Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Polemik Jiwa

16 Januari 2025   09:16 Diperbarui: 16 Januari 2025   09:16 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Jawa Pos)

Polemik Jiwa

Dalam remang malam yang sunyi dan kelam,
Langkah hati tersesat, mencari terang.
Jiwa ini bimbang di antara dua jalan,
Antara asa dan takut yang beradu diam.
Namun akal, seperti tembok yang kokoh,
Menahan hasrat yang ingin bebas melompat.

Pada riak sungai yang mengalir perlahan,
Kupandangi bayangan yang pecah di permukaan.
Jiwa ini meronta, ingin lepas dari belenggu,
Namun terkekang oleh rantai masa lalu.
Namun akal berkata, "Berhati-hatilah melangkah,"
Sebab jejak masa silam masih terasa basah.

Bayang-bayang kenangan hadir tanpa diundang,
Menggenggam erat, tak memberi ruang.
Jiwa ini terperangkap dalam nostalgia pahit,
Berusaha terbang, namun sayapnya rapuh.
Namun akal mengingatkan dengan dingin,
"Luka lama tak perlu dihidupkan lagi."

Pada lorong sunyi, kuhirup udara yang berat,
Mencari harapan di celah-celah kabut pekat.
Jiwa ini berteriak meminta arah baru,
Namun suara itu tenggelam dalam keraguan.
Namun akal, seperti hakim yang bijak,
Meminta bukti sebelum memberi izin.

Cahaya fajar perlahan muncul di ufuk,
Namun hatiku masih tertutup awan mendung.
Jiwa ini ingin percaya pada janji hari esok,
Namun takut tertipu oleh bayangan palsu.
Namun akal, dengan suaranya yang keras,
Mengajakku berpikir sebelum melangkah.

Bunga di taman bermekaran dengan indah,
Namun durinya menyimpan ancaman yang nyata.
Jiwa ini ingin memetik harapan yang mekar,
Tapi nalar mengingatkan akan luka yang mungkin.
Namun akal, bagai pagar yang setia,
Menjaga jarak agar hati tak terluka.

Hujan turun, membasahi tanah yang tandus,
Membawa kesegaran, namun juga bencana.
Jiwa ini merasakan nikmat dalam kebasahan,
Namun resah mengintai di setiap genangan.
Namun akal, seperti seorang peramal,
Membaca potensi bencana dalam kebahagiaan.

Ranting pohon melambai diterpa angin,
Seolah memberi isyarat tentang arah.
Jiwa ini ingin mengikuti bisikan angin,
Namun takut tersesat di jalan yang salah.
Namun akal, dengan kebijaksanaan tua,
Memintaku berpijak sebelum bergerak.

Mentari tenggelam di ufuk yang jauh,
Meninggalkan jejak cahaya yang redup.
Jiwa ini ingin mengikuti langkah senja,
Menemukan kedamaian di penghujung hari.
Namun akal, bagai kompas yang setia,
Menunjukkan arah agar tak tersesat.

Pada malam yang dingin dan penuh kerinduan,
Hatiku mengalirkan doa tanpa suara.
Jiwa ini ingin tenggelam dalam damai,
Namun bayangan keraguan terus menghantui.
Namun akal, dengan logikanya yang keras,
Memisahkan mimpi dari kenyataan.

Langit malam dipenuhi bintang yang berkilau,
Namun gelap tetap menjadi latar utamanya.
Jiwa ini berharap pada cahaya kecil,
Meski tahu, bintang tak bisa kugapai.
Namun akal mengingatkan dengan lembut,
Bahwa mimpi tak selalu menjadi nyata.

Bayangan masa depan terlukis samar di hati,
Namun jalan ke sana penuh liku dan duri.
Jiwa ini ingin melangkah dengan penuh harap,
Namun langkahku terasa berat oleh ketakutan.
Namun akal, dengan tegas mengingatkan,
Bahwa setiap keputusan membawa konsekuensi.

Pada setiap persimpangan, aku berdiri diam,
Memandang arah yang menawarkan harapan.
Jiwa ini ingin memilih jalan yang mudah,
Namun sadar, tak ada yang benar-benar mudah.
Namun akal, seperti suara hati yang bijak,
Memintaku mempertimbangkan setiap langkah.

Hati ini penuh dengan rasa cinta yang hangat,
Namun juga dibebani oleh kenangan pahit.
Jiwa ini ingin merangkul cinta tanpa ragu,
Namun takut tersakiti oleh bayangan lama.
Namun akal, dengan nada yang tegas,
Meminta waktu untuk menyembuhkan luka.

Dunia ini seperti cermin yang retak,
Memantulkan bayangan yang tak sempurna.
Jiwa ini ingin melihat kebenaran yang utuh,
Namun terpecah oleh ilusi yang menghantui.
Namun akal, seperti cahaya kecil di malam,
Memberi petunjuk agar tetap berjalan lurus.

Pada setiap duka, ada pelajaran yang terpendam,
Namun menemukannya membutuhkan keberanian.
Jiwa ini ingin beranjak dari luka lama,
Namun bayangan masa lalu terus mengikutiku.
Namun akal, seperti guru yang sabar,
Mengingatkanku untuk belajar dari kesalahan.

Setiap kata adalah pedang yang bermata dua,
Bisa melukai, atau menyembuhkan jiwa.
Jiwa ini ingin berbicara dengan jujur,
Namun takut menyakiti yang mendengarkan.
Namun akal, dengan logikanya yang tajam,
Mengajarkan seni memilih kata yang benar.

Di ujung pencarian, kutemukan diriku sendiri,
Dalam refleksi yang penuh dengan pertanyaan.
Jiwa ini ingin menerima segala kekurangannya,
Namun tak berhenti mencari kesempurnaan.
Namun akal, bagai pengingat yang setia,
Mengingatkanku bahwa manusia tak sempurna.

Dan akhirnya, di tengah polemik ini,
Kutemukan harmoni yang tersembunyi.
Jiwa ini lelah berperang tanpa akhir,
Namun menemukan damai dalam penerimaan.
Namun akal, dengan lembut berkata,
"Jalanmu adalah hasil dari perjuanganmu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun