Mohon tunggu...
rudiansyah g.kating
rudiansyah g.kating Mohon Tunggu... -

Mencoba bersuara dari ujung langit, batas rimba belantara dan awal tetesan air sekedar bersuara dan berharap mamberikan manfaat untuk kita dan anak-anak kita, setidaknya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Nasional " Konspirasi Kemakmuran" dan "Kudeta Hati"

2 Oktober 2013   21:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:05 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang hari-hari terakhir bulan September 2013 lalu beberapa media massa dalam kolom pendidikan menulis tentang hasil kesepakatan pemerintah, pimpinan perguruan dan praktisi pendidikan yang isinya bahwa Ujian Nasional tetap akan dilaksanakan. Menteri Pendidikan dan kebudayaan yang fotonya kelihatan gagah di Republika Online dengan bangga mengatakan bahwa Pemerintah, Pimpinan Perguruan Tinggi dan segenap yang terlibat dalam pertemuan tersebut menyadari sepenuhnya bahwa Ujian Nasional dipandang sangat perlu untuk mengetahui mutu pendidikan nasional. Tidak kurang mantan Wakil Presiden M. Yusuf Kalla juga memberi pernyataan yang tidak berbeda.

Sebagai guru saya mau bilang apa juga “gak ngaruh toh”, mau protes ke siapa? Lagian siapa juga yang mau dengar. Tetapi sulit rasanya kalo pendapat yang sudah sekian lama disimpan dan terpendam ini tidak saya ungkapkan (takut jadi bisul dalam hati kata orang dikampung saya “saya emang orang kampong kok”). Mohon maaf Pak Muhammad Nuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Pak Yusuf Kalla mungkin logika saya berbeda dengan Pak Nuh dan Pak Kalla. Semoga perbedaan logika bukan karena Bapak-bapak Mentri dan Mantan Wapres biasanya tinggal diruang ber-AC, naik mobil mewah dan didampingi pengawal sedangkan saya berada diruangan kelas yang panas kalo panas, dingin kalo hujan, atau malah kehujanan, naik motor dijalan rusak dan berdebu tinggal di kampong yang kampungan. Mohon maaf juga jika tulisan ini terpaksa saya posting di media ini karena kayaknya pihak yang seharusnya mendengarkan suara seperti ini sudah menutup mata dan telinga (saya gak tau kenapa) malah sepertinya tabu dan berefek negatip, mau menyampaikan ke Pak Menteri lewat surat (pasti bukan Pak Mentri yang baca, lagian Cuma surat dari guru, didaerah lagi) ke Pak Presiden Oalah boro-boro kata orang Jawa. Nah mohon maaf lagi karena anggapan saya hanya media salah satunya Kompasiana ini yang punya sifat mau mendengar dan mau mengerti walaupun belum tentu mampu merubah sesuatu.

UN DAN MUTU PENDIDIKAN?

Saya sudah lupa sudah berapa kali jadi panitia Ujian nasional (belagu ya padahal baru juga 15-an tahun jadi guru. Terlibat dalam pelaksanaan UN dari dengan rasa senang hati, ragu-ragu, lalu penuh tanda tanya, agak menggerutu, kemudian ngomel-ngomel, sampai protes dan sekarang gak mau tau (kata orang Jawa “sekarepmu”).

Sampai hari ini saya merasa siswa dan sekolah saya itu biasa-biasa saja atau malah gak ada apa-apanya dibanding sekolah dikota tetangga apalagi kota di Jawa. Padahal tingkat kelulusan di sekolah saya setidaknya lima tahun terakhir selalu diatas 97%(keseringan kalau ada yang gak lulus karena gak ikut ujian saja). Silakan di cek di Kemdikbudnilai rata-rata kelulusan propinsi. Bagaimana wujud dari mutu pendidikan didaerah-daerah yang selalu dalam lingkup 10 besar? Apakah pendidikan didaerah itu memang sesuai mutunya dengan nilai UN-nya.

Saya cukup tahu bagaimana nilai UN sekolah saya, kabupaten saya, propinsi saya, dimana siswa-siswa saya melanjutkan, di perguruan tinggi mana dan yang bagaimana mereka kuliah, berapa siswa saya yang diterima diperguruan tinggi Negeri terkemuka. Saya melihat tidak ada keterkaitan nilai UN siswa saya yang kadang mengalahkan nilai UN siswa tanah seberang, mutu kecuali status sekolah yang terakreditasi A, dulu ada SSN dan RSBI yang kita sama-sama tahu saja bahwa itu Cuma diatas kertas.

Dua tahun terakhir saya mencatat nilai UN SMP siwa yang masuk di sekolah saya, luar biasa nilai matematika dan IPA mereka saya lihat bagus-bagus ada tujuh koma, delapan koma ada malah yang Sembilan koma yang enam koma sedikit sekali malah lima koma hamper tidak terlihat. Saya iseng membuat soal matematika += …. ; x= …. ; := …. ; 0,5 + 0,5 = …. ; 0,5 x 0,5 = …. ; 0,5 : 0,5 = …. ; a + a = … ; a x a = ….; a : a = …. Hasilnya juga luar biasa dari enam kelas yang saya ujikan soal-soal tersebut terhitung hanya ada dua orang yang benar 100%. Apakah masih saja kita paksakan bahwa nilai UN mengambarkan mutu? Atau pertanyaannya darimana nilai UN yang tingi-tingi tersebut. Atau ini yang disebut Vicky sebagai konspirasi kemakmuran?

Bagaimana pula dengan seorang siswa SMK jurusan mesin yang sekarang cukup berhasil dengan usaha bengkelnya, beberapa tahun lalu tidak lulus UN karena gagal di pelajaran Bahasa Indonesia, karena kecewa tidak mau ikut ujian paket C dan tidak mau mengulang UN tahun berikutnya dengan konsekwensi tidak punya tanda lulus/ ijazah SMK. Berhasil menerapkan dan mengembangkan ilmu Teknik Mesin yang didapatnya disekolah, mampu berwirausaha tapi gagal mendapat nilai 5,5 dari Bahasa Indonesia. Apakah pendidikan yang didapatnya tidak bermutu? Logikanya bagaimana?

UN MENIMBULKAN KUDETA HATI

Terserah para pakar bahasa mengartikan kata “KUDETA HATI” ini tetapi saya memaknainya sebagai pemberontakan oleh hati terhadap logika, dalam hal ini logika yang dipercaya banyak orang sebagai suatu keharusan yang wajib dilaksanakan tetapi bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan hati nurani. Tetapi si empunya hati tak mampu berbuat apa-apa kecuali sekedar berharap semua akan berubah. Dengan rasa ini ditingkat terbawah yaitu GURU tidak ada pilihan lain.

Kenyataannya kegiatan UN sangat efektip untuk meningkatkan pamor dan pencitraan. Guru Mata Pelajaran akan bangga membuat Kepala sekolah tersenyum puas kalau siswanya lulus 100%, demikian juga selanjutnya dan selanjutnya. Dengan kata lain secara sistematis akan tercipta sebuah upaya meluluskan siswa dengan segala cara dan berbagai cara termasuk menghalalkan segala cara. Dan itu sudah menjadi rahasia umum jadi wajib hukumnya saling menutupi, dengan timbal balik membuat saling senang, atau boleh jadi simbiosis mutualisme-lah.

Adakah guru yang jujur?, sekolah yang jujur? Tentu saja banyak tetapi apa artinya kejujuran guru, apalah artinya kejujuran sekolah kalau kejujuran itu dipendam saja karena yang tidak mungkin mampu melawan system, bukankah berani melawan system akan berakibat pada ekonomi labil (bahasa kasarnya takut hilang periuk nasi) karena “hidup tidak hanya ditangan Yang Maha Kuasa tetapi juga Penguasa”.. Jadilah UN akhirnya dilaksanakan dengan seribu satu macam kecurangan dan dibawah tekanan yang ujung-ujungnya menjadi ketidakpercayaan pada system pendidikan dan berakibat “yang penting sudah melaksanakan tugas….”

Jika seorang guru berpikir frustrasi mau dibawa kemana pendidikan ini padahal kata orang bijak maju mundurnya suatu negeri ditentukan oleh pendidikan. Wallahu alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun