Mohon tunggu...
Rudi Tamrin
Rudi Tamrin Mohon Tunggu... wiraswasta -

Rudi Tamrin adalah seorang pembelajar, founder-praktisi Hexagonlife Balance sekaligus lisenced Practitioner NLP dan Certified Hypnoteraphy dengan latar belakang Pendidikan Filsafat. Dalam kesehariannya ia sangat mencintai keseimbangan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maaf, Maafmu Terasa Garing

10 Agustus 2013   22:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf, Maafmu Terasa Garing

Kata-kata yang laris manis terucap maupun tertulis hari-hari ini adalah kata maaf. Tradisi berlebaran sambil bermaaf-maafan memberikan suasana sejuk dan damai di hati setiap orang. Tradisi yang dimaknai sebagai hari Raya Idul Fitri mengandung makna yang sangat universal. Umat yang bukan muslimpun merayakannya secara damai bersama umat muslim seluruh dunia pada hari yang fitri ini.

Fenomena aneh terjadi ketika suatu kali saya membaca pontingan seorang kawan melalui sosial media,” maaf, saya tidak akan membalas bc (broadcast) pemohonan maaf yang berwarna ungu.” Pertama, bc itu dianggap sebagai permohonan maaf yang tidak personal lagi, latah atau sekadar formalitas pada hari lebaran. Yang kedua, permohonan maaf itu dianggap tidak tulus dan tidak ada isinya alias garing. Postingan kawan saya itu jujur sekali mewakili orang yang tidak suka berbasa basi dalam hal memafkan. Lantas apakah kita membiarkan kata maaf yang terucap dan tertulis menjadi sekadar ritual tahuan dan tradisi yang turun temurun, garing dan tak bermakna? Nah, tulisan singkat ini ingin memaknai kata maaf secara lain.

Salah satu sumber kekacauan dalam hidup kita konon berasal dari ketidakmampuan kita memaknai kata maaf secara benar.

Seberapa jauh dan dalamkah selama ini kita tersesat dalam pemahaman yang keliru dalam hal memaafkan. Bahwa memaafkan adalah melulu untuk kepentingan orang yang (belum tentu) menyakiti kita? Bahwa memaafkan berarti melupakan pengalaman yang (mungkin) sudah tertanam patent dalam memori otak kita? Bahwa memaafkan merupakan pembuktian kekalahan, kebodohan dan kelemahan kita. Bahwa pengampunan baru dapat kita berikan setelah orang lain minta maaf terlebih dahulu kepada kita? Bahwa kita mengatakan cinta pada sesama tapi tidak mampu mengampuni orang yang kita duga bersalah?

Justru banyak ditemukan dalam ruang-ruang terapi ataupun konseling adalah hal-hal sebaliknya. Orang yang datang menemui terapis ataupun konselor adalah orang-orang yang berkutat dengan kemarahan dan kebenciannya, bukan orang-orang yang dianggap sebagai sumber kemarahan atau kebencian. Masalahnya banyak urusan yang perlu diselesaikan di ruang-ruang tersebut adalah karena ketidakmampuan diri ini memaafkan dirinya sendiri, bukan orang lain. Artinya ialah bahwa memaafkan bukanlah untuk kepentingan pihak lain, melainkan untuk kepentingan kita sebagai korban dari kesulitan memberi maaf tadi. Belum lagi orang-orang dalam keluarga, persahabatan yang mendapatkan dampak buruk dari kemarahan dan kebencian kita itu.

Semakin kita melupakan pengalaman yang menyakitkan, semakin teringat pula kita dengan pengalaman sakit itu dan semakin kita menyimpan amarah kita. Kecuali kita merasa damai dengan amarah dan dendam tersebut. Mungkinkah?

Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah, rekonsiliasi dalam ruang-ruang terapi ataupun konseling dihadiri oleh 2 pihak yang bertikai. Sulit untuk mengharapkan orang minta ampun terlebih dahulu barulah kita dapat memberi maaf. Perlu sebuah kerendahan hati untuk dapat mengucapkan kata maaf yang setulus-tulusnya.

Hakikat cinta adalah melepaskan ego untuk kebaikan orang lain yang kita cintai. Memaafkan adalah memahami orang lain sebagai orang lain dan berfokus pada kebaikan orang lain. Hal-hal inilah yang membuat cinta identik dengan memaafkan. Kalau cinta tanpa maaf, perlu dipertanyakan kemurnian cinta itu.

Namun, pada kenyataannya orang punya kecenderungan untuk “menolak memaafkan dan ingin melupakan saja”. Saya menghargai kecenderungan itu sekaligus menyayangkan kekacauan-kekacauan emosi yang muncul akibat ketidakmampuan orang itu memaafkan bahkan melupakan hal-hal yang takkan pernah bisa dilupakan mengingat hal itu sudah tertanam dalam bawah sadar orang itu dan akan muncul pada suatu saat nanti. Karenanya saya tidak meminta kita untuk memaafkan lantas melupakan, melainkan maafkan dan ingatlah pengalaman itu untuk tidak kembali jatuh mengulangi pengalaman menyakitkan yang serupa. Lebih dari sekedar mengingat adalah menerima pengalaman yang sudah terjadi itu sebagai bagian dari perjalanan hidup yang mendewasakan. Ikhlas adalah kata yang sejuk untuk menjelaskan makna penerimaan itu.

Mungkin kita akan bertanya setelah proses memaafkan telah kita lakukan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain yang kita anggap bersalah, bagaimana jika dia berpikir bahwa apa yang telah dilakukannya dianggapnya benar karena kita sudah memberi maaf. untuk mengantisipasi hal itu sebaiknya kita mengkomunikasikan hal tersebut bagaimana hal itu melukai hati kita. Kapan waktu yang tepat? Ketika kemarahan dan kekecewaan sudah hilang bersamaan dengan keikhlasan kita menerima kenyataan menyakitkan tersebut.

Tindakan memaafkan memang tidak seindah mengucapkannya. Pernah saya tidak lagi merasakan ampuhnya kata maaf (sori) ketika seorang teman dengan seringnya mengucapkan kata maaf seolah melegitimasi kesalahan-kesalahan berikutnya. Rasa-rasanya saya perlu memaafkan diri sendiri karena tidak mampu memaafkan orang-orang yang dengan entengnya mengumbar kata maaf. Hal ini sama kasusnya dengan ketidakmampuan kita memaafkan, karena “ia sudah membuatku marah berulang kali.” Ini sama juga dengan mengijinkan orang tersebut mempermainkan perasaan kita seolah-olah kita tidak memiliki pilihan lain selain marah. Segera ambil alih kontrol terhadap perasaan kita. Dengan demikian, kita dapat memutuskan untuk memaafkan orang tersebut.

Salah satu prinsip dalam NLP yang memudahkan kita untuk merasakan keindahan memaafkan adalah bahwa setiap orang selalu melakukan yang terbaik yang dapat ia lakukan. Selalu ada intensi positif dari setiap tindakan seseorang. Pada saat itu seseorang dengan pengetahuannya, persepsi, motif, kemampuan dan keterbatasannya memutuskan untuk melakukan yang terbaik walau mungkin itu bersinggungan dengan kepentingan orang lain. Seandainya orang itu adalah kita, apakah kita akan memakluminya? Di sinilah kesadaran memaafkan akan tumbuh. Bukan hanya itu. Di lain kesempatan dengan situasi yang kurang lebih mirip, pilihan kita bertindak pastinya akan lebih baik dan terbaik untuk saat itu.

Hal memaafkan terkadang tidak dituntaskan selagi kita masih hidup. Istilah “dendam dibawa sampai liang kubur” terdengar amat mengerikan. Ada satu istilah yang dikatakan oleh pakar NLP, Steve Andreas mengenai forgiveness, dapat menyelesaikan urusan hutang maaf tersebut, yaitu atonement (penebusan). Sesuatu dapat dilakukan sebagai tebusan atas kesalahan sejatinya membawa kelegaan bagi pihak yang merasa melukai sementara orang yang dilukai tak lagi hadir secara fisik. Ada sesuatu yang perlu dibayarkan untuk melunasi hutang tersebut. Penyesalan sudah diubah menjadi tindakan positif yang nyata. Maaf tidak lagi sekedar indah tapi malahan menyembuhkan

“Maaf tidak mengubah masa lampau, tetapi mempengaruhi masa depan.” Apa yang dikatakan Paul Boese ini tidaklah berlebihan. Sering orang tidak lagi menjalin hubungan dengan orang lainnya setelah proses memberi maaf terjadi. Terkadang hal ini menimbulkan perasaan bersalah diri orang yang memberi maaf maupun yang menerima maaf. Tidak perlu, karena ini adalah hal yang lumrah dan pada hakikatnya maaf tidak mengubah peristiwa yang sudah lewat, tapi mempengaruhi seseorang untuk mengambil jarak agar terhindar dari pengalamannya terulang, ataupun mempengaruhi seseorang dengan kebebasannya memilih hubungan yang baru. Tidak ada yang perlu dipersalahkan sejauh maaf yang terlontar adalah tulus tanpa pretensi apa-apa.

Pada hari yang fitri ini sebaiknya kita memaafkan diri kita terlebih dahulu karena tidak mampu memberikan maaf yang tulus kepada setiap orang.

Rudi Tamrin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun