Mohon tunggu...
Rudias Man
Rudias Man Mohon Tunggu... Freelancer - Di Kompasiana, Aku Mencari Inspirasi

Life is only to fight

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Meramu Solusi 5 Masalah Akut Jakarta

19 Oktober 2016   06:54 Diperbarui: 23 Oktober 2016   10:13 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Data indeks kebahagiaan tahun 2014, Jakarta tidak masuk 10 besar nasional (sumber : jakartabahagia.id)

Hiruk pikuk Pilkada DKI semakin kencang. Sayang sekali, tabuh gendang perang antara tim sukses miskin diskusi visi misi. Lebih riuh saling menjelekkan.

Padahal, Jakarta butuh ide-ide segar untuk mengurai kompleksitas masalah yang mendera. Momen pilkada ini waktu yang sangat tepat untuk menangkap rtusan atau bahkan ribuan ide yang berseliweran. Karena pada saat ini, banyak orang yang suka rela berbicara. Akan lebih baik jika isi pembicaraan mereka adalah ide dan gagasan.

Jakarta yang kita kenal adalah macet, banjir, padat, kumuh dan miskin serta sarat kriminalitas. Persoalan ini harus diramu solusinya, ditemukan pemecahan masalahnya agar Pilkada DKI memberi lompatan berarti.

Pertama, Macet

Macet merupakan makanan sehari-hari Ibu Kota. Saking identikanya Jakarta dengan kemacetan, kita jadi heran jika lalu lintas lancar atau ibu kota lengang. Biasanya muncul kalimat “tumben lancar”.

Banyak penduduk Jakarta yang sudah terbiasa menikmati macet. Soalnya mau protes juga, ya tetap macet. Jadi pura-pura saja tidak masalah dengan situasi kemacetan.

Tapi ada satu ancaman berbahaya terkait kemacetan ini. Jakarta terancam lumpuh. Menurut catatan Kementrian Pekerjaan Umum, pada tahun 2020  hampir seluruh jalan di Jakarta bakal mencapai volume to capacity ratio lebih dari 1. Artinya, kendaraan akan lebih banyak dari luas jalan yang tersedia.

Panjang jalan Jakarta hanya bertambah 0,01% per tahun bandingkan dengan kendaraan bermotor baru yang setiap tahun bertambah 10-15%. Solusinya, penduduk Jakarta harus menekan ego untuk beralih ke transportasi massal. Pemerintah harus mempercepat LRT, MRT serta membenahi moda transportasi yang sudah ada.

Kedua, Tenggelam

Semua sudah tahu, Jakarta adalah kota yang berada di bawah permukaan air laut. Tepatnya 40% wilayah Jakarta lebih rendah dari laut. Secara teoritis, mestinya daerah tersebut sudah tenggelam.

Namun karena masih ada penghalau berupa tanggul, waduk dan saluran air yang lebih tinggi dari jalan seperti di daerah Mangga Dua Jakarta Utara, maka air bah tidak menerjang. Akan tetapi, keberuntungan ini tidak bertahan lama.

Diprediksi, 14 tahun dari sekarang (tahun 2030) Jakarta tenggelam. Sebetulnya ada solusi. Tapi masih jadi perdebatan, yaitu reklamasi dan pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall). Belanda yang 55% wilayahnya berada di bawah permukaan air laut sukses melindungi wilayah daratan tersebut dari bah karena reklamasi.

Ketiga, Muncul Kota Baru

Di sekitar Jabodetabek saat ini banyak muncul kota baru sebagai alternatif. Kota yang dibangun dengan perencanaan matang dan tidak sporadis seperti Jakarta. Sebutlah misalnya BSD City, Karawaci dan Alam Sutera.

Atau yang sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan Jakarta, tidak terimbas masalah Ibu Kota ada Kota Maja di Lebak, Banten. ke arah timur ada Karawang yang sedang gila-gilaan disulap jadi metropolitan.

Karawang, sebetulnya sudah cukup lama jadi kota Industri. Tapi pemerintah saat ini dengan misi membangun dari pinggir, menjadikan Karawang 1 dari 10 Kota baru yang akan dibangun hingga tahun 2019.

Karawang kian menggoda. Pengembang raksasa seperti Agung Podomoro Land terlibat aktif membangun daerah ini. Dengan reputasinya, imperium properti ini membangun perumahan mewah Grand Taruma yang tergolong masih murah untuk metropolitan masa depan. Selain itu, ada juga Podomoro Industrial Park yang fantastis, seluas 1.000 hektar.

Lokasi Karawang memang strategis, akan dilintasi jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. Selain itu, ekosistem ekonomi juga sudah terbangun bagus di daerah ini. Artinya, untuk lapangan kerja, sudah bukan masalah.

Sangat rasional jika masyarakat atau pelaku bisnis di Jakarta, nantinya pindah ke Karawang.

Keempat, Ketimpangan

Ketimpangan hidup di Jakarta semakin gila. Coba saja jalan-jalan ke kawasan superblock seperti Podomoro City dan Kuningan yang dibangun dengan perencanaan dan tertata indah, lalu mlipir ke gang-gang di Pademangan, Matraman dan lain sleuruh wilayah Jakarta yang memang dipenuhi gang. Akan tampak nyata, bagaiman ketimpangan itu mengaga lebar.

Secara statistik, ketimpangan di Ibu Kota kian parah. Catatan BPS, rasio gini Jakarta naik dari 0,43 ke 0,46. Semakin dekat ke angka nol, maka semakin baik. Menyitir dari BPS lagi, ada sebanyak 20 persen warga kaya Jakarta yang mengalami peningkatan pendapatan secara drastis. Dan 40% penduduk Jakarta lainnya, ‘makin miskin’.

Susahnya naik kelas dan hidup layak bagi sebagian masyarakat Jakarta ini, adalah pertimbangan paling rasional mengapa Jakarta layak ditinggalkan.

Kelima, Kriminalitas dan Kekerasan

Sebetulnya, hampir di setiap daerah ada potensi kekerasan. Namun di Jakarta, angka kekerasan dan potensi konflik sangat tinggi. Sebabnya, banyak pemicu antara lain kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.

Catatan Polda Metro Jaya, setiap 12 Menit 26 Detik Terjadi Tindak Kejahatan di Jakarta atau ada 5 korban setiap jam, 120 orang setiap hari dan 43.800 korban dalam setahun. Menakutkan.

Hilangnya rasa aman dan nyaman, menjadi alasan kuat mengapa seorang manusia rela meninggalkan kotanya untuk mencari kehidupan di daerah yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun