Jujur kawan..., dahulu aku sama sekali gak percaya sama yang namanya 'bangsa gaib', apapun itu. Entah itu jenis bangsa jin, siluman, dedemit, lelembut, cenayang, alien, dan semua kerabat ataupun keluarga besarnya. Menurutku semua perkara itu hanyalah ilusi dari pikiran seseorang yang merasa bisa melihat, merasa bisa mendengar, atau bisa berinteraksi.
Aku tidak serta-merta percaya atas apa-apa yang belum kualami, sebelum aku merasakannya sendiri. Seperti misal, rasanya jatuh cinta, rasanya mabuk, rasanya sakit, rasanya garam di laut, rasanya asam di gunung, sampai rasanya berhubungan badan, aku tak akan percaya apa yang dikatakan orang sebelum mencobanya sendiri. Demikian pula halnya dengan perkara alam gaib, yang tak kupercaya meski banyak orang berbicara tentangnya. Sampai datangnya sebuah kejadian sepuluh tahun yang lalu, yang masih kuingat hingga kini.
"Rudii..., lo mau ikut hiking gak?" ucap temanku, Roni, pada siang hari di perempatan jalan menuju rumah.
"Hiking? Ke mana, Berapa lama?" tanyaku.
"Ke Gunung Gede, tiga hari. Ayo..., berangkat besok pagi," ajak laki-laki berambut keriting itu.
"Hmmm...," aku berpikir.
"Dah, ayo ikut. Katanya lo mau lihat setan, siapa tahu ketemu di sana," ujarnya sambil tertawa kecil.
"Sama siapa aja, Ron?"
"Gue, Fajar, sama Iwan. Kalo lo ikut jadi berempat."
Aku mengangguk-angguk, "Ohh..., Ok, gue ikut dehh. Nanti malem lo ke rumah gue yaa. Kasih tau gue, apa aja yang musti dibawa," pintaku, sebab belum pernah hiking, hanya seringkali mendengar cerita dari teman-teman, dan kebetulan aku sedang menganggur lepas lulus sekolah.
"Sipp...," jawabnya.
Keesokkan harinya pukul setengah tujuh pagi, mereka berempat sudah menggedor pintu rumahku. Kami berangkat sesuai dengan yang sudah dijadwalkan tadi malam. Yakni tiga hari dua malam, dimulai pada hari ini, siang hari menjelang sore. Pukul 14.00 kami baru memulai pendakian, setelah bersantai menikmati kopi hitam dan pemandangan indah seputar area wisata Cibodas.
'Ternyata pintu pendakian Gunung Gede ini terletak di sebelah kanan dari area wisata Cibodas'. Pikirku saat berada di pintu masuk pendakian bertuliskan 'Taman nasional Gunung Gede-Pangrango'.
Kami berjalan santai beriringan. Fajar berjalan paling depan, kemudian ada Iwan yang melangkah di belakangnya, disusul Roni yang tampak ransel merahnya, dan aku berjalan paling belakangan.
'Hufff'..., kuembuskan napas panjang. Sungguh udara sore bulan Juni di Gunung Gede ini begitu menyegarkan. Kami beristirahat sejenak di 'Pos Kandang Badak'. Yakni sebuah tanah yang agak datar, yang terdapat bekas-bekas bangunan, dan merupakan pos ke tiga dari jalur pendakian Cibodas.
Sedikit kabut turun, seiring suara cenggeret yang saling bersahut-sahutan. Aku melihat jam tangan, sudah menunjukkan pukul 17.25, di mana hawa dingin mulai terasa, dan bias cahaya sekitar mulai tampak memudar.
"Ayo," ajak Fajar seraya berdiri. Kami semua mengikuti.
Beberapa menit jalan mendaki dari Kandang Badak, kepalaku serasa ingin menengok ke belakang. Saat aku menengok, seorang pria dewasa berpakaian batik coklat memakai blangkon berdiri sambil menatapku, kemudian tersenyum. Di belakang pria itu seorang wanita tua berpakaian abu-abu gelap berambut kusut, nanar memandangku. Aku pun membalas senyum pria itu, lalu berbalik badan. 'Mungkin warga desa di sekitar kaki gunung', pikirku.
Pukul 22.30, kami sudah duduk bersantai di bawah cakrawala indah Taman Nasional Gunung Gede. Setelah lelah membuka tenda di pinggiran tempat terbuka, ladang edelweis yang berada di antara puncak Gede dan puncak Pangrango.
'Lo istirahat aja, Jar, kalo gak enak badan," ucap Roni pada Fajar, sambil membakar rokok. "Gue juga abis ini mau tidur," sambungnya sambil menunjukkan rokok di tangan.
'Ya udah gue duluan ya," laki-laki tinggi berkulit sawo matang itu masuk ke dalam tenda.
'Gue juga masuk ya," disusul Iwan yang sepertinya juga sudah lelah. Tinggalah aku berdua dengan Roni yang masih bersantai di depan tenda.