dari sana, tiba-tiba kepalaku terasa pening. Sungguh terasa sangat pening, sampai aku berjongkok dengan tangan kiri mencengkeram tanah. Menahan rasa pening yang tiba-tiba datang. Pandangan mata ini menjadi tidak jelas. Bahkan lampu lipat bercahaya putih yang diikat pada pasak tenda terlihat samar-samar berbayang.
Seketika itu juga, angin kencang langsung bertiup dengan sangat kencang. Menghentakkan dedaunan pohon-pohon besar sebelah kanan dan kiriku. Seperti hendak mencabut semua pohon dari akarnya.
Sesuatu besar terbang dari langit Alun-alun Surya Kencana menuju ke arahku, seiring bertambah kencangnya riuh suara daun dan batang yang bergesekan. Masih dalam posisi berjongkok, aku menyorotkan lampu senter ke arahnya. Tampak jelas kupu-kupu besar seukuran kurang-lebih dua meter, berdiri di atas tenda. Berwarna ungu keemasan. Kepakkan sayapnya seakan membuat angin yang berembus kian ganas.
Aku mengurut pelan kedua kelopak mata dengan ibu jari dan telunjuk, berharap pandangan mata menjadi normal kembali. Aku jelas sadar sesadar-darnya, dan tidak sedang bermimpi.
Mataku kembali melihat ke depan, kulihat banyak orang berada di depanku, di kiri, di kanan, dan juga di belakang. Mereka berjumlah sangat banyak, berdiri mengelilingiku. Wajahnya mirip seperti serigala tetapi datar seperti manusia. Matanya berwarna merah menatap tajam padaku. Badannya tidak terlihat jelas karena kurangnya cahaya sekitar.