Â
     Membaca karya sastra lama (hikayat) merupakan salah satu materi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X SMK. Pada materi tersebut, peserta didik tidak hanya diminta memahami bacaan, tetapi juga menganalisis nilai-nilai dan membandingkannya dengan cerpen. Pembelajaran tersebut termasuk ke dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi yang membutuhkan konsentrasi, strategi, dan pendukung lainnya.
     Sebagai seorang guru, pastinya saya ingin pembelajaran berhasil. Bahkan, saya membayangkan Peserta didik dengan cepat mampu menganalisis nilai-nilai dalam hikayat, aktif, dan antusias dalam pembelajaran. Namun, kenyataannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mereka nampak kesulitan memahami teks hikayat yang susunan kalimatnya berbelit-belit. Tidak hanya itu, beberapa kata dalam bahasa hikayat belum mereka pahami artinya.
"Hatta itu nama orang ya Pak? Kok, banyak Hatta-nya Pak?" Tanya siswa kelas X Akuntansi dengan wajah bingung.Â
Â
     Alur cerita dalam hikayat berbingkai. Selesai permasalah yang satu, muncul lagi permasalah cerita berikutnya. Perlu konsentrasi dalam memahami setiap peristiwa dalam cerita hikayat. Peserta didik  belum terbiasa berpikir kritis secara mandiri di zaman serba instan ini. Apalagi jika ada siswa yang malas, bisa saja mereka langsung searching hasil analisis orang lain di halaman pencarian dengan gawai mereka. Jadi, jangankan sampai tahap menganalisis nilai-nilai hikayat, membaca secara keseluruhan cerita saja belum tentu. "Panjang banget Pak teksnya." Ungkap beberapa siswa.
     Pengalaman praktik yang akan saya sampaikan di tulisan ini penting juga untuk saya pribadi sebagai bahan evaluasi, bahan reflesksi diri, dan bahan diskusi sesama guru untuk meningkatkan pembelajaran di kelas. Peran saya sebagai guru bahasa Indonesia, fasilitator dalam pembelajaran, dan pembelajar sepanjang hayat. Saya harus terus belajar lebih banyak lagi. Menjadikan pengalaman sebagai pembelajaran berharga  dalam hidup ini. Jika gagal bangkit lagi, jika jatuh bangun lagi.
     Sebagai seorang guru, tentunya saya bertanggung jawab dalam pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, menggunakan model pembelajaran inovatif, dan memfasilitasi kegiatan pembelajaran dengan media, sarana, dan prasarana yang memadai.  Namun, tantangan dalam mencapai tujuan cukup banyak. Tantangan mulai dari  persiapan alat dan media pembelajaran yang menyita waktu, tenaga, dan pikiran; siswa yang belum terbiasa dengan kerja sama mutualisme; dan waktu yang terbatas untuk mempersiapkan itu semua.
     Selama PPG, saya banyak mendapat bimbingan dari dosen Arip Senjaya dari Untirta dan guru pamong Saroh Jarmin. Mereka banyak memberi arahan dan pemahaman kepada saya mengenai bagaimana cara pembelajaran hikayat di sekolah.
     Pembelajaran hikayat di sekolah jangan terlalu fokus pada teks klasik yang memang cukup rumit, bahkan ada cabang ilmu tersendiri yang mengkajinya, yakni filologi. Namun demikian, kita bisa memberikan wawasan kepada peserta didik jika suatu saat nanti tertarik  dengan sastra klasik, mereka bisa menekuni bidang filologi tersebut. Bukankah hal itu suatu kebanggaan tersendiri bagi guru jika peserta didiknya tertarik untuk menyelami khazanah kesusastraan Indonesia.
     Jika tuntutan dalam pembelajaran hikayat adalah menganalisis unsur intrinsik dan nilai-nilainya, sebaiknya guru memberi kemudahan kepada siswa dalam memahami isi hikayat yang dipelajari. Kemudahan tersebut bisa dengan cara guru menceritakan hikayat yang akan dipelajari, mengganti bahasa hikayat yang rumit dengan bahasa kekinian yang mudah diterima peserta didik, atau menampilkan video hikayat sehingga mereka mudah untuk menganalisis unsur intrinsik dan nilai-nilainya.