Mohon tunggu...
Rudias Man
Rudias Man Mohon Tunggu... Freelancer - Di Kompasiana, Aku Mencari Inspirasi

Life is only to fight

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Green Era dari Belantara Gedung Megah Jakarta

30 Oktober 2016   14:02 Diperbarui: 30 Oktober 2016   14:22 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu masalah yang kerap dikeluhkan di Jakarta adalah kualitas udara yang tidak sehat. Menyitir hasil peneltian Universitas Indonesia, 60 persen masyarakat Jakarta mengidap penyakit yang bersumber dari buruknya kualitas udara. Persoalan ini terjadi karena tingkat polusi yang tinggi, terutama dari kendaraan dan industri.

Buruknya kualitas udara Jakarta juga semakin diperparah oleh krisis paru-paru kota. Ruang terbuka hijau di Ibu Kota di bawah standar nasional. Hanya 9,98% dari yang semestinya 30% dari seluruh luas Jakarta. Polutan yang berseliweran di udara Jakarta, nyaris tanpa penyaring alami.

Belum ada upaya serius pemerintah dalam mengatasi masalah ini. Memperbaiki kualitas udara metropolitan sekompleks Ibu Kota memang butuh upaya menyeluruh. Mulai dari kontrol kendaraan yang lalu lalang di jalanan, pembangunan RTH, gaya hidup hijau hingga melibatkan masyarakat, terutama pihak swasta agar berpartisipasi menciptakan suasana hijau.

Kepadatan penduduk atau sempitnya ruang bukan menjadi alasan untuk tidak bisa membangun green city. Berkaca pada kota-kota besar dunia yang didaulat sebagai Kota Paling Hijau di Dunia, kota-kota itu pun terbilang sangat padat. Bahkan lebih padat Jakarta.

Sebut saja New York yang masuk peringkat 7 Kota Paling Hijau di Dunia padahal tingkat kepadatannya melebihi Jakarta. Densitas New York adalah 27.000/mil sementara Jakarta hanya 11,353/mil.

Ketika Michael Bloomberg memimpin New York, jantung ekonomi dunia tersebut memang mewajibkan green building. Dimana setiap pemilik bangunan pribadi diwajibkan melaporkan penggunaan energi hingga konsumsi air secara publik. Kebijakan seperti ini berdampak moral, dan secara langsung membentuk pola perilaku hidup hijau.

Di Jakarta, green building masih amat sangat langka. Bahkan bisa dihitung dengan jari. Pemerintah tampaknya tidak memiliki effort untuk membangun Jakarta sebagai green city. Padahal, salah satu masalah global yang menghantui dunia saat ini adalah krisis lingkungan sebagai akibat minimnya kesadaran menerapkan green living atau green lifestyle.

Memang, di akhir kepemimpinan Ahok selaku gubernur menggantikan Jokowi kita melihat mulai ada geliat penghijauan. Taman-taman ditata kembali, demikian pula kawasan-kawasan kumuh hingga bantaran sungai dinormalisasi menjadi daerah hijau.

Tapi apakah hal ini sudah cukup membuat Jakarta masuk dalam index green city? Tentu saja mudah dijawab, tidak. Membangun kota hijau tak cukup dilakukan oleh pemerintah.

Yang diprioritas semestinya malah pada masyarakat, seperti yang diterapkan oleh Michael Bloomberg ketika sang triliuner memimpin New York. Sebab masyarakatlah pemilik kedaulatan ruang.

Di tengah geliat upaya penghijauan yang dilakukan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, kita juga bersyukur bahwa tanpa diminta rupanya ada pihak swasta yang serius menciptakan green city. Yakni Agung Podomoro Land melalui pusat perbelanjaan mereka Central Park Mall.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun